Ribuan Anak Terpisah dari Orang Tua karena Penindasan China Terhadap Muslim Xinjiang
Akibat tindakan keras pemerintah China di Xinjiang, banyak anak yang terpisah dengan orang tua mereka. Pemisahan anak dan orang tua ini dinilai bukan kebetulan, tapi taktik yang disengaja pihak berwenang China.
Seharusnya itu menjadi perjalanan pulang rutin ke Xinjiang untuk istri dan dua anak Mamutjan Abdurehim. Itu terjadi lima tahun lalu. Sampai saat ini, Mamutjan belum bertemu lagi dengan istri dan kedua buah hatinya.
Pada Desember 2015, istri Mamutjan, Muherrem, membawa putri dan putra mereka dari Malaysia kembali ke wilayah di China barat itu untuk mengurus paspor baru. Dia mengatakan mereka masih terperangkap di sana, terjebak dalam tindakan keras pemerintah terhadap minoritas Muslim, dimana sekitar 2 juta orang ditahan secara sewenang-wenang di kamp-kamp besar di seluruh Xinjiang.
-
Mengapa warga Uighur merasa diperlakukan tidak adil di China? Abdul mengatakan, saat ini terdapat ratusan tempat pengungsian konsentrasi yang mengelilingi pemukiman warga Uighur. Kamp konsentrasi ini diperkenalkan kepada dunia internasional sebagai pusat pendidikan. Namun kenyataannya kamp konsentrasi tersebut ditujukan untuk menghapuskan identitas agama dan bangsa Uighur serta membuat mereka lupa seorang muslim."Penerintah komunis China mengkriminalisasi praktek Islam yang normal," kata Abdul.
-
Apa yang terjadi pada warga Uighur di China yang membuat mereka terpisah dari keluarga? Abdul mengaku mendapat telepon dari kerabat di Shanghai pada September 2017. Menurut Abdul, kerabatnya itu mengabarkan bahwa adiknya diambil dari kamp konsentrasi warga Uighur di China. "Dan kemudian mereka tidak tahu tentang orang tuaku. Itu terakhir kali aku mendengar kabar dari mereka," ujar Abdul ketika menjadi narasumber pada agenda konferensi pers dan dialog publik bertemakan 'Plight of Uyghur and Current Updates' diselenggarakan oleh OIC Youth Indonesia di Marrakesh Inn Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (19/12).
-
Siapa yang menganggap pelanggaran HAM di China terhadap warga Uighur sebagai tindakan pelanggaran HAM? Presiden Organization of Islamic Conference (OIC) Youth Indonesia, Astrid Nadya Rizqita menilai banyak dugaan pelanggaran HAM dalam persoalan warga Uighur."Kalau merujuk pada HAM, kebebasan beragama, itu banyak sekali hal-hal yang melanggar HAM," kata Astrid saat menyampaikan pidato pembukaan di konferensi pers dan dialog publik bertemakan 'Plight of Uyghur and Current Updates' di Marrakesh Inn Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (19/12).
-
Bagaimana cara Indonesia bisa membantu warga Uighur di China? Menurutnya, Indonesia sebagai negara yang menganut prinsip non-intervensi juga bukan berarti hanya bisa diam, tetapi dapat menerapkan mekanisme dialog ataupun diplomasi untuk ikut bersuara dalam permasalahan dunia. "Ini bukan berarti kita diam atau memalingkan kepala. Namun, bukan berarti indonesia juga langsung lantas berangkat ke sana, tapi kita dapat menggunakan mekanisme dialog dan diskusi," ujar Astrid.
-
Kenapa Tajikistan melarang penggunaan jilbab dan pakaian tradisional Islam? Undang-undang tersebut mencuri perhatian dunia Islam. Sebab, negara pecahan Uni Soviet itu penduduknya mayoritas adalah muslim. Presiden Tajikistan Emomali Rahmon baru saja menandatangani undang-undang yang melarang warga negaranya mengenakan hijab dan pakaian tradisional Islam lainnya.
-
Siapa saja yang terlibat dalam ukhuwah Islamiyah? Ukhuwah Islamiyah merupakan konsep persaudaraan dalam agama Islam yang mengajarkan umat Muslim untuk saling tolong menolong, saling menghormati, dan saling menyayangi satu sama lain tanpa memandang perbedaan suku, ras, atau status sosial.
China membantah tuduhan pelanggaran HAM di wilayah tersebut, mengatakan kamp-kamp tersebut diperlukan untuk mencegah ekstremisme agama dan teroris.
