Desa Prasejarah di China Ungkap Sejak Kapan Manusia Makan Nasi
Selama bertahun-tahun arkeolog dan peneliti berusaha mencari tahu kapan dan di mana padi dibudidayakan. Ada bukti beras pertama kali berasal dari Jepang, Korea, China, bahkan Australia.
Selama bertahun-tahun arkeolog dan peneliti berusaha mencari tahu kapan dan di mana padi dibudidayakan. Ada bukti beras pertama kali berasal dari Jepang, Korea, China, bahkan Australia. Namun penelitian terbaru menyatakan proses pemeliharaan padi dari bentuknya yang masih liar hingga seperti sekarang dimulai dari selatan China.
Sekitar 10.000 tahun lalu di Zaman Pleistosen, sekelompok manusia pemburu di dekat Sungai Yangtze, China mengubah cara hidup mereka dengan menanam padi.
-
Apa yang ditemukan oleh sukarelawan di situs arkeologi? Sukarelawan yang terlibat dalam penggalian di situs arkeologi menemukan patung kepala wanita Romawi kuno dengan ukiran khas.
-
Apa yang ditemukan oleh arkeolog di Sarsina? Para arkeolog di Italia telah berhasil mengungkapkan sebuah penemuan menakjubkan di kota Sarsina. Penemuan ini diumumkan Kementerian Kebudayaan Italia (MIC) dalam keterangan persnya.
-
Apa yang ditemukan para arkeolog di Kastil Ayanis? Para arkeolog menemukan beberapa artefak bela diri saat melakukan penggalian di sebuah kastil kuno di Turki. Artefak bela diri tersebut berisi tiga perisai perunggu, baju besi, dan sebuah helm perunggu yang berasal dari 2.700 tahun lalu.
-
Apa yang ditemukan para arkeolog di Inggris? Temuan ini disebut satu-satunya di dunia, telur yang masih utuh dengan cairan putih dan kuningnya. Ini satu-satunya telur di dunia yang ditemukan dalam kondisi utuh kendati telah berumur 1.700 tahun.
-
Apa yang ditemukan oleh arkeolog di Inggris? Baru-baru ini arkeolog menemukan kapak genggam prasejarah di Inggris. Ilmuwan takjub dengan ukuran perkakas berusia 300.000 tahun ini, yang dinilai sangat besar.
-
Apa yang ditemukan para arkeolog di kota kelahiran Sinterklas? Para arkeolog menemukan sejumlah hiasan plakat kaca dengan desain yang sangat indah saat menggali di kota kelahiran Sinterklas.
Arkeolog kemudian menemukan sisa dari padi itu di Shangshan. Bulir-bulir padi itu tentu sudah dimakan ribuan tahun lalu dan rumpun padinya pun sudah membusuk sejak lama tapi sebagian kecil bulir padi itu masih bertahan karena ada unsur phytoliths, potongan silika mikroskopis yang keras yang dibuat oleh sel tanaman untuk pertahanan diri. Daun padi memiliki phytolith berbentuk kipas yang tidak terbakar, tercerna, atau terurai.
Dari penelitian terhadap phytoliths, arkeolog mengetahui manusia di Shangshan tidak hanya mengumpulkan padi tapi mereka juga membudidayakannya 10.000 tahun lalu.
Perubahan itu membuat dampak besar terhadap makanan manusia dan kini hampir separuh warga dunia bergantung pada padi sebagai makanan pokok.
Dilansir dari laman Smithsonian, pada awal 2.000 arkeolog China menemukan 18 desa prasejarah di Shangshan di sepanjang Sungai Yangtze dan menemukan bukti manusia di sana makan dan kemungkinan membudidayakan padi. Arkeolog menemukan sekam padi terkubur di dalam pecahan wadah tanah liat dan perkakas batu yang mirip digunakan untuk penggilingan.
Tim arkeolog China kemudian melakukan proses pemisahan phytolith dari debu, membersihkan dan mengayak kemudian memanaskannya hingga mendapatkan bubuk putih phytolith. Kemudian dengan uji karbon mereka bisa menentukan berapa umur phytolith itu. Untuk membuktikan ketepatan uji karbon, mereka membandingkannya dengan usia benda lain yang ditemukan dalam penggalian, seperti benih dan arang di kedalaman yang sama. Benda tertua dalam penemuan itu diketahui berusia 9.400 tahun.
Arkeolog kemudian melihat phytolith itu melalui mikroskop. Beras yang dibudidayakan di Shangshan 9.400 tahun lalu tidak sama seperti beras yang kita makan sekarang. Bulir padinya lebih kecil dan tipis. Selama 10.000 tahun dibudidayakan membuat beras berubah menjadi lebih berlemak dan bertepung yang menempel di batang agar mudah dipanen.
"Ini adalah bukti adanya perubahan bertahap dari tanaman padi yang dipelihara. Sebuah proses yang lama dan lambat," kata Jianping Zhang, geolog dari Akademi Ilmu Pengetahuan China yang ikut serta dalam penelitian.
(mdk/pan)