"Kelaparan Ini Lebih Parah Daripada Mendengar Ledakan Bom, Setiap Hari Selalu Lebih Buruk dari Hari Sebelumnya"
"Kelaparan Lebih Parah Daripada Mendengar Bom, Setiap Hari Selalu Lebih Buruk dari Hari Sebelumnya"
Krisis kelaparan memuncak pada bulan Maret, dengan puluhan anak meninggal karena kekurangan gizi dan penduduk dipaksa untuk makan rumput.
"Kelaparan Ini Lebih Parah Daripada Mendengar Ledakan Bom, Setiap Hari Selalu Lebih Buruk dari Hari Sebelumnya"
Ali pergi keluar setiap hari. Di tengah gempuran bom dan penembakan Israel yang tak henti-hentinya menghujani Gaza, dia berusaha mencari makanan untuk keluarganya.
"Keluarga saya, anak-anak, semuanya menunggu saya datang dan mengatakan 'ada makanan' atau 'saya membawa sayuran'," kata pria Palestina itu kepada Middle East Eye (MEE).
Tetapi hampir setiap hari, katanya, dia kembali dengan tangan kosong dan sedih.
"Kami berhenti berbicara tentang 'Kapan perang akan berakhir?' dan mulai berbicara tentang 'Kapan makanan akan datang?" tambahnya.
Ali dan penduduk Gaza lainnya kini serba kelaparan karena pengepungan Israel yang menghalangi pengiriman makanan dan barang-barang medis yang penting untuk menyelamatkan nyawa.
Rania, di Kota Gaza, juga pergi ke pasar setiap hari untuk mencari makanan. Apa yang ia temukan tidak terjangkau atau sangat terbatas stoknya.
"Tidak ada sayuran, buah-buahan atau susu di pasar. Tidak ada yang memiliki nilai gizi," katanya.
Rania mengatakan ia menerima sekeranjang makanan dari Program Pangan Dunia (WFP) lebih dari sebulan lalu, yang berisi halva, kacang-kacangan, hummus, kacang polong, dan potongan daging. Dia masih menyimpan makanan itu sampai sekarang.
"Saya telah menjatahnya karena jika saya kehabisan, saya tidak akan punya apa-apa untuk dimakan," katanya. "Saya merasa pusing dan lemah. Wajah saya pucat dan berat badan saya turun drastis."
Pengalaman Rania dan Ali serupa dengan pengalaman ratusan ribu warga Palestina di Jalur Gaza, khususnya di bagian utara.
Pengepungan semakin ketat di Gaza utara, wilayah yang berusaha dikosongkan oleh Israel dari lebih dari satu juta penduduknya pada awal perang di bulan Oktober.
Bersamaan dengan pengeboman tanpa henti dan penargetan rumah sakit yang disengaja, dan sebagai bagian dari kebijakan yang merupakan hukuman kolektif terhadap warga sipil, militer Israel telah menggunakan kelaparan sebagai senjata perang, kata para penyelidik independen PBB.
Krisis kelaparan memuncak pada bulan Maret, dengan puluhan anak meninggal karena kekurangan gizi dan penduduk dipaksa untuk makan rumput karena pasukan Israel berulang kali membunuh orang-orang yang mencari bantuan.
Bagi Ali, tidak ada kata-kata yang dapat menggambarkan kelaparan yang dialami orang-orang di Gaza.
"Ini lebih buruk dari semua pengeboman, kebisingan, dan kengerian yang kami alami, dan bahkan lebih buruk dari kelaparan yang pernah kami alami," ujarnya, merujuk pada krisis kelaparan yang terjadi pada Maret lalu.
Sekarang, katanya, dengan melonjaknya suhu di Gaza, semakin sulit untuk menyimpan makanan.
Beberapa makanan kaleng yang berhasil mencapai Gaza utara melalui truk-truk bantuan tidak dapat dimakan. Paparan sinar matahari selama perjalanan menyebabkan sebagian besar stok makanan tersebut rusak sebelum sampai ke tangan warga Palestina yang kelaparan.
"Kami telah menyaksikan lebih dari satu kasus keracunan di Kota Gaza akibat pembusukan makanan kaleng ini," kata Ali.
Menurut kantor media pemerintah yang berbasis di Gaza, ada banyak kasus keracunan makanan akibat
mengkonsumsi makanan kaleng kedaluwarsa dalam beberapa hari terakhir, terutama di kalangan anak-anak.
Banyak warga Palestina di Gaza kini berusaha menanam makanan di rumah mereka untuk menghindari kelaparan. Mereka berusaha menanam tanaman yang dapat tumbuh dengan cepat, seperti zucchini, mentimun, dan tomat.
Namun, tanaman membutuhkan air, sesuatu yang juga sangat langka di Gaza.
Sebelum perang Israel di Gaza dimulai pada 7 Oktober lalu, 96 persen air di daerah kantong tersebut sudah tidak layak untuk dikonsumsi manusia akibat blokade Israel selama 17 tahun.
Sekarang situasinya lebih buruk, dengan sistem air, sanitasi dan kebersihan yang sama sekali tidak berfungsi, kata PBB pekan lalu.
"Kami tidak tahu berapa lama lagi kami bisa bertahan," kata Ali.
"Setiap hari kami berantakan dan hancur. Setiap hari lebih buruk dari hari sebelumnya."