Mamutjan menyampaik keluarganya, yang secara etnis merupakan Uighur, tidak bisa meninggalkan China, sementara dia akan berisiko ditangkap jika kembali ke China. Sekarang dia tinggal di Adelaide, Australia.
Pekan ini, tim CNN menelusuri putri Mamutjan yang berusia 10 tahun bernama Muhlise di rumah kakek dan neneknya dari pihak ayah di kota Kashgar, di Xinjiang Selatan.
Ketika ditanya apakah Muhlise punya pesan untuk ayahnya, yang belum pernah berbicara dengannya sejak 2017, Muhlise mulai menangis.
“Saya merindukannya,” ungkapnya, dikutip dari CNN, Jumat (26/3).
Ketika Mamutjan menonton video itu dari rumahnya di Adelaide, dia berusaha menahan tangis.
“Saya tidak percaya betapa tingginya (putriku) sekarang. Negara jenis apa yang melakukan ini ke orang-orang tak berdosa?”
Dalam sebuah laporan baru yang dirilis Kamis, Amnesty International memperkirakan ada ribuan keluarga Uighur di seluruh dunia yang mengalami seperti apa yang dialami Mamutjan, orang tua dan anak yang terpisah selama bertahun-tahun akibat tindakan keras pemerintah China di Xinjiang.
Di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, minoritas Muslim di Xinjiang diduga menjadi target program penangkapan massal, indoktrinasi, dan bahkan sterilisasi perempuan.
Menurut laporan Amnesty International, beberapa orang tua yang melarikan diri dari wilayah itu pada awal-awal dimulainya tindakan keras pemerintah tidak bisa berkumpul kembali dengan anak-anak mereka. Yang lainnya, seperti Mamutjan, secara tidak sengaja mendapati diri mereka berada di sisi berlawanan, dan sekarang takut kembali ke Xinjiang.
Alkan Akad, seorang peneliti China di Amnesty International, mengatakan pemisahan orang tua dan anak tidak semuanya kebetulan. Dalam beberapa kasus, ini bisa menjadi taktik yang disengaja oleh pihak berwenang.
“Pemerintah China ingin mendapatkan pengaruh atas populasi Uighur yang tinggal di luar negeri, sehingga mereka dapat menghentikan mereka terlibat dalam aktivisme dan berbicara untuk keluarga dan kerabat mereka di Xinjiang,” jelas Akad, yang menulis laporan baru tersebut.
Dalam konferensi pers pada 15 Maret, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian mengatakan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang "tidak berdasar dan sensasional."
Pemerintah China belum menanggapi pertanyaan terperinci CNN terkait keluarga yang disebutkan dalam artikel itu, atau tentang skala pemisahan keluarga antara Uighur di Xinjiang dan luar negeri.
Kami tak pantas menerima penderitaan ini
Terakhir kali Mamutjan dan keluarganya berkumpul yaitu pada 2015 di Malaysia. Saat itu, Mamutjan meneruskan studi doktoralnya bidang Kajian Dunia Muslim, dengan beasiswa benuh, sementara istrinya, Muherrem belajar bahasa Inggris. Saat itu putrinya Muhlise sekolah TK. Putranya saat itu baru enam bulan.
“Kami cukup bahagia. Kami tidak punya masalah besar dalam hidup,” kisahnya.
Pada Desember 2015, Mamutjan mengatakan, istrinya kembali ke Xinjiang dengan dua anak mereka. Istrinya kehilangan paspor dan kedutaan besar China di Malaysia menolak menerbitkan paspor baru untuknya kecuali dia kembali ke Kashgar.
Paspornya diperbarui pada 2016, tetapi istrinya tak bisa langsung kembali ke Malaysia karena masalah keuangan. Kemudian, sekitar awal 2017, dokumen perjalanan istrinya dan anaknya disita pihak berwenang. Beberapa bulan kemudian, dia mengatakan istrinya menghilang.
“Saya tetap berhubungan dengan istri saya sebelum 15 April 2017. Kami mengobrol setiap hari, melakukan panggilan video dengan anak-anak. Dan pada pertengahan April 2017, dia segera menghilang dari (aplikasi perpesanan China) WeChat,” tuturnya.
“Saya menelepon ke rumah keesokan harinya dan ibu saya mengabarkan dia pergi untuk waktu yang singkat, untuk kursus singkat. Dan saya menyadari bahwa dia ditahan.”
