Gara-gara hasil riset, Duterte sewot sebut Oxford kampus orang bodoh
Penelitian dilakukan Universitas Oxford menguak taktik Duterte menggunakan media sosial buat mempertahankan kekuasaan. Duterte menghamburkan USD 200 ribu (setara lebih dari Rp 2,6 miliar) buat membayar pasukan siber.
Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, kembali membikin pernyataan kontroversial. Dia melakukan itu setelah Universitas Oxford merilis hasil studi mereka tentang penggunaan 'pasukan' di dunia maya buat menggenjot pamornya di media sosial saat kampanye.
Dilansir dari laman The Telegraph, Kamis (27/7), hasil penelitian diterbitkan kampus di Inggris itu berjudul "Pasukan, Penghasut, dan Pembuat masalah: Kumpulan Manipulasi Media Sosial Terorganisir di Dunia'. Tujuan penelitian itu adalah memaparkan taktik menyebarkan pesan politik dan menggelembungkan pendukung di media sosial, dipakai oleh partai politik dan calon pemimpin di 28 negara. Di dalamnya tercantum bagaimana Duterte membayar pasukan siber buat menggenjot popularitasnya di media sosial.
Di sana disebutkan kalau Duterte menghamburkan duit sebesar USD 200 ribu (setara lebih dari Rp 2,6 miliar) pada tahun lalu saat masa kampanye. Uang itu dipakai buat membayar upah kelompok dan perorangan dikontrak buat mempromosikan dan membela dia dari kampanye lawan politik di Internet.
Setelah penelitian itu terbit, Duterte pun tak bisa mengelak. Dia mengakui membayar orang-orang buat membelanya di media sosial, tetapi berdalih hanya pada masa kampanye.
"Sekarang saya tidak perlu itu lagi. Saya tidak perlu membela diri dari serangan. Hal itu sudah berhenti saat masa kampanye dan saat pelantikan. Universitas Oxford? Itu sekolah buat orang bodoh," kata Duterte.
Hasil kajian itu juga memaparkan bagaimana cara pasukan siber membungkam perbedaan pandangan politik, dan hasutan bisa berdampak langsung berbentuk ancaman di kehidupan nyata atau merusak nama baik. Laporan itu menyebut di Filipina, para penghasut sengaja disewa buat menyebar propaganda ketika Duterte bersaing memperebutkan kursi kepresidenan. Namun, meski Duterte menyanggah, para peneliti menyatakan kalau pasukan siber itu terus bekerja buat mendukung kekuasaan mantan Wali Kota Davao itu hingga hari ini.