“Dia Teriak Kesakitan dan Saya Melihat Darah di Dadanya"
“Dia tiba-tiba jatuh dan saya pikir dia terpeleset. Tetapi kemudian saya lihat darah di punggungnya dan menyadari dia telah ditembak."
Lebih dari 700 orang dibunuh pasukan keamanan sejak militer Myanmar melakukan kudeta pada 1 Februari, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP). BBC mewawancarai tiga orang terdekat dari tiga korban tewas.
Ketika kekerasan aparat terus meningkat, begitu juga dengan jumlah korban karena tindakan keras terhadap para pengunjuk rasa semakin intensif.
-
Kapan HUT Kodam Jaya diperingati? Setiap tanggal 24 Desember diperingati HUT Kodam Jaya.
-
Kenapa UMKM penting? UMKM tidak hanya menjadi tulang punggung perekonomian di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain karena kemampuannya dalam menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
-
Kapan R.A.A Kusumadiningrat memimpin? Sebelumnya, R.A.A Kusumadiningrat sempat memerintah pada 1839-1886, dan memiliki jasa besar karena mampu membangun peradaban Galuh yang cukup luas.
-
Kapan Umbul Manten ramai dikunjungi? Pada saat menjelang Bulan Ramadan, Umbul Manten sering dijadikan lokasi padusan.
-
Bagaimana KM Soneta tenggelam? Saat kejadian kondisi ombak sedang besar setinggi 2,5 meter dengan angin kencang dan arus deras. Sebanyak sembilan ABK yang terombang ambing diselamatkan oleh kapal KM Bintang Barokah yang sedang melintas.
-
Kapan Rafathar potong rambut? 3 Namun, ternyata Raffi dan Nagita ingin anak mereka tampil berbeda menjelang Hari Raya Idul Fitri yang tidak lama lagi.
Beberapa dari mereka yang tewas ikut berunjuk rasa menentang anti-kudeta, sementara yang lain – termasuk anak-anak – hanya sedang duduk di rumah mereka ketika dibunuh.
Ini tiga keluarga yang membagikan cerita pedih mereka kehilangan orang terkasih.
Pan Ei Phyu (14) adalah seorang pendukung gerakan pro-demokrasi dari Meiktila, Mandalay. Dia membuat beberapa video TikTok menyanyikan lagu pro-demokrasi.
Mengkhawatirkan keamanan putrinya, ibu Pan Ei, Thida San tidak mengizinkan anaknya berunjuk rasa di jalan. Tetapi itu tak cukup untuk menyelamatkannya.
Pan Ei Phyu ditembak di dalam rumahnya saat dia mau membuka pintu untuk para pengunjuk rasa yang menghindari kekerasan aparat pada 27 Maret. Itu juga merupakan hari paling mematikan sejak kudeta – sedikitnya 114 orang, termasuk 11 anak-anak, dibunuh.
“Dia tiba-tiba jatuh dan saya pikir dia terpeleset. Tetapi kemudian saya lihat darah di punggungnya dan menyadari dia telah ditembak,” jelas Thida San kepada BBC, dikutip Selasa (13/4).
Dia tak kuasa menahan tangisnya.
"Hidup kami tidak aman lagi."
Dalam bahasa Burma, “pan” berarti bunga, “ei” berarti lembut, dan “phyu” berarti putih.
“Putri saya seorang gadis yang cantik ketika dia lahir, layaknya bunga kecil yang lembut. Itulah mengapa saya memberinya nama itu.”
Dia mengenang bagaimana putrinya sangat rajin membantu dan bermimpi memiliki panti asuhan ketika dia dewasa.
“Saya merasa seperti hidup saya tidak berarti lagi tanpa anakku. Lebih baik saya yang mati daripada dia.”
Kematian Pan Ei juga membuat adik laki-lakinya, Mg Sai Sai terpuruk. Dia tidak bisa tidur saat kakaknya meninggal dan terus menonton video kakaknya di Tiktok.
Keluarga ini sejak saat itu pindah rumah karena Thida San khawatir hal buruk menimpa mereka lagi.
“Hidup kami tidak aman lagi.”
Si pemuda baik hati
Zin Min Htet akan melakukan apapun untuk membantu teman-temannya.