Mamutjan mengatakan dia belum berbicara dengan istrinya sejak saat itu. Awalnya dia khawatir anak-anaknya akan dikirim ke panti asuhan yang dikelola negara, tetapi kemudian menerima video di media sosial yang menunjukkan mereka masih tinggal terpisah dengan kakek nenek mereka dari kedua belah pihak.
Khawatir akan keselamatannya, Mamutjan meninggalkan Malaysia dan pindah ke Australia. Tidak ada kabar dari keluarganya selama bertahun-tahun. Menurut laporan yang bocor yang dilihat CNN, warga Uighur di Xinjiang bisa ditangkap hanya karena pelanggaran kecil, termasuk menghubungi kerabat di luar negeri dan merupakan hal yang umum bagi keluarga yang masih di Xinjiang untuk memutus komunikasi.
Kemudian pada Mei 2019, Mamutjan melihat video anaknya di media sosial, yang saat itu berusia 4 tahun, dengan semangat berteriak, “Ibuku sudah lulus!”
Pemerintah China bersikeras kamp-kamp interniran adalah "pusat pelatihan kejuruan" dan para tahanan adalah "pelajar", dan Mamutjan menganggap sorak-sorai putranya sebagai isyarat istrinya telah dibebaskan.
Mamutjan mengatakan dia menelepon orang tuanya, berharap video itu adalah pertanda situasi keluarga telah membaik, tetapi ketika ibunya menjawab, dia memberi tahu ada pejabat Partai Komunis China di rumah dan menutup telepon.
Dengan izin Mamutjan, wartawan CNN mengunjungi rumah orang tuanya di Kashgar tanpa pemberitahuan untuk melihat apakah mereka dapat membantu menemukan anak-anaknya - dan mencari tahu apa yang terjadi dengan istrinya.
Putrinya Muhlise membukakan pintu dengan kemeja pink cerah dan celana hitam. Saat diperlihatkan foto Mamutjan, dia berkata: "Ini Ayahku." Dia mengatakan dia tahu di mana ayahnya berada tetapi sepertinya tidak mau membicarakan di mana ibunya.
Tapi setelah menanyakan kepada kakek-neneknya, Muhlise mengatakan ibunya sedang berada di rumah neneknya yang lain, tetapi dia “tidak bisa sering-sering bertemu dengannya”. Anak berusia 10 tahun itu mengatakan dia terakhir kali melihat ibunya sekitar satu atau dua bulan yang lalu. Dia mengatakan dia tidak bersama adiknya tetapi sering bertemu.
CNN telah menanyakan kepada pihak berwenang China terkait keberadaan Muherrem, tetapi belum menerima balasan. CNN juga mencoba mengunjungi rumah orang tua Muherrem di Kashgar, tetapi tim tidak dapat menemukan siapa pun di sana - pintunya dikunci dari luar.
Ketika Muhlise ditanya apakah dia ingin bertemu kembali dengan ayahnya, dia mengatakan, “Kami tidak bisa pergi. Paspor kami disita.”
Saat ditanya apakah dia merindukan ayahnya, dia memjawab sedih, “Ibuku tidak ada di sini, dan ayahku juga tidak ada di sini. Aku ingin bertemu kembali dengan mereka.” Mendengar jawaban itu, neneknya langsung menangis.
Mamutjan meyakini pemerintah China memisahkan orang tua dari anak-anak mereka sebagai cara untuk mengintimidasi dan mengendalikan kelompok minoritas Xinjiang.
“Ini pada dasarnya adalah hukuman kolektif untuk etnis dan agama mereka serta nilai-nilai budaya mereka yang unik,” jelasnya.
“Kami tidak pantas menerima semua penderitaan yang luar biasa ini.”
Tindakan nekat
Beberapa orang tua melakukan tindakan nekat agar bisa berkumpul kembali dengan anak-anak mereka.
Pada 2016, Ablikim Mamtinin dan istrinya Mihriban Kader mengatakan mereka terpaksa melarikan diri dari Xinjiang setelah dia hamil anak keenam mereka. Di bawah kebijakan keluarga berencana China, sebagian besar keluarga hanya diizinkan memiliki satu anak sampai 2015, meskipun etnis minoritas pedesaan, termasuk Uighur, diizinkan memiliki hingga tiga anak di wilayah tersebut. Kebijakan baru yang diterapkan pada 2017 mengatakan semua pasangan perkotaan di Xinjiang dapat memiliki dua anak, sementara pasangan pedesaan dapat memiliki tiga anak.
