Jurnalis AS yang Ditangkap Junta Kisahkan Hari-Hari Bak Neraka dalam Penjara Myanmar
Nathan Maung mengatakan mereka dipukul, tak diberi minum selama dua hari, dan tidak diberi makanan selama tiga hari. Mereka diborgol dan mata ditutup hampir selama dua pekan penuh mereka berada di sana.
Junta militer Myanmar menggunakan penyiksaan untuk mengumpulkan informasi dari tahanan seputar keberadaan anggota oposisi dan pemimpin aktivis, menurut seorang warga negara dan jurnalis Amerika yang baru-baru ini dibebaskan dari sebuah penjara di Yangon.
Nathan Maung (44), ditahan selama lebih dari tiga bulan sebelum dideportasi ke Amerika Serikat (AS) pada 15 Juni. Selama ditahan, dia berada selama dua pekan di sebuah pusat interogasi rahasia milik militer di Yangon.
-
Kapan Rohana Kudus mendirikan surat kabar Soenting Melajoe? Sebagai jurnalis perempuan pertama di Indonesia, Rohana Kudus mendirikan surat kabar khusus perempuan yang ia pimpin sendiri, bernama Soenting Melajoe pada 10 Juli 1912.
-
Apa yang sebenarnya terjadi terkait kabar Budi Arie mundur? KesimpulanBudi Arie resmi mundur sebagai Menkominfo adalah tidak benar. Faktanya video yang beredar merupakan satir.
-
Kapan Khailan Syamsu mendirikan majalah Pedoman Isteri? Setahun kemudian, Khailan mendirikan majalah bernama Pedoman Isteri dan menjabat sebagai editornya sampai tahun 1939.
-
Siapa Kayra Miendra? Kayra Miendra sendiri merupakan anak kedua dari Mieke Amilia hasil pernikahan pertamanya dengan Hendra Wijaya.
-
Apa isi dari surat kabar Soenting Melajoe? Terbit pertama kali pada 10 Juli 1912, isi dari surat kabar Soenting Melajoe ini seperti tajuk rencana, sajak-sajak, tulisan atau karya mengenai perempuan, hingga tulisan riwayat tokoh-tokoh kenamaan.
-
Siapa yang menjadi jurnalis perempuan pertama di Indonesia? Sebagai jurnalis perempuan pertama di Indonesia, Rohana Kudus mendirikan surat kabar khusus perempuan yang ia pimpin sendiri, bernama Soenting Melajoe pada 10 Juli 1912.
Kepada CNN Business pada Rabu dari Washington, DC, Nathan Maung menggambarkan pengalamannya selama ditahan sebagai “neraka” dan mengatakan dia telah mempersiapkan diri mati di sana, yakin para tentara akan membunuhnya.
Dia adalah satu dari 6.200 lebih orang yang ditangkap sejak kudeta militer yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing pada 1 Februari lalu, menurut kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP). Militer menggulingkan pemerintah terpilih yang dipimpin Aung San Suu Kyi dan melakukan tindakan keras terhadap para penentang kudeta. Unjuk rasa massal ditanggapi dengan kekuatan mematikan.
Mantan tahanan, pengacara, dan anggota keluarga mereka yang ditangkap sebelumnya menyampaikan kepada CNN, para tahanan menjadi target penyiksaan selama interogasi dan tidak diizinkan menghubungi keluarganya. Beberapa – termasuk anggota Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dilengserkan – meninggal dalam tahanan, jasadnya menunjukkan tanda-tanda penyiksaan.
CNN Business telah menghubungi militer Myanmar untuk dimintai komentarnya.
Sebelumnya junta mengklaim penggunaan kekerasan ditujukan pada pengunjuk rasa yang membuat kekacauan, yang dituduh melawan polisi dan melukai anggota keamanan.
Nathan Maung adalah salah satu pendiri dan editor in chief berita online Myanmar, Kamayut Media. Dia ditangkap pada 9 Maret bersama dengan pendiri dan produser berita Hanthar Nyein (39), ketika pasukan keamanan menggerebek kantor mereka.
Walaupun sekarang tinggal di AS, Nathan Maung mengatakan dia tidak bahagia dan merasa sangat bersalah dia dibebaskan karena kewarganegaraan Amerikanya, sementara kawan dan koleganya Hanthar Nyein, warga negara Myanmar, masih ditahan di Penjara Insein.
“Kami telah melalui neraka bersama-sama. Jadi, kami seharusnya dibebaskan bersama-sama,” jelasnya, suaranya tercekat.
