Demokrasi Indonesia Dianggap Cuma Prosedural, Hasilkan Budaya Hukum yang Lemah
Padahal, kata Titi, demokrasi sejatinya sistem nilai yang harus ditegakkan dengan prinsip kebebasan dan kesetaraan untuk semua.
Pembina Perkumpulan Pemilu Untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyatakan, demokrasi di Indonesia selama ini lebih prosedural dalam pengambilan keputusan.
Padahal, kata Titi, demokrasi sejatinya sistem nilai yang harus ditegakkan dengan prinsip kebebasan dan kesetaraan untuk semua.
Hal itu ditegaskan Titi dalam kelompok diskusi terpumpun (FGD) bertema Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara: Perspektif Budaya Hukum yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (17/9).
"Demokrasi itu bukan hanya soal suara terbanyak atau pemilu. Ini tentang representasi, pemenuhan hak, rule of law, bukan rule by law, dan tentu saja partisipasi. Demokrasi harus menjaga martabat setiap individu, bukan malah melanggarnya atas nama mayoritas," ujar Titi yang juga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Indonesia saat ini terjebak dalam praktik demokrasi yang parsial. Sistem politik Indonesia lebih berfokus pada pemilu dan partai politik sebagai instrumen kekuasaan.
Namun seringkali melupakan prinsip demokrasi yang lebih dalam, seperti perlunya pengadilan yang independen, penegakan hukum yang konsisten, dan kebebasan dari rasa takut.
Menurut Titi, salah satu masalah utama adalah desain pemilu borongan, di mana pemilu nasional dan Pilkada dilakukan serentak dalam waktu yang sama. Sistem ini, menurutnya, tidak hanya membuat pemilu lebih rumit dan mahal, tetapi juga melemahkan budaya politik dan hukum di Indonesia.
Dengan kampanye yang terpusat pada tahun-tahun pemilu, partai-partai politik lebih fokus pada aspek pragmatisme, seperti politik uang dan pembelian suara, daripada memperjuangkan gagasan-gagasan politik yang kuat dan substansial.
"Pemilu serentak ini meminggirkan politik gagasan dan memperkuat politik uang. Publik menjadi sulit fokus karena pemilu terlalu besar dan kompleks. Bahkan, akses politik bagi kelompok minoritas dan marjinal semakin sulit," lanjut Titi.
Solusi dari Perludem
Karena itu, Titi memberikan beberapa rekomendasi penting untuk reformasi partai politik dan sistem pemilu di Indonesia. Pertama, ia menyarankan agar UU Partai Politik direvisi untuk mendorong desentralisasi politik dan memperbaiki integritas partai.
"Selama sistem partai politik kita masih terpusat pada elit, jangan harap kita bisa mendapatkan budaya hukum yang baik," tegas Titi.
Selain itu, Titi juga mengusulkan reformasi pendanaan politik, di mana negara seharusnya memberikan alokasi dana yang signifikan untuk partai politik guna mendukung kaderisasi dan rekrutmen politik yang lebih berkualitas.
Titi juga mengusulkan kodifikasi aturan pemilu dan Pilkada, serta pembagian pemilu serentak menjadi dua tahap agar mesin politik partai terus bekerja sepanjang waktu, tidak hanya menjelang pemilu.
"Pemilu serentak dalam satu tahun itu melemahkan partai politik dan budaya hukum kita. Harus ada pembagian agar partai tetap bekerja dan masyarakat bisa mengevaluasi elite politik secara berkala," tuturnya.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi 2015-2019 Agus Rahardjo mengatakan, politik uang dalam pemilu di Indonesia dilakukan secara vulgar.
"Kita tahu pemilu di Indonesia penuh dengan politik uang, dan ini dilakukan secara vulgar. Saya mengusulkan ada mekanisme koreksi yang cepat agar kesalahan-kesalahan ini tidak dibiarkan berlarut-larut," ujar Agus.
Agus juga menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum. Menurutnya, meski teknologi informasi sudah maju, penegakan hukum di Indonesia masih tertinggal karena kurangnya transparansi.
"Penegakan hukum bisa lebih baik di era digital ini, tapi masalahnya adalah kemauan dari pihak terkait. Saat saya di KPK, sulit sekali untuk mengkoordinasikan polisi dan jaksa," tambahnya.
Struktur Hukum Rapuh
Advokat yang juga mantan ketua Komisi Pemilihan Umum Sulawesi Selatan, Mappinawang mengatakan, budaya hukum di Indonesia cenderung mengikuti perilaku elit politik yang mendominasi sistem pemerintahan.
"Struktur hukum kita sudah rapuh, aturan hukum disusun lebih berdasarkan kepentingan modal atau elit tertentu daripada kebutuhan masyarakat," ujarnya.
Mappinawang menambahkan, hukum sering kali disusun tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Akibatnya, kepatuhan terhadap hukum di masyarakat rendah, karena hukum yang dibuat tidak dirasakan relevan atau sesuai dengan kebutuhan publik.
"Kalau kita bicara demokrasi yang sehat, salah satu unsurnya adalah penghormatan terhadap hak asasi manusia. Ini masih jauh dari ideal di Indonesia," katanya.
Lebih lanjut, Mappinawang menyoroti pentingnya penegakan hukum yang adil dan transparan dalam menjaga demokrasi. Saat ini, kebebasan berekspresi dan berpendapat dibatasi oleh undang-undang seperti UU ITE dan UU Darurat, yang digunakan untuk membungkam kritik.
"Kebebasan bicara ada, tapi dibatasi dengan aturan yang justru mengkriminalisasi aksi-aksi publik," pungkasnya.
Menanggapi hasil diskusi yang konstruktif tersebut, BPIP akan menjalankan fungsi pengendalian dan evaluasi untuk mengembalikan demokrasi kepada khittahnya.