Cerita Petrus, Penembak Misterius Zaman Orde Baru
Cara Soeharto menangani kriminalitas di Indonesia ini lantas mendapatkan kecaman dari publik.
Penembak misterius atau Petrus sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat, apalagi pada masa Orde Baru. Pada tahun 1983 - 1985, pemerintah melakukan operasi ‘rahasia’ di mana mereka menembak para gali atau preman yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat.
Soeharto sendiri mengakui adanya operasi Petrus yang ia setujui. Dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto membela diri dengan mengatakan bahwa operasi tersebut adalah usaha menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat.
“Kejadian itu, misterius juga tidak. Masalah yang sebenarnya adalah bahwa kejadian itu didahului oleh ketakutan yang dirasakan oleh rakyat. Ancaman-ancaman yang datang dari orang-orang jahat, perampok, pembunuh, dan sebagainya terjadi. Ketentraman terganggu,” ucapnya.
Cara Soeharto menangani kriminalitas di Indonesia ini lantas mendapatkan kecaman dari publik karena dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Pasalnya, operasi bersih-bersih yang dilakukan hampir di seluruh daerah ini memakan banyak korban jiwa dan sering kali salah sasaran. Banyak pihak menilai petrus merupakan pelanggaran HAM berat karena penembakan dilakukan secara brutal, para korban tidak diadili melalui proses pengadilan.
Apalagi sasaran pembunuhannya pun dinilai terlalu menghakimi. Sasaran utama petrus adalah orang-orang bertato, karena mereka dipandang sebagai preman atau yang dikenal sebagai gali (gabungan anak liar) pada masa itu, yang dinilai mengancam ketertiban dan keamanan masyarakat. Pada masa rezim Orde Baru, tato sering diidentikan dengan preman.
Syok Terapi
Siapa pun yang dianggap sebagai penjahat menjadi target pembunuhan tanpa belas kasihan. Situasi ini tidak hanya membuat para preman atau gali merasa cemas, tetapi juga orang-orang biasa yang memiliki tato turut dilanda ketakutan, khawatir menjadi korban penembakan petrus.
Selama masa 1983 hingga 1985 operasi ini memakan banyak korban. Korban-korban yang ditembak tersebut hampir semua memiliki tato di tubuhnya.
Mayat para korban juga ditelantarkan begitu saja setelah dieksekusi, ada yang dibuang ke sungai atau bantaran kali, di semak-semak, bahkan digeletakan di emperan toko. Soeharto menyebutnya sebagai shock therapy.
“Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya, orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak,” ujar Soeharto.
Dikecam Mantan Wapres
Persoalan petrus yang awalnya dilakukan secara diam-diam, perlahan mulai terungkap di kalangan masyarakat dan akhirnya menarik perhatian dunia internasional.
Dari dalam negeri sendiri banyak pihak yang mengecam operasi ini. Salah satunya adalah Adam Malik, mantan wakil presiden (1978-1983).
“Jangan mentang-mentang penjahat kerah dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi mati. Jadi syarat sebagai negara hukum sudah terpenuhi. Setiap usaha yang bertentangan dengan hukum akan membawa negara ini pada kehancuran,” tulis Adam Malik (Sinar Harapan, 25 Juli 1983).
Setelah mendapat banyak tekanan dan kecaman dari dunia internasional, akhirnya petrus diakhiri pada 1985.
Reporter Magang: Yulisha Kirani Rizkya Pangestuti