“Saya sangat ingin dia tahu bahwa kami tidak melupakannya. Dia tidak sendiri,” lanjutnya, dikutip dari CNN, Senin (28/6).
Danny Fenster, jurnalis Amerika lainnya yang dicegah masuk ke dalam pesawat saat akan keluar dari Myanmar pada 24 Mei lalu, masih dalam penjara, juga ditahan di Insein.
Hari-hari seperti neraka
Nathan Maung tahu ada sesuatu yang tak beres ketika truk konvoi militer yang penuh tentara berhenti di luar kantor Kamayut Media di Yangon. Pasukan keamanan menerobos pintu dan menggerebek kantor tersebut, menyita peralatan dan membawa Nathan Maung and Hanthar Nyein.
“Mereka membawa kami ke pusat interogasi di Mingaladon,” ujarnya, merujuk pada wilayah pinggiran Yangon.
Di sana, Nathan Maung mengatakan mereka dipukul, tak diberi minum selama dua hari, dan tidak diberi makanan selama tiga hari. Mereka diborgol dan mata ditutup hampir selama dua pekan penuh mereka berada di sana.
“Mereka mulai dengan menutup mata dan memborgol dan mulai bertanya. Mereka menendang muka kami, tangan dan pundak, sepanjang waktu. Untuk setiap jawaban, mereka memukul kami. Apapun yang kami jawab – benar atau salah – mereka memukul kami. Selama tiga hari, tanpa henti.”
Nathan Maung mengatakan fasilitas itu memiliki lima rumah dan satu kantor besar. Di dalam bangunan tersebut, ada empat sel interogasi. Penutup mata dibuka pada hari terakhir dia di sana jadi dia bisa melihat ruangan dan bangunan tersebut.
“Di ruangan ada sebuah kamera CCTV, tidak ada tempat tidur, hanya sebuah meja kecil dan sebuah kursi jadi Anda duduk sepanjang hari dan sepanjang malam,” kisahnya.
“Mata ditutup dan tidak ada waktu untuk tidur. Mereka tidak akan membiarkan Anda (tidur). Mereka memborgol di bagian depan jadi Anda tidak bisa mencoba dan tidur seperti itu, tapi setiap lima menit mereka muncul dan mulai bertanya.”
Penyiksaan ini berlangsung selama delapan hari, selama itu para tahanan akan dipindahkan antara rumah dan sel.
Koleganya, Hanthar Nyein disiksa dengan disundut rokok.
“Hanthar diperlakukan dengan buruk karena dia warga negara Burma. Dia harus berlutut di lantai selama dua hari. Kulitnya disundut rokok,” ujarnya.
Nathan Maung yakin para tentara memaksa Hanthar Nyein memberikan password ponselnya, yang bisa memberikan mereka akses untuk membuka komunikasi dan rekaman ponselnya dengan pemimpin oposisi dan aktivis.
Selama berhari-hari, Hanthar Nyein menahan diri untuk tidak password ponselnya, memberikan nomor palsu dengan harapan teleponnya akan secara otomatis mengunci siapa pun untuk tidak menggunakannya. Tetapi tantangan terakhir datang ketika para penjaga mengancam akan memperkosanya.
“Hanthar tidak tahan dengan ini dan dia menyerahkan passwordnya dan mereka berhenti memukuli,” kata Nathan Maung.
Dipindah ke Insein
Telepon Nathan Maung rusak selama penangkapan. Pada hari keempat dia tidak lagi dipukuli ketika tentara mengetahui dia adalah warga negara AS.
“Mereka berhenti memukuli saya dan mulai mengajukan pertanyaan tentang mengapa pemerintah AS mengirim saya dan memberi saya dana, apakah saya bekerja untuk CIA - pertanyaan bodoh semacam itu,” katanya.
“Saya bilang tidak, saya jurnalis, tidak ada yang memberi saya uang.”
Interogasi fokus perihal Kamayut Media. Tentara menanyakan anggaran dan keuangan.
Nathan Maung yakin dia akan mati di sel interogasi itu.
“Saya pikir, jika kami selamat dalam dua hari di awal, kami akan hidup, tapi setelah itu tidak ada orang yang tahu,” ujarnya.
“Ketika mereka mulai memberi kami air minum saya pikir, oke, kami tidak akan mati, kami akan hidup.”
Untuk mengatasi trauma mental dan fisik, Nathan mengatakan dia melakukan meditasi.
“Itu satu-satunya hal yang menyalamtkan kami dari neraka,” ujarnya.
Tapi cobaannya belum berakhir.
