Miftah Cut Ade, ketua komunitas nelayan di Aceh, mengatakan dua perahu mendarat di provinsi tersebut pada Minggu pagi, masing-masing satu di Kabupaten Pidie dan Aceh Besar.
FOTO: Lonjakan Pengungsi Rohingya Kembali Tiba di Aceh, Ada 400 Lagi yang Baru Datang Mendarat di Pantai Pidie
Perahu-perahu kayu yang membawa sekitar 400 etnis Rohingya kembali tiba di provinsi Aceh, Indonesia pada hari Minggu (10/12/2023) Informasi ini telah dikonfirmasi dari ketua komunitas nelayan Aceh.
Sebelum kedatangan mereka pada hari Minggu pagi ini, badan pengungsi PBB (UNHCR) mengatakan bahwa sebanyak 1.200 orang Rohingya, minoritas yang teraniaya dari Myanmar, telah mendarat di Indonesia sejak bulan November.
Miftah Cut Ade, ketua komunitas nelayan di Aceh, mengatakan dua perahu mendarat di provinsi tersebut pada Minggu (10/12/2023) pagi, masing-masing satu di Kabupaten Pidie dan Aceh Besar.
"Setiap perahu membawa sekitar 200 orang Rohingya", katanya.
Andi Susanto, seorang pejabat militer setempat, mengatakan sekitar 180 orang Rohingya telah mendarat di Pidie pada pukul 4 pagi.
Susanto membenarkan bahwa pihak militer mengetahui adanya kapal kedua.
Namun tidak memiliki informasi mengenai di mana kapal tersebut mendarat dan berapa jumlah penumpang di dalamnya.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menanggapi dalam sebuah pernyataan pada hari Jumat lalu, ia mencurigai adanya perdagangan manusia berada di balik peningkatan kedatangan kapal baru-baru ini.
Jokowi pun telah berjanji untuk menangani masalah ini dengan bekerja sama dengan organisasi internasional.
Indonesia sendiri sebenarnya bukan negara penandatangan Konvensi PBB tentang Pengungsi tahun 1951, namun memiliki sejarah menerima pengungsi ketika mereka tiba di wilayah Indonesia.
Namun tingginya jumlah pendatang baru-baru ini telah memicu reaksi negatif di media sosial dan penolakan dari masyarakat di Aceh, wilayah paling barat yang banyak dilalui kapal.
Selama bertahun-tahun, warga Rohingya telah meninggalkan Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Budha. Mereka umumnya dianggap sebagai penyelundup asing dari Asia Selatan, ditolak kewarganegaraannya, dan menjadi sasaran pelecehan.
Ketika laut lebih tenang antara bulan November dan April setiap tahun, anggota kelompok minoritas yang teraniaya berangkat dengan perahu kayu menuju negara tetangga Thailand dan Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim.