Empat Episode dalam Hidup Moeso
Tumbuh dalam didikan guru politik yang sama, di akhir hayatnya Moeso harus berhadapan dengan adik seperguruannya: Sukarno.
Tumbuh dalam didikan guru politik yang sama, di akhir hayatnya Moeso harus berhadapan dengan adik seperguruannya: Sukarno.
*Penulis: Hendi Jo
-
Bagaimana Suparna Sastra Diredja tergabung dalam PKI? Pergerakannya yang masif bersama rakyat membuatnya banyak terlibat di Partai Komunis Indonesia terutama setelah pemilihan 1955. Di sana ia menjadi anggota dewan yang mengurusi konstitusi baru pengganti undang-undang dasar semetara.
-
Bagaimana KEK Singhasari memanfaatkan sejarah? Keunggulan lain dari KEK Singhasari yakni adanya sektor pariwisata dengan tema heritage and sejarah. Hal ini dilatarbelakangi nilai situs sejarah kerajaan Singhasari.
-
Apa yang membuat tokoh PKI kebal peluru? Ada sejumlah tokoh PKI ternyata tak mempan ditembak. Mereka punya ilmu kebal peluru.
-
Siapa yang memimpin sidang PPKI? Sidang bersejarah itu dipimpin oleh Soekarno.
-
Siapa saja tokoh PKI yang dinyatakan kebal peluru saat pemberontakan Madiun? Komandan Batalyon Kala Hitam, Mayor Kemal Idris pun mengalami hal serupa.Dalam sidang kilat di Alun-Alun Pati, ada empat gembong PKI yang mendapat vonis hukuman mati. Ternyata, ada seorang tahanan yang kebal peluru.
-
Mengapa G30S PKI menjadi salah satu peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia? Bagaimana tidak, G30S PKI dikenal sebagai salah satu upaya penghianatan besar yang pernah terjadi di Indonesia.
SURABAYA 1916. Malam baru saja singgah di Gang Paneleh. Dari sebuah rumah terdengar suara sendok dan garpu beradu dengan piring ramai berdenting. Di meja makan, empat lelaki nampak tengah menikmati santapan dalam suasana akrab.
Usai menikmati hidangan, mereka tak langsung beranjak dari kursi masing-masing. Obrolan pun mengalir. Sedikit ramai karena tema yang mereka diskusikan adalah persoalan kapitalisme dan upaya-upaya jahat para pengikutnya untuk mengisap Kepulauan Nusantara.
"Apa yang dapat kita buat dengan situasi begini?" ujar Moeso, seorang muda bermata tajam.
"Tentunya tak baik juga kita diam. Sudah cukup Negeri Belanda mengisap dan memperkaya diri dari kekayaan negeri kita," jawab anak muda lain yang berpenampilan lebih tenang. Namanya Alimin.
Dari jam ke jam, diskusi pun semakin menghangat. Moeso yang cerdas beberapa kali melontarkan analisa-nya terkait penindasan yang tak berkesudahan dan cara yang paling memungkinkan untuk melawan kekuasaan kolonial. Sesekali Alimin menambahkan bahkan mengkritik. Begitu juga Tjokroaminoto, lelaki yang usianya lebih tua dari mereka.
"Lalu berapa banyak yang diambil Belanda dari Indonesia?" tiba-tiba terdengar suara kecil menyergah diskusi itu.
Kedua anak muda itu cepat mengalihkan pandangan ke sumber suara tersebut: seorang remaja tampan, beralis tebal dengan tubuh kurus yang ada di sisi meja makan. Mereka lantas tersenyum. Keduanya tak bisa menyembunyikan rasa kagum terhadap perhatian seorang pemuda tanggung yang sedari tadi hanya terdiam saja itu.
"Anak ini sangat ingin tahu," ujar Tjokro seraya tersenyum dan melirik Sukarno, nama sang remaja tampan tersebut.
Usai menyeruput seteguk air, Tjokro lantas berkata: "De Vereenidge Oost Indische Compagnie menyedot dan mencuri kira-kira 1800 juta gulden dari tanah kita setiap tahun untuk memberi makan Den Haag."
"Lalu apa yang tinggal di negeri kita ini?" Sukarno makin keras bertanya.
"Rakyat tani kita yang mencucurkan keringat mati kelaparan dengan makanan segobang sehari," jawab Alimin seolah mewakili gurunya.
"Kita menjadi bangsa kuli dan menjadi kuli di antara bangsa-bangsa," tambah Moeso.
"Serikat Islam bekerja untuk memperbaiki keadaan dengan mengajukan mosi-mosi kepada Pemerintah," Tjokro menimpali, "Pengurangan pajak dan serikat-serikat pekerja hanya dapat digerakkan dengan upaya kooperatif terhadap Belanda. Ya walaupun kita sesungguhnya membenci kerjasama ini."
"Tapi apakah baik untuk membenci seseorang sekalipun dia orang Belanda?" Sukarno semakin semangat bertanya.
"Kita tidak membenci rakyatnya. Kita membenci sistem pemerintah kolonial," ucap Tjokro.
"Lalu mengapa nasib kita tidak berubah kendati rakyat kita telah berjuang melawan sistem itu sejak berabad-abad?" tanya Sukarno semakin menjadi.
"Karena para pahlawan kita selalu berjuang sendiri-sendiri. Masing-masing berperang dengan pengikut yang kecil di daerah yang terbatas." Kali ini Alimin yang menjawab. Sukarno terdiam. Dia coba mencerna dan merenungkan semua kata-kata dari orang-orang yang menjadi kakak seperguruannya itu.
"Sejak itulah aku sadar bahwa kita kalah karena tidak bersatu," kata Sukarno seperti yang dikatakannya kepada Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
*
YOGYAKARTA 1948. Berita kedatangan seorang tokoh komunis Indonesia bernama Soeripno bertiup kencang di bulan Agustus itu. Dia yang sebelumnya berpetualang di negara-negara Eropa Timur tersebut dijadwalkan akan bertemu dengan Presiden Sukarno.
Dalam pertemuan itu, Soeripno katanya akan didampingi Soeparto, yang dikatakan sebagai sekretaris pribadinya. Lantas siapa Soeparto? Tak ada satu pun orang yang tahu dan peduli kepadanya.
Orang mulai peduli dan terkejut saat pada 13 Agustus 1948, kedua komunis itu benar-benar menemui Sukarno. Begitu bertemu dengan kedua orang penting tersebut, alih-alih menyambut Soeripno, Sukarno malah menghambur ke arah lelaki kekar paruh baya yang berdiri di samping Soeripno.
Rupanya Soeparto yang diakui Soeripno sebagai sekretaris pribadinya itu tak lain adalah Moeso, tokoh komunis internasional yang tak lain adalah salah satu kakak seperguruan politik Sukarno selama kos di Gang Paneleh.
Menurut kesaksian langsung seorang wartawan bernama Soeripno dalam koran Revolusioner, 19 Agustus 1948, pertemuan antara Moeso dan Sukarno berlangsung mengharukan: Bung Karno memeluk Moeso dan Moeso pun memeluk Bung Karno. Air mata mereka terlihat berlinang.
"Lho kok masih awet muda?" tanya Sukarno. Dia tertawa sembari tetap merangkulkan tangannya ke tubuh Moeso.
"Oh ya, tentu saja. Ini memang semangat Moskow, semangat Moskow selamanya muda," jawab Moeso sumringah.
Mereka lantas dipersilakan masuk ke ruangan kerja Bung Karno. Saat Moeso akan duduk di salah satu kursi, Sukarno menariknya dan membimbing lelaki itu untuk duduk di sampingnya, dalam sebuah kursi panjang.
"Moeso ini dari dulu memang jago. Dia yang paling suka berkelahi. Dia memang jago pencak. Juga orang yang suka bermain musik. Kalau pidato, ia akan nyincing lengan bajunya," kenang Sukarno kepada orang-orang yang hadir di sekitarnya saat itu.
Mereka lantas berbicara panjang lebar. Perbincangan serius itu kadang disela oleh topik-topik romantisme sekitar kehidupan mereka dulu sebagai sesama penghuni kos-kosan milik Tjokroaminoto di Gang Paneleh.
Sampailah waktunya perbincangan dua sahabat seperguruan itu berakhir. Sebelum berpisah Bung Karno menyatakan harapannya Moeso suka membantu kerja-kerjanya dalam melancarkan revolusi Indonesia.
"Tentu saja. Itu sudah kewajiban saya. Ik kom hier om orde te scheppen (saya datang ke sini memang untuk menuntaskan masalah)," jawab Moeso seraya tersenyum dan memegang erat uluran tangan Sukarno.
*
37 HARI KEMUDIAN. Partai Komunis Indonesia (PKI) memimpin apa yang dinamakan sebagai upaya-upaya untuk menyelamatkan Republik Indonesia dari "unsur-unsur fasisme militeristik dan kolaborator Jepang: Sukarno-Hatta".
Penyelamatan tersebut diwujudkan dengan membentuk pemerintah tandingan yang diisi oleh orang-orang Front Nasional/Front Demokrasi Rakyat (FN/FDR) di Madiun. Selain PKI, FN/FDR berisi Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Partai Buruh, Partai Sosialis, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), unsur-unsur tentara dari Divisi Panembahan Senopati dan beberapa pejabat lokal di Madiun.
Demi menghadapi manuver politik itu, pada 19 September malam, lewat corong Radio Republik Indonesia(RRI), Sukarno menyatakan kekecewaan sekaligus kemarahannya dan menilai kubu FN/FDR sebagai pengunting dalam lipatan.
"Atas nama perjuangan untuk Indonesia Merdeka, aku berseru kepadamu:…Ikut Moeso dengan PKI-nya yang akan membangkrutkan cita-cita Indonesia Merdeka atau ikut Sukarno-Hatta yang Insha Allah dengan bantuan Tuhan, akan memimpin negara Republik Indonesia yang merdeka, tidak dijajah oleh negara apapun juga!"
