Militan Rohingya menolak teroris membantu perjuangan mereka
Kelompok militan Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA) menyangkal mereka terhubung dengan grup bersenjata seperti Al-Qaidah, Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), Taliban, Abu Sayyaf, atau lainnya. ARSA menyatakan kalau kehadiran pejuang asing di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, bakal memperburuk keadaan.
Kelompok militan Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA) menyangkal mereka terhubung dengan grup bersenjata seperti Al-Qaidah, Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), Taliban, Abu Sayyaf, atau lainnya. Namun, mereka juga menolak kehadiran pejuang asing di Myanmar karena tidak ingin kawasan itu menjadi basis teroris.
Dilansir dari laman Al Jazeera, Jumat (15/9), dalam pernyataan diterbitkan baru-baru ini, ARSA menyatakan kalau kehadiran pejuang asing di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, bakal memperburuk keadaan.
"Selama bertahun-tahun warga dunia mengetahui kalau tidak ada teroris di Rakhine. Bahkan ARSA memilih menjauh dari mereka. Jadi jelas, kalau siapapun tidak ada yang tertarik dengan perjuangan di sini," tulis ARSA dalam pernyataannya.
ARSA menekankan supaya warga dunia lebih memperhatikan kondisi etnis minoritas muslim Rohingya di Rakhine semakin memburuk dari hari ke hari. Mereka mengajak lembaga bantuan dan pegiat kemanusiaan nirlaba datang buat membantu orang Rohingya yang terdampak kekerasan.
Cikal bakal ARSA adalah perkumpulan bernama Harakah al Yakin. Mereka mulai berubah menjadi kelompok militan sejak Oktober 2016. Saat itu mereka menyerang tiga pos polisi di Kota Maungdaw dan Rathedaung, dan membunuh sembilan aparat.
Dalam sebuah rekaman video, pemimpin ARSA, Ataullah Abu Amar Jununi, menyatakan penyerangan itu adalah aksi membela diri lantaran pasukan Myanmar memulai kekerasan terhadap orang Rohingya.
"Selama 75 tahun orang Rohingya selalu menjadi korban kejahatan. Itu alasan mengapa kami memutuskan menyerang pada 9 Oktober 2016. Itu sebagai pesan kalau kekerasan tidak berakhir, maka kami punya hak membela diri," kata Ataullah.
Beberapa lembaga penelitian soal terorisme menyatakan ARSA memang bukan organisasi teror seperti Al-Qaidah atau ISIS. Menurut peneliti Pusat Studi Eropa soal Ekstremisme, Maung Zarni, ARSA lahir karena keadaan. Sebab orang Rohingya selalu ditindas dan dibantai.
"Mereka adalah orang-orang yang memutuskan membentuk kelompok buat membela diri dan melindungi sesama warga, yang hidup dalam kondisi mirip dengan kaum Yahudi saat berada di kamp konsentrasi Nazi," kata Zarni.
Sedangkan menurut penelusuran International Crisis Group pimpinan Sidney Jones, ARSA tidak mempunyai niat menjadi kelompok ekstrem, dan lebih mengandalkan simpati serta dukungan dari sesama muslim.