Setiap melahirkan anak, Mihriban dan Ablikim mengatakan mereka membayar denda dan suap untuk menghindari hukuman dari pihak berwenang. Namun pada 2016, mereka mengaku diberi peringatan dari pejabat setempat bahwa kesabaran mereka sudah berakhir.
Ablikim mengatakan jika mereka tetap tinggal di Xinjiang lebih lama, istrinya akan dipaksa melakukan aborsi.
“Mereka akan memenjarakan saya karena memiliki enam anak,” cetusnya.
Mihriban dan Ablikim berhasil mendapatkan visa turis ke Italia, memberi mereka kesempatan untuk melarikan diri dan memulai hidup baru di Eropa. Tetapi biro perjalanan mereka mengatakan tidak bisa mendapatkan visa untuk kelima anak mereka – visa hanya untuk anak yang paling kecil. Zumeryem, Yehya, Muhammad dan Shehide harus tetap tinggal.
Itu adalah pilihan yang sangat menyakitkan bagi Mihriban dan Ablikim. Pada akhirnya, setelah meninggalkan keempat anak dengan kakek-neneknya, mereka pergi, berharap bisa bertemu kembali secepatnya setelah mereka menetap di Italia. Tetapi ketika tindakan keras di Xinjiang semakin intensif, kerabat mereka di China berhenti mengangkat telepon dan membalas surel mereka. Mereka mendengar beberapa kerabat mereka ditahan, yang mereka yakini sebagai akibat dari keputusan mereka pergi ke Italia. Mereka tidak bisa menghubungi siapapun dan tidak mengetahui keberadaan keempat anak mereka selama empat tahun.
Pada awal 2020 mereka bisa berkomunikasi kembali dan mendengar betapa berat situasi di Xinjiang. Mereka kemudian memutuskan sudah waktunya untuk segera membawa anak-anak mereka keluar dari China. Dokumen visa untuk keempat bersaudara itu telah disetujui oleh pemerintah Italia pada 2019, tetapi paspor mereka akan segera kedaluwarsa, dan pihak berwenang mengancam untuk mengirim anak-anak tersebut ke panti asuhan milik negara.
Pada Juni 2020, diarahkan dari jarak jauh oleh orang tua mereka di Italia dan sepupu di Kanada, keempat bersaudara itu - yang saat itu berusia antara 11 dan 16 tahun - melakukan perjalanan dari desa terpencil mereka di Xinjiang sampai ke Shanghai, menempuh perjalanan sejauh lebih dari 4.800 kilometer demi mendapatkan visa agar bisa berkumpul kembali dengan orang tua mereka di Italia.
Saat mereka tiba di konsulat Italia di Shanghai untuk mengambil visa mereka, anak-anak tersebut mengatakan mereka dihentikan oleh penjaga keamanan China di lobi gedung, tempat konsulat itu berada di lantai 19.
Surel dari petugas konsulat kemudian mengarahkan anak-anak tersebut ke kantor visa Italia yang berbeda di Shanghai, yang akhirnya menolak aplikasi visa mereka, dengan alasan tidak menerima dokumen pengajuan visa, dan anak di bawah umur harus didampingi oleh orang dewasa. Mereka juga mengatakan keempatnya harus mendaftar di Beijing, yang saat itu sedang lockdown karena Covid-19.
Kantor visa Italia dan konsulat Italia di Shanghai belum menanggapi pertanyaan CNN. Kementerian Luar Negeri Italia di Roma mengatakan kepada CNN "kami tidak akan berkomentar" tentang kasus tersebut.
Keempat bersaudara itu diambil petugas dan dibawa kembali ke Xinjiang, di mana mereka diinterogasi dan kemudian dikirim ke pusat karantina Covid-19 selama dua minggu. Ketika mereka dibebaskan, keempat anak itu dimasukkan ke panti asuhan milik negara.
Di pusat kota Payzawat, sekitar satu jam perjalanan dari Kashgar, CNN berusaha menemukan keempat bersaudara itu dengan izin orang tua mereka, tetapi pejabat setempat tidak mengizinkan tim untuk mengunjungi anak-anak tersebut. CNN dapat terhubung dengan Yehya, anak kedua, melalui video call WeChat.
Ketika ditanya apakah dia ingin bertemu kembali dengan orang tuanya, dia mengatakan, “Saya bersedia.”
