Diprotes sejak era Habibie, Singapura paksa WNI wajib militer
WNI ikut wamil di Negeri Singa bisa kehilangan kewarga negaraan Indonesia, demikian liputan khusus dari Singapura
"Banyak banget temenku orang Indonesia yang latihan militer untuk Singapura. Kayaknya semua yang ikut permanent resident dari dulu seperti itu," kata Richard, pelajar 22 tahun asal Indonesia yang sedang studi di Nanyang Technological University saat ditemui merdeka.com akhir pekan ini.
Richard delapan tahun terakhir menempuh studi dan menetap di Singapura. Tak terhitung teman-temanya sesama Warga Negara Indonesia (WNI) sempat mencicipi jadi tentara asing akibat keterpaksaan.
Di Singapura, praktik memaksa warga asing mengikuti program wajib militer (NSF) berlangsung sejak lama, tak cuma menimpa orang Indonesia. Aturan tersebut terutama melekat pada warga asing yang memperoleh status mukim permanen (Permanent Resident/PR).
Para pemegang status PR yang sudah berusia 18 tahun, harus memenuhi kewajiban seperti warga negara setempat. Termasuk mengikuti wajib militer dan selama beberapa bulan mengabdi dalam dinas tentara atau kepolisian. "Setahuku harus militer atau polisi. Latihannya tidak bisa diganti untuk dinas sipil seperti jadi petugas pemadam kebakaran," kata Richard.
Saking rutinnya praktik itu berjalan, Richard mengaku kawan-kawannya tak tahu bahwa mereka berisiko kehilangan status WNI. Hukum Indonesia melarang keras warga negara mengabdi pada militer asing. "Karena berita kemarin itu, jadi ramai lagi isu ini."
Sejauh ini, Richard malas mendaftar jadi PR. Salah satunya karena harus repot mengikuti wamil itu.
"Tapi ya tetap ada yang mau. Kan wamil cuma beberapa bulan. Sementara jadi PR itu lumayan untung. Saya ini masih WNI kalau sakit ongkosnya besar, sementara mereka lebih murah karena dapat subsidi," urainya.
Wamil menurut pemerintah Singapura, adalah imbal balik dari pelbagai subsidi, pengurangan pajak, dan kemudahan imigrasi bagi pemukim tetap asal luar negeri.
Wartawan senior asal Singapura, Peter Ong (56 tahun), menyatakan Indonesia bukannya kecolongan dalam insiden wamil bulan lalu. Sejak era Presiden B.J Habibie, sudah ada nota keberatan dilayangkan oleh Kementerian Luar Negeri. Dalam satu rapat kabinet pada 1999, presiden ke-3 republik itu memerintahkan ada tindakan tegas seperti pencabutan kewarganegaraan.
Pada 2008, isu WNI dipaksa wajib militer itu kembali menghangat. Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengirim surat buat kali kesekian, supaya Singapura memberi keleluasaan pemegang hak mukim permanen Indonesia untuk dibebaskan dari kewajiban dinas ketentaraan.
"Tapi Singapura tidak akan mengubah sikapnya, karena pemerintah di sini berusaha menjaga citra konsisten dalam hal kebijakan," kata Ong.
Sepekan setelah insiden dua WNI itu ketahuan, Kapuspen TNI Jenderal Fuad Bahsya menyatakan wakil Singapura secara lisan mau menghormati imbauan agar membebaskan warga Indonesia dari wamil. Ong meragukan keseriusan Singapura memegang janji. "Kalau kemauan Indonesia dimaui, nanti negara lain juga minta seperti itu. Saya yakin akan tetap begini terus," ungkapnya.
Bukan cuma Indonesia saja yang sewot dengan aturan itu. China dan Vietnam pernah protes pada 2012, sehingga bikin Parlemen Negeri Singa meminta penjelasan pada Menteri Pertahanan Ng Eng Hen.
Saat itu, pemerintah Singapura tetap ngotot bahwa hukum wamil bagi warga asing sah, bahkan harus diteruskan. Alasannya tak ada yang memaksa mereka mengurus PR. "Pesannya jelas, bila ada warga asing mukim tetap tidak ingin anaknya ikut wamil, tak perlu mengurus status PR," ujarnya seperti dilansir Strait Times.
Hingga 2013, ada 8.800 warga asing yang mengikuti wamil di Singapura, karena mereka atau orang tuanya memegang status mukim tetap. Tidak diketahui berapa persisnya WNI dari jumlah tersebut.