"Tanpa Air, Listrik, dan Makanan, Mereka Ingin Membuat Gaza Kembali ke Zaman Batu"
Sudah dua pekan sejak Israel memutus pasokan makanan, air, listrik, bahan bakar dan internet di Gaza.
Perang memasuki pekan ketiga di Gaza. Kondisi kehidupan warga kian memburuk di luar batas kemanusiaan.
"Tanpa Air, Listrik, dan Makanan, Mereka Ingin Membuat Gaza Kembali ke Zaman Batu"
Warga laki-laki mengantre dengan sabar di luar sebuah toko roti di kamp pengungsi Deir al-Balah, Gaza, Palestina.
Sudah dua pekan sejak Israel memutus aliran listrik dan pasokan bahan bakar ke Jalur Gaza karena perang. Sebagian besar toko roti di kota itu kini tutup. Jutaan penduduk Palestina di Gaza kini menghadapi ancaman serius kelaparan dan kekurangan gizi.
- Pasukan Israel Serbu dan Serang RS Al-Shifa di Gaza, Terdengar Suara Ledakan
- Pasukan Israel Tanam Pohon di Gaza, Ternyata Ini Tujuannya
- Begini Reaksi Warga Gaza Saat Baca Selebaran Israel Berisi Tawaran Imbalan Uang Soal Tawanan Hamas
- Israel Putus Pasokan Listrik ke Gaza, Rumah Sakit Terancam Tak Bisa Beroperasi
Saat perang memasuki pekan ketiga, toko roti yang masih beroperasi menjadi penopang utama bagi warga yang berjuang untuk bertahan hidup. Mesin roti yang rusak membuat banyak orang harus bersabar untuk mendapatkan roti.
Sumber: Middle East Eye
"Saya punya sembilan anggota keluarga dan sekitar 15 saudara yang tinggal bersama kami," ujar Abu bakr Zinati, penduduk Deir al-Balah.
"Kami biasanya memerlukan setidaknya satu karung roti berisi lima puluh keping setiap hari, tetapi sejak dimulainya serangan Israel, kami hanya bisa mendapatkan dua puluh keping roti sehari," kata dia kepada Middle East Eye (MEE).
Bagi Zinati dan orang-orang Palestina lainnya di Gaza, bertahan hidup berarti tidak hanya menghindari pengeboman Israel tetapi juga memastikan mereka bisa mendapatkan bahan pokok seperti roti.
"Dalam sepekan terakhir, kami berjuang untuk menemukan toko roti yang masih buka dan beroperasi," kata Zinati.
“Sekarang pemilik toko yang satu ini baru saja memberitahu kami bahan bakar yang menjalankan generator listrik telah habis.
"Saya tidak tahu apa yang akan kita lakukan sekarang, lebih banyak toko roti yang menutup pintu mereka setiap hari."
Krisis bahan bakar bukan hanya mempengaruhi toko roti, tetapi juga menyebabkan supermarket tidak dapat mendinginkan barang dagangan mereka, dan pabrik desalinasi tidak dapat beroperasi. Ini mengakibatkan penurunan tajam dalam pasokan makanan, listrik yang dihasilkan oleh generator, dan air bersih di Gaza.
Gaza menghadapi krisis bahan bakar ini setelah Israel memberlakukan blokade penuh, yang berarti tidak ada bahan makanan, air, bahan bakar, obat-obatan, atau listrik yang masuk ke Gaza.
Wilayah ini juga memiliki perbatasan dengan Mesir, tetapi perbatasan ini juga sering kali menjadi sasaran serangan oleh Israel, sehingga bantuan internasional tidak dapat dengan mudah memasuki wilayah tersebut.
"Kami biasa menerima sekitar satu hingga empat jam listrik sehari selama pekan pertama serangan itu," kata Zinati.
"Sekarang kami tidak menerima pasokan listrik apa pun. Kita tidak bisa mengisi daya ponsel untuk saling menelepon atau menonton TV untuk melihat apa yang terjadi di sekitar kita.
"Kami hanya mendengar pengeboman di sekitar kami sepanjang hari tetapi kami tidak tahu dari mana asalnya," tambahnya.
"Kami tetap menyalakan radio hampir sepanjang hari karena itu adalah satu-satunya sumber informasi kami," ujar Zinati.
"Tetapi sesekali pasukan Israel meretas stasiun lokal dan menyiarkan pesan yang direkam yang memberi tahu penduduk untuk tidak mendukung Hamas, dan mengancam pembalasan terhadap siapa pun yang melakukannya.
"Mereka juga secara teratur meminta warga untuk mengevakuasi rumah mereka dan pindah ke selatan Jalur Gaza," lanjut Zinati.
Kekurangan air bersih ini menyebabkan penduduk Gaza harus bergantung pada pengiriman air minum. Dan ini menjadi masalah serius karena jumlah pendatang baru di wilayah tersebut semakin bertambah.
"Kami mengisi dua tangki air setiap beberapa hari ketika pria yang membagikan air minum datang ke lingkungan kami, dan kami membayar sekitar tiga Shekel (Rp 11.706) untuk setiap tangki.
“Ketika tidak ada air, kami bahkan tidak bisa memasak, kami mengandalkan makanan kaleng yang secara bertahap habis di supermarket. Anak-anak saya meminta makanan buatan sendiri, hati saya pedih, terutama untuk anak-anak masih kecil yang perlu makan sehat di usia ini."
"Kami bisa membeli sejumlah kecil air dan makanan dari hari ke hari, tetapi kami tidak bisa menyimpan makanan atau air karena bahkan pasar tidak bisa menyediakan banyak," lanjut Saqer.“Jika ada lima kotak air kemasan di supermarket, kami mengambil satu dan meninggalkan sisanya untuk keluarga lain.
“Kami dibiarkan tanpa makanan, air, listrik, bahan bakar, atau internet. Israel ingin mengembalikan Gaza ke zaman batu."