Di Sejumlah Negara, Demokrasi Sedang Menemui Ajalnya
Data menunjukkan, tren kemunduran demokrasi ini tampaknya semakin cepat, mempengaruhi negara demokrasi yang mapan dan rapuh di seluruh dunia.
Data terbaru dari lembaga pemantau demokrasi berbasis di Swedia, V-Dem, belakangan ini semakin banyak negara demokrasi yang mengalami kemunduran, dan bahkan menuju negara otoriter dibandingkan seabad terakhir. Data menunjukkan, tren kemunduran demokrasi ini tampaknya semakin cepat, mempengaruhi negara demokrasi yang mapan dan rapuh di seluruh dunia.
Berikut daftar negara demokrasi di dunia yang sedang menemui ajalnya, dikutip dari The New York Times, Senin (22/8):
-
Apa makna sebenarnya dari demokrasi? Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana kekuasaan ada di tangan rakyat. Dalam demokrasi, rakyat memiliki hak untuk turut serta dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.
-
Bagaimana demokrasi diterapkan dalam kehidupan masyarakat? Di berbagai negara di dunia, implementasi demokrasi terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari pemilihan umum, sistem representatif, hingga partisipasi langsung rakyat dalam pengambilan keputusan.
-
Apa yang akan dilakukan Demokrat kedepan? Lebih lanjut, Herman menyatakan bukan tidak mungkin Demokrat ke depan akan membentuk poros baru atau bergabung dalam koalisi yang sudah ada. Segala kemunginan, ujar dia bisa saja terjadi.
-
Kenapa Syawalan Morodemak digelar? Dilansir dari Demakkab.go.id, tradisi itu digelar sebagai ungkapan rasa syukur terutama warga nelayan yang kesehariannya mencari nafkah di tengah laut.
-
Kapan Partai Demokrat dideklarasikan? Selanjutnya pada tanggal 17 Oktober 2002 di Jakarta Hilton Convention Center (JHCC), Partai Demokrat dideklarasikan.
-
Kenapa demokrasi dianggap penting untuk masyarakat? Sistem pemerintahan demokrasi menjunjung kebebasan berpendapat, perlindungan terhadap hak asasi manusia, juga mengatasi kesejahteraan dan keadilan.
Sri Lanka
Demokrasi di negara yang multietnis dan agama ini dipertanyakan sejak Gotabaya Rajapaksa terpilih menjadi presiden pada Pemilu 2019. Gotabaya adalah adik dari Mahinda Rajapaksa, mantan pemimpin Sri Lanka sebelumnya.
Keluarga Rajapaksa sejal lama dituduh menyalahgunakan kekuasaan dan membenci kelompok minoritas di negara tersebut. Ini mendorong munculnya ketakutan negara itu bisa kembali menjadi negara otoriter.
Dalam beberapa bulan terakhir, unjuk rasa besar terjadi di Sri Lanka karena krisis berkepanjangan. Massa menggeruduk istana presiden dan beberapa hari kemudian Gotabaya melarikan diri ke Maladewa lalu mengundurkan diri menjadi presiden. Presiden baru Sri Lanka, Ranil Wickremesinghe adalah orang dekat Rajapaksa.
India
Di bawah Narendra Modi, perdana menteri dari kelompok sayap kanan India, perpecahan di tengah masyarakat semakin parah, diskriminasi terhadap minoritas semakin meningkat, dan bahkan didukung para sekutu pemerintah.
Populasi 200 juta Muslim India menghadapi marjinalisasi politik dan bahkan dalam sejumlah kasus mengalami kekerasan. Jurnalis yang kritis mendapatkan tekanan baik dari pemerintah dan media nasionalis. Pemerintah melakukan tindakan keras terhadap unjuk rasa para petani tahun lalu.
Filipina
Kelompok HAM di Filipina khawatir Presiden Ferdinan Marcos Jr akan mengadopsi atau melanjutkan gaya pemerintahan Rodrigo Duterte yang banyak memenjarakan para pengkritik dan musuh politiknya.
Mengingat Ferdinand Marcos Jr atau dikenal dengan panggilan Bongbong adalah putra diktator Filipina, Ferdinand Marcos yang berkuasa selama 30 tahun dari 1965 sampai 1986. Apalagi yang menjadi wakil presiden Filipina saat ini adalah putri Duterte, Sara Duterte Carpio.
Kenya
Kenya dianggap sebagai negara demokrasi terbesar di Afrika. Namun belakangan, negara ini mengalami sejumlah guncangan.
Para politikus di negara ini kadang mengeksploitasi polarisasi antar etnis dan kewilayahan, khususnya selama pemilihan umum. Hal ini menyebabkan sejumlah masalah seperti kekerasan komunal maupun serangan terhadap lembaga pemerintah seperti pengadilan.
Eropa
Hungaria
"Negara baru yang kita bangun bukan negara liberal," kata Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orban pada 2014.
Sejak saat itu, Orban merombak pengadilan, konstitusi, dan aturan pemilihan demi memperkuat kekuasaannya. Dia juga memanfaatkan media pemerintah dan swasta untuk melawan oposisi, mempromosikan disinformasi dan narasi sosialis.
Polandia
Negara ini tengah menghadapi polarisasi politik besar. Partai sayap kanan yang berkuasa berusaha meminggirkan lembaga peradilan dan media independen.
Para kelompok HAM mengatakan demokrasi di Polandia telah jauh mengalami kemunduran.
Turki
Selama hampir 20 tahun kekuasaannya, Presiden Recep Tayyip Erdogan mengubah demokrasi untuk memperkuat pemerintahannya sendiri.
Erdogan membatasi kebebasan politik dan kekuasaan semakin terpusat yang membuatnya dinilai sebagai seorang diktator.
Setelah upaya kudeta 2016, Erdogan menangkap 100.0000 orang dan membersihkan 150.000 pegawai negeri yang tidak loyal padanya.
Republik Ceko dan Slovenia
Ketika taipan media dan miliuner Republik Ceko, Andrej Babis menjadi perdana menteri pada 2017, banyak orang khawatir dia akan mengikuti jejak Orban di Hungaria menuju negara konservatif.
Sementara itu negara tetangganya, Slovenia juga memilih pemimpin populis sayap kanan yang memunculkan kekhawatiran dapat menghancurkan Uni Eropa dari dalam.
Babis kalah pada pemilihan 2021, ketika beberapa partai oposisi bersatu melawan pemimpin yang mereka sebut sebagai ancaman bagi demokrasi Ceko.
Amerika Latin
Venezuela
Negara ini pernah menjadi negara demokrasi tertua di Amerika dan negara kaya. Namun perekonomian negara ini hancur, rakyat kelaparan, dan sejumlah pihak menyalahkan kediktatoran di negara tersebut.
Para pakar demokrasi menilai Venezuela menjadi contoh bagaimana demokrasi cenderung menurun belakangan ini.
Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, menumpas para pengunjuk rasa, serta menegaskan kontrol kuat atas pengadilan dan legislatif.
El Salvador
Negara kecil di Amerika Tengah ini membangun demokrasi yang rapuh setelah perang saudara berakhir pada 1992.
Orang luar muda, Nayib Bukele, memenangkan kursi kepresidenan pada 2019 menjanjikan perubahan. Ternyata Bukele justru mengekang hak-hak dasar warga, membersihkan hakim, memenjarakan ribuan orang tanpa proses hukum dan mengerahkan tentara sebagai tindakan darurat untuk memerangi kejahatan.
Brasil
Presiden Jair Bolsonaro sejak lama mengkritik lembaga demokrasi di negaranya itu korup. Dua juga mendukung kediktatoran militer sayap kanan yang pernah berkuasa di Brasil dari 1964 sampai 1985.
(mdk/pan)