Cerita Warga Uighur Hilang Kontak Tujuh Tahun dengan Keluarga Akibat Aksi Genosida
Cerita Warga Uighur Hilang Kontak Tujuh Tahun dengan Keluarga Akibat Aksi Genosida
Warga Uighur berharap Indonesia sebagai negara dengan mayoritas warga muslim dapat meningkatkan kesadaran untuk menyuarakan keadilan bagi warga Uighur.
-
Siapa korban dari pembantaian di China? 41 tulang belulang tanpa kepala yang dianalisis ternyata semuanya milik wanita dan anak-anak.
-
Apa itu Rohingya? Etnis Rohingya adalah kelompok etnis minoritas Muslim yang mayoritas tinggal di negara bagian Rakhine di Myanmar.
-
Di mana situs pembantaian di China berada? Peneliti menemukan situs pembantaian ini, dikenal sebagai situs Honghe di Provinsi Heilongjiang, China timur laut, pada tahun 1990-an.
-
Dimana Rohingya tinggal? Etnis Rohingya adalah kelompok etnis minoritas Muslim yang mayoritas tinggal di negara bagian Rakhine di Myanmar.
-
Apa tindakan AS terkait genosida di Xinjiang? Laporan yang diterbitkan pada Rabu waktu setempat itu menggambarkan China sebagai 'rezim yang represif,' dengan mengklaim ada genosida di Xinjiang dan pembatasan kegiatan keagamaan tertentu.
-
Kenapa Rohingya melarikan diri? Mereka telah menghadapi diskriminasi, kekerasan, dan penganiayaan dari pemerintah dan mayoritas Buddhisme Rakhine.
Cerita Warga Uighur Hilang Kontak Tujuh Tahun dengan Keluarga Akibat Aksi Genosida
Salah seorang masyarakat Uighur menceritakan pengalaman hidupnya yang harus berpisah dengan keluarga akibat pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dialaminya di China.
Direktur Eksekutif Center for Uyghur Studies, Abdul Hakim Idris menceritakan pengalaman tragis dialaminya sebagai warga Uighur. Abdul mengaku hilang komunikasi dengan keluarganya di China selama hampir 7 tahun.
Abdul mengaku mendapat telepon dari kerabat di Shanghai pada September 2017. Menurut Abdul, kerabatnya itu mengabarkan bahwa adiknya diambil dari kamp konsentrasi warga Uighur di China.
"Dan kemudian mereka tidak tahu tentang orang tuaku. Itu terakhir kali aku mendengar kabar dari mereka," ujar Abdul ketika menjadi narasumber pada agenda konferensi pers dan dialog publik bertemakan 'Plight of Uyghur and Current Updates' diselenggarakan oleh OIC Youth Indonesia di Marrakesh Inn Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (19/12).
Abdul mengaku sempat mewawancarai beberapa warga Uighur yang menjadi korban genosida. Banyak dari mereka yang terpisah dari keluarganya, diperlakukan tidak adil bahkan diperkosa.
"Bahkan beberapa dari mereka dipaksa untuk menikah dengan warga China bermarga Han," kata Abdul.
Abdul mengatakan, saat ini terdapat ratusan tempat pengungsian konsentrasi yang mengelilingi pemukiman warga Uighur. Kamp konsentrasi ini diperkenalkan kepada dunia internasional sebagai pusat pendidikan. Namun kenyataannya kamp konsentrasi tersebut ditujukan untuk menghapuskan identitas agama dan bangsa Uighur serta membuat mereka lupa seorang muslim.
"Penerintah komunis China mengkriminalisasi praktek Islam yang normal," kata Abdul.
Abdul bahkan mengatakan warga Uighur yang membaca Alquran atau melaksanakan salat secara rutin dianggap sebagai tindakan kriminal.
Karena itu, Abdul berharap bahwa Indonesia sebagai negara dengan mayoritas warga muslim dapat meningkatkan kesadaran untuk menyuarakan keadilan bagi warga Uighur.
"Sebagai warga Uighur, kami hanya ingin hidup seperti manusia normal. Kami ingin mempelajari agama kami, menjadi seorang muslim," kata Abdul.
Sementara itu, Presiden Organization of Islamic Conference (OIC) Youth Indonesia, Astrid Nadya Rizqita menilai banyak dugaan pelanggaran HAM dalam persoalan warga Uighur.
"Kalau merujuk pada HAM, kebebasan beragama, itu banyak sekali hal-hal yang melanggar HAM," kata Astrid saat menyampaikan pidato pembukaan di konferensi pers dan dialog publik bertemakan 'Plight of Uyghur and Current Updates' di Marrakesh Inn Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (19/12).
"Konteksnya adalah bagaimana menjamin kebebasan untuk mengekspresikan diri, dalam menggunakan simbol atau pakaian tertentu yang identik dengan agama tertentu," imbuhnya.
Menurutnya, Indonesia sebagai negara yang menganut prinsip non-intervensi juga bukan berarti hanya bisa diam, tetapi dapat menerapkan mekanisme dialog ataupun diplomasi untuk ikut bersuara dalam permasalahan dunia.
"Ini bukan berarti kita diam atau memalingkan kepala. Namun, bukan berarti indonesia juga langsung lantas berangkat ke sana, tapi kita dapat menggunakan mekanisme dialog dan diskusi," ujar Astrid.
Kendati demikian, menurut Astrid, tindakan diplomasi tidak hanya dapat dilakukan oleh pemerintah, namun pihak swasta maupun masyarakat juga dapat mengambil peran.
"Salah satu tugas civil society itu juga termasuk untuk turut serta sebagai aktor diplomasi," tuturnya.
Lebih lanjut, Astrid juga menjelaskan bahwa perkembangan situasi terkini dari masyarakat Uighur di China, di mana masih banyak CCTV atau kamera pengawas yang mengamati kondisi atau pergerakan warga di sana, khususnya di provinsi Xinjiang.
"Kondisi saat ini masih terjadi pembatasan atau pengawasan, baik secara langsung ataupun tidak langsung menggunakan teknologi yang lebih canggih," jelasnya.
Harapannya, pemerintah bersama masyarakat Indonesia dapat secara tegas lebih menyuarakan kebebasan hak, ras, dan agama warga muslim Uighur.
"Kalau ada saudara kita yang memang tertindas, di persekusi, ditahan, kemudian disterilisasi paksa, ya itu kita harus bersuara," pungkas Astrid.