Kamboja tuding 2 jurnalis jadi mata-mata dan diseret ke pengadilan
Menurut juru bicara RFA, Rohit Mahajan, tindakan pemerintah Kamboja menyeret dua pewarta itu ke pengadilan adalah wujud dari intimidasi dilakukan rezim diktator. Kuasa hukum kedua wartawan, Keo Vanny, menganggap tudingan pemerintah mengada-ada.
Pengadilan Negeri Ibu Kota Phnom Penh, Kamboja, mengadili dua pewarta setempat dengan dakwaan diduga menjadi mata-mata. Keduanya dianggap mengumpulkan informasi yang mengancam keamanan dalam negeri dan mengirimkan kepada pihak asing.
Dilansir dari laman Associated Press, Minggu (19/11), kedua jurnalis diadili itu adalah Uon Chhin dan Yeang Sothearin. Mereka tadinya merupakan pewarta stasiun radio berita Radio Free Asia (RFA), yang didanai oleh Amerika Serikat. Namun, pemerintah Kamboja memutuskan menutupnya pada September lalu.
"Keduanya ditangkap Selasa lalu dan disangka memberikan informasi penting kepada negara lain. Mereka akan diadili dalam sidang pemeriksaan," kata Juru Bicara Pengadilan Negeri Phnom Penh, Ly Sophana.
Uon Chhin dan Yeang Sothearin terancam dibui selama 15 tahun dalam delik spionase, jika terbukti. Meski demikian, RFA membantah masih berhubungan dengan kedua sejak kantor berita radio itu ditutup pada September lalu. Menurut juru bicara RFA, Rohit Mahajan, tindakan pemerintah Kamboja menyeret dua pewarta itu ke pengadilan adalah wujud dari intimidasi dilakukan rezim diktator. Kuasa hukum kedua wartawan, Keo Vanny, menganggap tudingan pemerintah mengada-ada.
"Mereka hanya menjalankan tugas jurnalistik. Hal ini tidak membahayakan negara," kata Keo.
Kamis lalu, Mahkamah Agung Kamboja memutuskan supaya Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP) dibubarkan. Keputusan itu nampaknya sudah bisa diperkirakan oleh kelompok oposisi. Apalagi Ketua Majelis Hakim, Dith Munty, merupakan anggota partai penguasa, Partai Rakyat Kamboja (CPP). Dia menyatakan sembilan hakim anggota memutuskan secara bulat soal pembubaran CNRP.
Mahkamah Agung Kamboja juga melarang 118 anggota CNRP terlibat dalam aktivitas politik selama lima tahun ke depan. Dengan keputusan itu, Perdana Menteri Hun Sen dan CPP membungkam seteru politiknya sebelum pemilihan umum digelar pada Juli 20181 mendatang. Dia juga dianggap tetap mempertahankan budaya otoriter dan merusak budaya demokrasi di negara itu.
Hakim Munty juga secara sepihak menyatakan CNRP mengakui akan melakukan kudeta, karena mereka tidak mengutus kuasa hukum buat membela dalam persidangan.
Perdana Menteri Hun Sen dan pemerintah Kamboja menuding CNRP dan pemimpinnya, Kem Sokha, hendak melakukan kudeta dengan bantuan Amerika Serikat serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan media massa berkelindan dengan AS. Dia lantas ditangkap pada September lalu. Pemerintah Kamboja lantas menutup kegiatan sejumlah organisasi didanai AS. Tentu saja AS membantahnya. Bahkan, sebuah surat kabar independen Kamboja, The Cambodia Daily, terpaksa berhenti terbit karena dipaksa membayar pajak yang jumlahnya sangat tidak masuk akal.
Politikus senior CNRP yang kabur ke luar negeri, Mu Sochua, menyatakan keputusan Mahkamah Agung Kamboja sama saja mengakhiri era demokrasi murni berjalan selama ini. Dia meminta bantuan pihak asing supaya tidak tutup mata dan membiarkan rezim otoriter dipimpin Hun Sen terus melanggengkan kekuasaan.
Hun Sen merupakan mantan komandan Khmer Merah didapuk sebagai Perdana Menteri sejak 1985, setelah gerakan itu tumbang. Lantas pada 1997, dia merebut kekuasaan mutlak setelah melakukan kudeta menelan banyak nyawa. Dia saat ini menjadi perdana menteri dan kepala negara terlama di dunia, yakni selama 32 tahun dan terus berjalan.
Sistem demokrasi diterapkan di Kamboja dianggap masih sangat rapuh. Sebab, lembaga legislatif dan yudikatif belum bisa mandiri, dan masih sangat tergantung dengan sikap eksekutif. Penegakan hukum dan hukum acara di sana dianggap amat lemah. Apalagi selama beberapa tahun belakangan hubungan pemerintah Kamboja dan China semakin mesra. Hal itu membuat Tiongkok rela mengguyur Kamboja dengan sejumlah bantuan dan pinjaman. Namun, hal itu malah membikin penguasa semakin menindas kelompok oposisi dan pegiat demokrasi dan hak-hak sipil setempat.