Cerita Sedih Pria Keturunan Indonesia Buka Warung Makan di China 30 Tahun Resep dari Sang Ibu
Begini kisah pemilik warung Indonesia keturunan Malang yang tinggal di China.
Darah Indonesia terus mengalir di tubuh pria ini. Seorang pria keturunan Indonesia membuka warung makan di China dengan menu-menu khas asli Indonesia. Pria tersebut bernama Zhu.
Di warungnya, ia menjual sate, kue lapis, hingga nasi kuning. Semua ornamen yang ada di dalam warungnya pun sangat kental dengan nuansa Indonesia. Salah satunya adalah taplak meja yang bermotif batik.
Diketahui, Zhu memasak makanannya sendiri dengan resep yang diperoleh dari ibunya yang asli orang Malang. Simak ulasannya sebagai berikut.
Pria Keturunan Indonesia Buka Warung di China
Kisah hidup Zhu terekam dalam sebuah video di channel Youtube Rudy Chen. Sedangkan warung Zhu berada di Fuzhou, Provinsi Fujian, China. Ayah Zhu adalah seorang asli Tiongkok dan menikah dengan sang ibu yang berdarah Jawa asli dari Malang.
Zhu, mengungkapkan jika ia orang tuanya memutuskan untuk pergi ke China pada tahun 1960-an. Dua hari setelah sampai ke China, Zhu pun lahir. Meski di China, Zhu sehari-hari berbicara bahasa Jawa.
Sampai sekarang, ia masih bisa berbahasa Jawa dan Indonesia. Meski demikian, kemampuan berbahasanya sudah sedikit berkurang karena mulai jarang dipakai.
“Ibuku adalah orang Indonesia asli. Dari Malang. Aku ngomong Jawa. aku di Indonesia dengan keponakan-keponakan bicaranya pakai bahasa Jawa,” ucap Zhu dengan menggunakan bahasa Jawa.
Membuka Usaha Makanan Indonesia Selama 30 Tahun
Sesampainya di China, ia kemudian membuka usaha warung makan dengan resep yang didapatnya dari sang ibunda. Maka dari itu, makanan-makanan yang dijual pun juga sangat kental dengan budaya Jawa.
“Tapi aku sudah jualan makanan Indonesia selama 30 tahun lebih. Awalnya kami menjual sate. Lalu secara perlahan kami juga menjual aneka paket makanan. Kue-kue dll. Lalu bertahan sampai sekarang. Semuanya diajari ibuku,” ucap Zhu.
Zhu beberapa kali bahkan pernah ke Indonesia untuk mengunjungi rumah ibunya di Malang. Di sana, ia bertemu dengan saudara dan tetangga yang masih mengenal baik sang ibu.
“Rumah ibu saya berada di tengah-tengah sebuah jalan. Lalu ibuku pernah bilang di dekat rumah kami ada sebuah sumur. Lalu kami pergi melihat-lihat ke sana,” kata Zhu.
“Kami memperlihatkan foto ibu kami ke para tetangga. Masih banyak tetangga lama di sana dan para tetangga masih mengenali ibu saya. Para tetangga bilang ibu kami sangat baik,” lanjut Zhu.