Aktualisasi diri, cara komunitas Tobucil tetap eksis selama 15 tahun
Pendekatan hobi cukup efektif dalam menjaring anak muda.
Toko Buku Kecil atau Tobucil lahir di saat istilah komunitas sendiri masih asing di Bandung. Selama 15 tahun Tobucil memilih konsisten sebagai komunitas, wadah berbagi ilmu dan bersama-sama mengamalkannya.
Bertempat di Jalan Aceh 56 Bandung, sejarah perjalanan Tobucil cukup panjang dan banyak bersinggungan dengan pemikiran serta gerakan kreatif di Bandung. Pendiri Tobucil, Tarlen Handayani, menuturkan setahun pasca jatuhnya Presiden Soeharto, Tobucil masih berupa embrio yang pindah dari satu rumah ke rumah lainnya lewat sebuah arisan buku.
Arisan tersebut dinamai Klub Baca Minggu Sore yang dijalankan sejumlah aktivis muda. Acara seminggu sekali ini membahas buku-buku filsafat, sejarah, sastra, cerpen maupun novel. Pada 2001 cikal bakal Tobucil tersebut ditawari mengisi ruang publik bernama Trimarta Center, yaitu ruang publik di Dago (Ir. H. Djuanda). Di sini Klub Baca Minggu Sore berubah nama menjadi Pasar Buku Bandung. Kegiatan utamanya sebagai media literasi dengan misi mewadahi berbagai komunitas yang ada.
“Jadi Tobucil ingin memberikan pilihan bagi komunitas lain yang ingin berkegiatan,” kata Tarlen, saat berbincang dengan merdeka.com.
Waktu itu ruang kegiatan bagi komunitas di Bandung masih sangat minim, bahkan istilah komunitas sendiri masih bersifat underground dengan citra yang “dicurigai”. Padahal mereka adalah anak muda militan yang berusaha mandiri dengan cara tidak mainstream, contohnya komunitas musik indie atau metal yang menjamur di Bandung era 90-an.
Sementara tempat yang biasa digunakan untuk berkumpul komunitas sudah tersegmentasi, misalnya komunitas sastra biasa berkumpul di CCF yang kini menjadi Institut Français d'Indonésie - Bandung, komunitas seni rupa biasa berkumpul di Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK). “Kita ingin ada tempat yang bisa mempertemukan segala macam komunitas,” katanya.
Hadirnya Trimatra Center di bawah pengelolaan Tobucil menjadi tempat sharingnya lintas komunitas, menjadi wadah diskusi bersama, bercengkrama saling bertatap muka. Waktu itu internet belum mewabah, interaksi atau diskusi tatap muka masih menjadi primadona.
Kelahiran Tobucil terjadi saat reformasi baru berjalan tiga tahun di mana para penerbit buku dilanda euforia menerbitkan buku berhaluan kiri atau dicap kiri. Buku yang di masa Orde Baru dilarang terbit menjadi membludak, salah satunya buku Pramudia Ananta Toer.
Di sisi lain masih muncul upaya membersihkan buku-buku yang dinilai kiri. Penerbit atau toko buku pun sibuk menyembunyikan buku-buku mereka. “Sedangkan buku-buku Tobucil hampir buku kiri semua,” kenang Tarlen.
Pada 2003 Tobucil pindah ke Jalan Kyai Gede Utama, berbagi ruang dengan Bandung Center for New Media Arts, organisasi yang kemudian turut mengelola Tobucil. Di sana Tobucil berkegiatan di ruang terbuka yang disebut Common Room.
Kemudian pada 2007 Tobucil pindah lagi ke Jalan Aceh sampai sekarang. Tobucil menjadi saksi perubahan dahsyatnya internet melanda anak muda Bandung. Jika sebelumnya kegiatan banyak dilangsungkan secara tatap muka, maka sekitar 2003 orang mulai asyik nge-blog atau berinternet ria.
“Kegiatan tatap muka mulai bergeser, jadi kurang peminat. Karakter orang yang berkegiatan jadi berubah,” katanya.
Sejak itulah, kata dia, Tobucil menghadapi babak baru era digital, di mana orang-orang kebanjiran informasi dari mesin pencari. Orientasi anak muda Bandung mulai berubah, mereka mulai mencari informasi atau kegiatan untuk meningkatkan kapasitas diri (capacity building). “Maka workshop atau pelatihan-pelatihan laku sekali,” kata penulis lepas ini.
Akhirnya, Tobucil harus mengikuti perubahan zaman. Pendekatan literasi yang dijalankan Tobucil selama ini harus berubah menjadi pendekatan yang bersifat aktualisasi diri.
“Selama ini kita sudah lama menekuni literasi, ilmu pengetahuannya sudah dapat, kini kita tinggal mengamalkannya,” ujarnya. Lagi pula, sambung dia, anak muda akan jenuh jika terus disuguhi diskusi dengan tema-tema serius.