Satu suara di ujung telepon memberi tahu Yehya, "Katakan kepada mereka bahwa kamu bertemu saudara perempuanmu setiap hari." Ketika ditanya apakah dia ingin menyampaikan pesan kepada orang tuanya, orang itu meminta Yehya mengatakan "tidak ada" pesan untuk orang tuanya.
Saat anak-anak sesekali mendapatkan akses telepon di panti asuhan, mereka bisa berbicara dengan orang tua mereka. Baru-baru ini, mereka mengirim foto mereka berempat berdiri di depan kawat berduri di luar fasilitas tersebut. Gambar lain yang mereka kirim membawa pesan berbahasan Mandarin, bertuliskan, "Ayah, Ibu, kami merindukanmu."
Terlepas dari kesulitan yang mereka hadapi untuk menjemput anak-anaknya, Mihriban dan Ablikim mengatakan mereka tidak akan berhenti berusaha.
Pasangan ini tinggal di kota kecil Italia Priverno, dekat Roma.
“Saya tidak akan pernah menyerah sampai saya membawa kembali anak-anak saya dengan selamat dan berkumpul kembali dengan keluarga saya,” kata Mihriban.
Saya hanya ingin Anda mengembalikan anak-anakku
Dalam sebuah laporan yang dirilis pada Maret, lebih dari 50 pakar hukum internasional global dan Xinjiang menyebut pemisahan anak-anak dari keluarga Uighur mereka merupakan pelanggaran Konvensi Genosida PBB.
Konvensi ini berbunyi "memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok (etnis) ke kelompok lain" dianggap sebagai tindakan genosida, jika dimaksudkan untuk menghancurkan kelompok yang dilindungi. Para pakar menemukan hal itu yang terjadi di Xinjiang.
Laporan tersebut mengutip dokumen pemerintah China yang menunjukkan, antara 2017 dan 2019, jumlah anak yang telah dipisahkan dari keluarga mereka di Xinjiang dan ditempatkan di sekolah berasrama yang dikelola pemerintah telah meningkat 76,9 persen, dari angka di bawah 500.000 menjadi 880.500.
Selama konferensi pers di Beijing pada 7 Maret, Menteri Luar Negeri China Wang Yi membantah ada bukti genosida yang terjadi di Xinjiang, menyebut tuduhan itu "tidak masuk akal."
Sejarawan Uighur, Rian Thum, dosen senior di Universitas Manchester dan salah satu penulis laporan Maret tersebut, mengatakan penempatan anak-anak di panti asuhan yang dikelola negara adalah bagian dari strategi pemerintah China berusaha mengasimilasi populasi Uighur.
"Ini adalah kebijakan yang tersebar luas secara konsisten, mereka memiliki terminologi khusus untuk itu," jelasnya.
"Kami melihatnya tidak hanya di satu atau dua daerah, kami dapat melihatnya di seluruh wilayah Uighur."
Pemerintah China membantah berusaha menghapus budaya Uighur, mengatakan mereka menghormati semua etnis dan agama minoritas China.
Pada konferensi pers Februari, juru bicara pemerintah Xinjiang mengatakan ada berbagai alasan mengapa orang Uighur di luar negeri kehilangan kontak dengan kerabat mereka di Xinjiang, termasuk kemungkinan mereka "tersangka kejahatan yang ditahan polisi".
"Jika Anda tidak dapat menghubungi kerabat Anda di Xinjiang, Anda harus menghubungi kedutaan atau konsulat China terdekat. Kami akan bekerja sama dengan mereka untuk memberikan bantuan," katanya.
Tetapi wawancara CNN dengan anak-anak tersebut menggambarkan keamanan yang ketat dan tekanan luar biasa yang dialami warga Xinjiang.
Mamutjan tidak hanya mengkhawatirkan anak-anaknya, tetapi seluruh generasi muda Uighur yang tumbuh di bawah penindasan di Xinjiang.
"Anak-anak Uighur di panti asuhan sedang dicuci otaknya, (mereka) tidak tahu apa-apa tentang budaya mereka, tentang bahasa mereka, dan nilai-nilai agama mereka," katanya.
Ablikim memohon kepada Presiden Xi Jinping agar mengizinkan anak-anaknya terbang ke Italia dan bersatu kembali dengan orang tua mereka.
"Presiden China, saya hanya ingin Anda mengembalikan anak-anakku."
(mdk/pan)