Cerita Bung Hatta Kerepotan Bawa 16 Peti Buku Kesayangannya saat Diasingkan ke Boven Digoel
Wakil Presiden pertama RI, Mohammad Hatta dikenal sebagai kutu buku. Aktivita sehari-harinya selalu diisi dengan membaca buku.
Wakil Presiden pertama RI, Mohammad Hatta dikenal sebagai kutu buku. Aktivita sehari-harinya selalu diisi dengan membaca buku.
Ada kisah menarik dari kegemaran baca buku tokoh yang aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia itu.
- Cerita Buya Hamka di Penjara pada Masa Sukarno
- Cerita Lettu Cke Rizal Mutaqin Suka Menulis Sejak Kecil Hasilkan Karya 10 Buku 'Pena Lebih Tajam dari Peluru'
- Cerita Penerjun Payung Hut ke-78 Bhayangkara, Tegang saat Mendarat di Hadapan Presiden
- Kelahiran Mohammad Hatta 12 Agustus 1902, Pahlawan Nasional yang Sederhana dan Bijaksana
Saat Hatta menjadi tahanan politik. Dia rela kerepotan membawa 16 peti buku kesayangannya ketika hendak diasingkan ke Boven Digoel, Papua.
Saat itu, Mohammad Hatta sedang mendekam di dalam penjara Glodok. Partai politik yang ia dirikan bersama Sutan Sjahrir serta tulisan-tulisannya yang dimuat dalam majalah terbitan partainya sendiri, Daulat Ra’jat membuatnya ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda.
Merasa tidak cukup, pemerintah mengirim Hatta untuk dibawa ke Boven Digoel, sebuah tempat pembuangan tokoh-tokoh yang dinilai mengancam pemerintah Hindia Belanda.
“Pada bulan September aku diminta datang ke kantor pemerintah urusan dalam negeri. Aku sudah merasa bahwa itu berhubungan dengan interniranku ke Boven Digoel,” tulis Hatta dalam bukunya, Untuk Negeriku: Berjuang dan Dibuang.
Tak ambil pusing soal pemindahannya ke Boven Digoel, Hatta justru lebih memikirkan bagaimana ia dapat mengemas dan membawa buku-bukunya ke tempat pengasingan.
Oleh karena itu, Hatta meminta izin agar ia diperbolehkan pulang-pergi ke rumahnya untuk mengemas buku-buku yang akan dibawa.
Pemerintah Hindia Belanda setuju atas permintaan Hatta untuk pulang-pergi dari penjara Glodok ke rumahnya selama tiga hari.
“Buku-bukuku banyak sekali. Dalam peti buku yang berukuran seperempat meter kubik satu, jumlahnya 16. Jadi, semuanya empat meter kubik. Mengepak semua buku itu akan memakan waktu paling sedikit tiga hari. Waktu mengeluarkannya dahulu dari peti-peti itu dan menyusunkan dalam almari buku, aku juga menggunakan waktu tiga hari,” kata Hatta.
Sampai Bayar Orang
Selama tiga hari itu ia gunakan waktunya dengan baik untuk mengemas buku-buku miliknya yang dibantu juga oleh keponakan-keponakannya, serta Hatta juga menyempatkan waktu untuk berfoto dengan keluarganya.
Tak sampai di situ, kesulitan Hatta membawa buku-bukunya pun berlanjut ketika ia sudah sampai di Tanah Merah, Boven Digoel.
Pada tanggal 28 Januari 1935 ketika Hatta, Sutan Sjahrir, dan Mohammad Bondan sampai di Boven Digul, Hatta kebingungan bagaimana cara mengangkut barang-barangnya ke kampung pembuangan.
Jarak yang harus ditempuh adalah sekitar 1,5 km jadi tak mungkin ia membawanya satu per satu sendirian.
Untungnya ada seorang anggota panitia penerimaan mengusulkan kepada Hatta supaya barang-barangnya dibawakan oleh orang Kaya-kaya (penduduk asli), yang memang sebagian sudah bekerja dengan orang-orang buangan.
Tanpa pikir panjang, Hatta setuju dan langsung membicarakannya dengan seorang kaya-kaya yang kira-kira menjadi pemimpin mereka.
Dalam kesepakatan itu, orang Kaya-kaya meminta biaya ongkosnya sebesar satu kelip untuk tiap-tiap peti. Uang kelip pada waktu itu nilainya adalah 5 sen.
Akhirnya, Hatta menyetujui tawaran itu dan mereka segera membawa koper dan peti-peti buku Hatta dari pelabuhan ke tempat tinggal pengasingan Hatta di Boven Digoel.
Berkat bantuan orang Kaya-kaya, Hatta bisa membawa semua buku-bukunya dan menghabiskan waktu dengan membawa buku di tempat pembuangannya.
Hidup dari Menulis
Menurutnya, orang Kaya-kaya sangat membantu orang-orang buangan karena jika tidak ada mereka pasti orang-orang buangan sepertinya akan kesulitan untuk mengatur hidup di Boven Digul.
Keseharian Hatta selama di Digul dijalani dengan membaca di ruang bacanya, kemudian setiap dua kali seminggu ia akan mengajarkan tentang ilmu ekonomi dan filsafat kepada para sesama tahanan Digoel, serta mencari penghasilannya dengan menulis di surat kabar Pemandangan.
Memang ketika Hatta dalam perjalanan ke Boven Digoel saat sampai di Surabaya, kapal Melchior Treuh yang membawanya itu singgah sebentar, di sana lah ia bertemu dengan Saerun, redaktur kepala surat kabar Pemandangan.
“Ia menawarkan kepadaku supaya menulis sekali atau dua kali sebulan untuk Pemandangan dan honorariumnya dihitung f 5 per kolom. Aku merasa lega menerima tawaran itu karena sudah ada jaminan hidup bagiku,” ujar Hatta.
Reporter Magang: Yulisha Kirani