Secara spesifik, Tobucil memakai pendekatan hobi dalam merangkul komunitas. Menurutnya, hobi ternyata memegang peranan penting dalam meningkatkan kapasitas diri. Orang mulai memikirkan bahwa hobi itu penting dan bisa menambah penghasilan.
Tobucil pun mulai menggelar workshop atau sharing dengan semangat aktualisasi diri. Di Tobucil kemudian terbentuk klub atau kelas-kelas hobi seperti klub merajut, klub membuat gelang rajutan, membuat kue, klub membuat berbagai macam handycraft atau merchandise, kelas menulis, kelas foto, public speaking, dan lain-lain. Nama Tobucil pun bertambah menjadi Tobucil n Klubs dengan tagline: Craftivism & Literacy in Everyday Life.
Peserta klub atau kelas yang ada di Tobucil berasal dari berbagai komunitas dan kalangan seperti pelajar, mahasiswa, profesional serta ibu rumah tangga. Kelas menulis, foto dan public speaking sudah berlangsung selama beberapa angkatan. “Ada lulusan kelas menulis yang jadi wartawan,” sebut Tarlen.
Menurutnya pendekatan hobi cukup efektif dalam menjaring anak muda. Salah satu event tahunan Tobucil n Klubs adalah Crafty Days yang diikuti banyak anak muda dengan hobinya. Peserta klub tidak hanya berpegang pada informasi sepotong-sepotong yang ada di google, mereka terus mencari dan menekuni hobinya demi menghasilkan karya yang mungkin tak terduga.
“Hasil itu bukan soal bagaimana menambah penghasilan, tapi untuk mengetahui kemampuan diri sendiri, bangsa ini kan harus tahu kemampuan dirinya, harus tahu bahwa kita sebenarnya berpotensi. Lewat hobi sebenarnya kita bisa mencari tahu bahwa kita bisa, punya kemampuan untuk mengerjakan sesuatu,” ungkapnya.
Meski pendekatan yang dipakai Tobucil berubah drastis, bukan berarti proses literasi berhenti. Toko buku yang ada di Tobucil masih beroperasi hingga kini. Menurut Tarlen, setelah hampir 15 tahun berdiri tantangan Tobucil justru makin berbeda, salah satunya bagaimana melakukan literasi digital. “Cuman pendekatan literasi yang seperti apa masih mencari tahu juga,” katanya
Ia berharap pendekatan hobi bisa menjadi bagian dari upaya literasi digital. Peserta tidak hanya menelan informasi tanpa melakukan pendalaman terhadap informasi tersebut, sehingga hobi tak hanya sekedar hobi dan informasi tak hanya sekedar informasi.
Disinggung mengenai capaian Tobucil selama ini, ia mengaku memiliki data komunitas atau peserta perorangan yang pernah atau sedang berinteraksi di Tobucil. Tapi ia tidak mau mengukur keberhasilan hanya berdasarkan angka, yang ditakutkan hanya akan menggoda Tobucil untuk melakukan klaim. “Biar orang yang sudah merasakan kegiatan di sini yang menjawab bagaimana peran Tobucil,” jelasnya.
Baca juga:
Olahraga ekstrem dengan Komunitas Adventure Indonesia
2 tempat joging paling top anak muda Bandung
Virageawie gitar bambu yang mendunia dari Bandung
Ratusan bobotoh menuju GBK berkumpul di depan Gedung Sate
Komunitas ini buat bambu memiliki nilai jual tinggi
Kemeriahan konser Kla Project 'Back in The Days' di TSB
Cerita dua mojang cinta mati sama Persib
-
Kapan Indonesia merdeka? Hari ini, tepat 78 tahun yang lalu, Indonesia menyatakan diri sebagai sebuah negara merdeka.
-
Apa yang bisa dinikmati di Bandung? Bandung menawarkan banyak sekali pilihan untuk menjelajahi dan menikmati keajaiban alam bebas. Wisata Bandung ini bisa jadi destinasi liburan.
-
Kapan Singapura merdeka? Singapore Independence Day was on the 9th of August 1965.
-
Dimana Langgar Merdeka berada? Lokasinya terletak di Jln. Dr. Radjiman No. 565 Laweyan, Solo.
-
Kapan Malaysia merdeka? Negara monarki konstitusional ini baru memperoleh kemerdekaannya pada 31 Agustus 1957.
-
Apa saja yang bisa dinikmati di Bandung saat Lebaran? Selama liburan Lebaran, kamu tentu dapat menikmati suasana Kota Bandung yang ramai dengan beragam acara festival seni, pertunjukan musik, dan pameran seni. Jika sudah sampai di sini, jangan lupa juga untuk menjelajahi kuliner khas Bandung seperti makanan tradisional Sunda, kue basah, dan kopi lokal yang lezat.