Setelah 15 hari, Nathan dipindah ke pusat penahanan Penjara Insein, penjara yang kelebihan kapasitas berisi sekitar 10.000 tahanan. Penjara ini memiliki reputasi buruk, di mana tahanan diperlakukan buruk dan memiliki kondisi yang memprihatinkan.
Selama dua pekan, dia ditahan di sel luas berisi sekitar 80 orang. Dia mengatakan semuanya merupakan aktivis mahasiswa, pengunjuk rasa, dan anggota NLD. Lalu dia dipindah ke ke sel isolasi. Dia berada di sel isolasi sampai pembebasannya pada 14 Juni.
Pembungkaman penentang kudeta
Penyiksaan yang dialami Nathan Maung dan Hanthar Nyein dalam tahanan bukanlah insiden yang terpisah.
Pada Selasa, Human Rights Watch (HRW) melaporkan ribuan orang yang ditahan secara sewenang-wenang oleh militer telah mengalami penyiksaan, pemukulan rutin dan perlakuan buruk lainnya sejak kudeta.
“Militer dan polisi Myanmar sering memenjarakan tahanan untuk waktu yang lama, di pusat interogasi dan penjara yang penuh sesak dan tidak higienis. Mereka yang ditahan sering kali tidak dapat berkomunikasi, tidak dapat menghubungi kerabat atau penasihat hukum,” tulis organisasi itu dalam laporannya.
HRW menambahkan, para korban "menggambarkan pemukulan, penyundutan dengan api rokok, tekanan yang berkepanjangan, dan kekerasan berbasis gender.”
Peneliti HRW Myanmar, Manny Maung, dan tidak ada hubungan dengan Nathan Maung, mengatakan dalam sebuah pernyataan, sejak kudeta pihak berwenang telah menggunakan penyiksaan "tanpa takut akibatnya."
"Kebrutalan dari pemukulan dan penganiayaan menunjukkan sejauh mana otoritas militer Myanmar akan membungkam siapa pun yang menentang kudeta," katanya.
Berjuang sampai mati
Nathan Maung yakin dia ditangkap karena militer melihatnya “sebagai musuh”.
Dia adalah salah satu dari sedikitnya 88 jurnalis yang ditangkap sejak kudeta sebagai bagian dari tindakan keras terhadap media independen. Banyak pekerja media terpaksa melarikan diri ke luar negeri atau ke daerah-daerah yang dikuasai pemberontak di hutan. Mereka yang tetap tinggal di kota-kota bersembunyi, dan bertukar tempat persembunyian setiap beberapa hari untuk menghindari penangkapan.
“Mereka menyiksa saya karena saya percaya pada demokrasi dan hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi,” kata Nathan Maung.
Junta militer berupaya mengkonsolidasikan kekuasaannya atas seluruh negeri, karena terus menghadapi penentangan massal dari rakyat. Unjuk rasa nasional berskala besar berbulan-bulan setelah kudeta ditindak secara brutal.
Sebagai balasan, kelompok-kelompok milisi lokal dibentuk untuk melindungi kota-kota dan desa-desa dari kekerasan militer dan pertempuran antara pasukan junta dan kelompok-kelompok perlawanan bersenjata berlangsung di seluruh negeri.
"Perang saudara sedang terjadi sekarang, ini sudah menjadi negara gagal," kata Nathan Maung.
Nathan Maung mengatakan masyarakat internasional tidak bisa berdiam diri sementara junta terus beroperasi dengan impunitas dan pelanggaran hukum terhadap rakyatnya dan menyerukan “tindakan agresif” terhadap militer.
“Kami tidak punya waktu untuk menunggu dan melihat. Ada ribuan pengungsi yang akan mengungsi ke perbatasan, krisis kemanusiaan terjadi sekarang,” katanya.
Berdiri di taman, dikelilingi oleh pohon beech di Washington, DC — ribuan mil jauhnya dari sel, penyiksaan, dan kekerasan — Nathan Maung merasa hancur, tetapi mengatakan dia berencana untuk kembali ke Asia dan menetap di negara tetangga Thailand untuk melanjutkan perjuangan demokrasi Myanmar.
“Terkadang, saya bermimpi saya benar-benar kembali ke penjara, karena tubuh saya ada di sini tetapi pikiran saya bersama teman-teman saya, jurnalis saya, negara saya,” katanya.
"Sepanjang hidup saya, saya telah berjuang untuk Burma yang merdeka, sebagai warga negara dan sebagai jurnalis. Sampai saya mati, saya harus berjuang untuk itu. Saya harus menjaga rakyat saya. Mereka berhak mendapatkan demokrasi dan hak asasi manusia,” pungkasnya.
(mdk/pan)