“Tidak masalah seberapa besar dia kesulitan keuangan, dia membantu teman-temannya dengan uang dan yang lain. Dia baik hati. Dia selalu tersenyum,” jelas seorang kawannya, Ko Sai kepada BBC.
Beberapa saat sebelum dia ditembak mati pada 8 Maret, pemuda 24 tahun itu berada di garda depan unjuk rasa anti kudeta, melindungi diri hanya dengan perisai, berusaha melindungi pengunjuk rasa lain.
Ibunya, Daw Ohn Ma bergegas ke rumah sakit ketika dia mendengar putranya ditembak.
“Saya ingin mendengar kata-kata terakhirnya, memanggil saya ibu. Saya tidak bisa. Darah di mana-mana. Saya tidak kuat melihatnya. Dia pucat dan dingin dan telah kehilangan banyak darah,” jelasnya kepada BBC.
“Apa yang bisa saya katakan? Itu sangat kejam dan bengis.”
“Yang saya tahu saat itu saya harus membawa jasadnya pulang ke rumah segera yang saya bisa.”
Zin Min Htet – yang berlatih menjadi pandai emas selama tiga tahun – anak bungsunya dan putra satu-satunya. Dia mengingat putranya berjanji akan membelikannya rumah segera setelah dia punya cukup uang.
“Dia punya sifat yang tidak kenal susah, dan tidak pernah menyebalkan atau membuat saya sedih. Dia sangat menyukai masakanku, dia menolak makan yang lain dan kerap mengundang teman-temannya untuk makan malam,” kenangnya.
Pada hari dia tewas, Zin Min Htet mengatakan kepada ibunya dia akan pergi kerja. Dia bohong karena ibunya berusaha menghentikannya untuk berunjuk rasa pada malam sebelumnya.
Tapi, katanya, setidaknya putranya meninggal saat melakukan apa yang dia inginkan.
“Saya bangga dengan putra saya, dia seorang pahlawan,” ujarnya.
“Dia sangat bersemangat untuk ikut berkontribusi pada negara.”
Ditembak di depan istri
Pada 28 Februari, Hein Htut Aung dan istrinya Ma Zin Mar sedang di jalan menuju aksi unjuk rasa anti kudeta. Pasangan ini memiliki kebiasaan menghadiri unjuk rasa setelah selesai bekerja.
Tapi pada hari itu, hanya Ma Zin Mar yang pulang ke rumah.
Mereka menaiki bus untuk mengikuti unjuk rasa. Tapi bus itu dihentikan dan para penumpang harus turun karena tembakan senjata.
“Dia ditembak saat kami menyeberang jalan,” kisahnya kepada BBC.
“Tidak jauh dari kami, ada beberapa pengunjuk rasa membarikade jalan dengan tong sampah dan kawat berduri karena mereka sedang menembak.”
“Dia teriak kesakitan dan saya melihat darah di dadanya. Saya mencoba memeluk dan menekan lubang itu.”
Dia dilarikan ke rumah sakit, tapi terlambat.
Hein Htut Aung adalah seorang ojek, setiap orang di lingkungan tempat tinggalnya mengenalnya.
“Dia pria yang sangat sederhana. Dia tenang dan tidak banyak bicara dengan orang lain. Dia sering bermain gim di ponselnya saat senggang. Dia menafkahi keluarganya dengan berapapun hasil yang dia dapatkan dari pekerjaannya.”
Pasangan ini telah menikah selama lima tahun setelah bertemu daring dan hidup tenang di kota Dagon Selatan.
“Kami selalu bersama kemanapun kami pergi. Saya merindukannya.”
Sekarang, Ma Zin Mar mengatakan dia akan tetap berunjuk rasa sampai kudeta berakhir.
“Saya memuji keluarga orang-orang yang telah mengorbankan nyawa mereka. Saya akan seperti mereka untuk tetap kuat. Saya merasakan yang sama seperti mereka karena saya juga telah kehilangan suami saya.”
“Tapi kami tidak bisa berhenti. Kami tidak bisa melangkah mundur sekarang. Jika kami mundur, akan lebih banyak kematian.”
(mdk/pan)