Pengungsi Rohingya dan Penolakan Warga Aceh
Pengungsi Rohingya kini mendapat penolakan dari warga Aceh. Pemerintah diminta bertindak tegas.
Hingga akhir November 2023, tercatat 1.084 warga Rohingya yang mendarat di Aceh menggunakan 6 kapal kayu.
Pengungsi Rohingya dan Penolakan Warga Aceh
139 Pengungsi Rohingya kembali mendarat di Pantai Tapak Gajah, Sabang, Aceh pada Sabtu 2 Desember 2023. Dalam sebulan terakhir, hampir seribu orang warga Rohingya datang ke Indonesia. Warga Aceh kini berubah sikap, mereka menolak para pengungsi.
Hingga akhir November 2023, tercatat 1.084 warga Rohingya yang mendarat di Aceh menggunakan 6 kapal kayu. Pantai di Pidie, Bireuen, Aceh Timur, dan Sabang yang menjadi tempat mereka bersandar.
Kapolda Aceh Irjen Achmad Kartiko menyebut, para pengungsi itu kabur dari Cox's Bazar di Bangladesh, tempat penampungan terbesar warga Rohingya yang kabur dari Myanmar. Dari penyelidikan polisi, para pengungsi itu membawa kartu UNHCR yang diterbitkan di Bangladesh.
Polisi mendesak, Badan PBB yang mengurus pengungsi itu bertanggung jawab karena membiarkan warga Rohingya kabur dari kamp pengungsian Cox's Bazar. Apalagi, ditemukan fakta, mereka kabur dengan membayar kapal yang diketahui berasal dari Bangladesh.
Ditolak Warga Aceh
Sikap warga Aceh kini berubah. Mereka terang-terangan menolak gelombang warga Rohingya yang tiba. Salah satu alasan yang terungkap adalah perilaku warga Rohingya yang meresahkan.
Selain tidak memiliki tempat penampungan, warga Aceh juga kesal dengan perilaku pengungsi yang tidak menjaga kebersihan dan mengindahkan norma-norma setempat yang berlaku. Banyak juga pengungsi sebelumnya yang kabur dari lokasi penampungan dan membuat onar, berkonflik dengan warga setempat.
Aksi unjuk rasa sempat dilakukan Mahasiswa Pemuda Peduli Aceh (MPPA) pada 29 November lalu. Menurut mereka, sudah cukup bagi pemerintah Aceh mengurus pengungsi Rohingya karena masih banyak warga lokal yang membutuhkan bantuan dan pertolongan. Pemerintah diminta bersikap tegas dengan mengusir para pengungsi.
Asal Usul dan Sejarah Etnis Rohingya
Etnis Rohingya awalnya bermula dari lokasi bernama Rakhine, yang merupakan sebuah negara bagian yang terletak di barat Myanmar dan berbatasan langsung dengan Teluk Benggala (Bay of Bengal). Rakhine yang tepat berada di seberang Benggala, India menjadi pusat perdagangan karena lokasinya yang strategis dan dilalui sebagai pintu masuk ke Myanmar.
Rohingya berasal dari kata 'Rohai' atau 'Roshangee' yang berarti penduduk muslim Rohang atau Roshang, sebutan untuk daerah setempat sebelum dinamai Arakan, lalu menjadi Rakhine. Etnis Rohingya memang dikenal sebagai kelompok yang memiliki identitas khas karena orang-orang Rohingya merupakan hasil percampuran dari berbagai suku dan etnis seperti Arab, Turk, Persian, Afghan, Bengali, Portuguese, Moors, dan masih banyak lagi.
Etnis muslim Rohingya tergolong kalangan minoritas karena memiliki bahasa dan budaya sendiri, apalagi jika dibandingkan dengan warga Myanmar yang hampir 90 persen beragama Buddha.
Di wilayah tersebut, selama bertahun-tahun kekerasan berulang kali terjadi antara warga mayoritas dengan masyarakat kalangan muslim Rohingya. Etnis ini seringkali menghadapi diskriminasi yang tidak kunjung usai, bahkan tidak diakui sebagai warga negara Myanmar.
Fenomena tersebut memuncak ketika pemerintah Myanmar resmi menghapus etnis Rohingya dari daftar etnis dan ras negaranya, mengacu pada UU Kewarganegaraan Burma 1982. Sejak saat itu, warga Rohingya disebut-sebut sebagai 'manusia tanpa negara'.
Setelah Birma merdeka, etnis muslim Rohingya mengalami banyak pengucilan. Salah satunya pada 1962, Jenderal Ne Win mensistematiskan penindasan terhadap Rohingya dengan membubarkan organisasi politik dan sosial mereka. Pasukan pemerintah Brima juga mengusir paksa ribuan etnis muslim Rohingya.
Pada tahun 2012, Rakhine menjadi sorotan dunia setelah terjadi bentrok berdarah kedua kelompok yang menewaskan lebih dari 200 orang. Sementara 140.000 warga lainnya terpaksa mengungsi.
Penyerangan ke tiga pos perbatasan pada 9 Oktober 2016 lalu memicu dilaksanakannya operasi militer di Rakhine, tepatnya di wilayah yang menjadi permukiman warga muslim Rohingya.
Tak hanya itu, muncul pula dugaan penyalahgunaan wewenang oleh militer. Mereka dikabarkan melakukan pemerkosaan, pembunuhan, dan pembakaran rumah serta gedung.
Apa yang Harus Dilakukan Indonesia?
Mengacu pada laman resmi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Republik Indonesia, Indonesia tidak memiliki kewajiban hukum untuk menyediakan pemukiman permanen bagi pencari suaka dan/atau pengungsi internasional karena Indonesia bukan bagian dari Pihak pada Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi.
Namun demikian, Indonesia tetap berkomitmen memberikan perlindungan dan bantuan kemanusiaan kepada para pengungsi meskipun kedatangan mereka ke Indonesia hanya transit dan bersifat ilegal.
Dalam Konvensi Internasional dikenal prinsip non-refoulement di mana negara dilarang menolak atau mengembalikan para pengungsi. Prinsip ini mengharuskan setiap negara untuk menerima, menyediakan tempat, melindungi serta melayani para pengungsi dan melarang untuk menolak kedatangan mereka, meskipun bukan sebagai pihak pada Konvensi Pengungsi 1967.
Di Indonesia, penanganan pengungsi dan pencari suaka mengikuti pedoman berdasarkan Peraturan Presiden No. 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri di bawah pengawasan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan keamanan.
Selama ini, Indonesia juga telah berkoordinasi dengan International Organization for Migration (IOM) dan UNHCR untuk menangani persoalan pengungsi dan imigran.
Juru bicara Kemlu, Lalu Muhammad Iqbal menegaskan, kejadian semacam ini akan terus berulang selama akar masalahnya tidak diselesaikan, yaitu masalah Rohingya di Myanmar.
Terkait arus arus pengungsi yang saat ini terjadi lagi, pemerintah Indonesia meminta negara-negara pihak pada Konvensi Pengungsi 1951 untuk menunjukkan tanggung jawab lebih.
"Namun demikian selama ini kita selalu memberikan penampungan, semata-mata karena alasan kemanusiaan. Penampungan yang kami berikan bersifat jangka pendek dan bukan sebagai solusi permanen," ujarnya seperti dikutip dari BBC.