Sesungguhnya, Moeso sendiri saat itu sedang di luar kota Madiun dan tidak terlibat langsung dalam pembentukan Pemerintah FN/FDR. Namun pada 19 September dia menghadapi kenyataan pemerintah yang didirikan atas konsep pemikirannya itu telah dibentuk.
"Senang atau tidak senang, ia harus menghadapinya…" tulis Soe Hok Gie dalam Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan.
Moeso lantas mulai memainkan bidaknya. Di depan corong Radio Gelora Pemuda Madiun, ia membalas ultimatum Sukarno dengan pidato yang tak kalah berapi-api:
"Sudah tiga tahun revolusi nasional kita berjalan di bawah pimpinan kaum borjuis nasional, yang bersifat goyang menghadapi imperialis umumnya dan terhadap Amerika khususnya…Sebaliknya anasir-anasir pemerintah telah memakai revolusi kita sebagai kuda-kudaan untuk menguntungkan diri. Mereka sewaktu pendudukan Jepang telah menjadi quisling budak-budak Jepang, tukang jual romusha dan propagandis-propagandis Heiho…Sukarno memakai alasan-alasan palsu telah menuduh FDR dan PKI Moeso sebagai tukang pengacau dan lain-lain. Lupakan Sukarno!...Rayat seharusnya menjawab: Sukarno-Hatta, budak-budak Jepang dan Amerika. Memang cirri wanci lali ginowo mati. Pasti rakyat akan menjawab: Moeso selamanya menghamba rakyat Indonesia, hidup, merdeka dan menang perang!” demikian kata Moeso seperti dikutip sejarawan Harry A. Poeze dalam Madiun 1948:
PKI Bergerak
Sejarah mencatat akibat dua pidato itu, rakyat Indonesia kemudian saling bantai dan saling bunuh. Revolusi bergerak kencang dan menghantam apapun yang ditemuinya, termasuk 'anak-anak kandungnya' sendiri.
*
AKHIR OKTOBER 1948. Pendirian Pemerintah FN/FDR berhasil digagalkan oleh tentara yang tetap setia kepada Sukarno-Hatta. Alih-alih mereorganisasi perlawanan , kekuatan sayap kiri yang dipimpin oleh Moeso itu malah kocar-kacir. Untuk menghindari pengejaran tentara pemerintah, Moeso sendiri memutuskan untuk menghilang. Beberapa minggu upayanya itu berhasil: tentara pemerintah tak bisa mengendus keberadaan agen komunis internasional tersebut.
Hingga tibalah pada 31 Oktober 1948. Saat itu dua petugas keamanan Desa Balong di Ponorogo, mencurigai seorang lelaki priyayi dalam penampilan sederhana tengah berjalan seorang diri. Ketika dihentikan, awalnya lelaki tersebut sangat kooperatif. Dia menjawab setiap pertanyaan yang diajukan dan memberikan selembar surat keterangan jalan. Namun ketika salah satu dari petugas itu akan memeriksa buntelan sarung yang dia bawa, sekonyong-konyong orang yang tak lain adalah Moeso itu, mengeluarkan sepucuk pistol dan langsung menembak sang perampas.
Selanjutnya Moeso kabur dengan sepeda ontel milik salah seorang petugas desa itu. Di tengah jalan, dia bertemu dengan sebuah dokar dan mengancam kusir dokar untuk membawanya dalam kecepatan tinggi. Dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid VIII, A.H. Nasution menceritakan tentara setempat kemudian cepat berkoordinasi menanggapi kejadian di Desa Balong itu.
Sementara itu di tengah perjalanan, dokar yang ditumpangi lelaki yang tak lain adalah Moeso tersebut berpapasan dengan sebuah mobil yang ditumpangi oleh serombongan prajurit dari Batalyon Sunandar. Begitu melihat mobil tersebut, dengan sigap, Moeso meloncat dan langsung menodongkan senjatanya ke arah para penumpang.
Kendati para prajurit itu bersenjata, todongan senjata Moeso lebih cepat. Terpaksalah mereka menuruti perintah Moeso untuk meninggalkan mobil tersebut. Moeso sendiri dengan cepat langsung duduk dibelakang kemudi. Namun sial, ketika akan dihidupkan, mobil itu tiba-tiba ngadat. Tanpa banyak bicara, salah satu dari prajurit lantas meraih stengun di bagian belakang mobil dan langsung menodong Moeso.
"Keluar dari mobil dan menyerahlah!" teriaknya.
Moeso dengan tenang keluar dari ruang kemudi. Dalam tatapan tajam bak singa siap bertarung, dia justru membalas teriakan sang prajurit dengan kata-kata yang pelan namun tegas: "Engkau tahu siapa saya?! Saya Moeso! Engkau baru kemarin jadi prajurit dan sekarang berani-beraninya meminta saya untuk menyerah pada engkau?! Tidak! Saya tidak akan menyerah! Lebih baik mati daripada menyerah Walau bagaimanapun saya tetap merah putih!"
Menyaksikan sikap Moeso yang sangat percaya diri dan berwibawa, para prajurit itu menjadi keder. Alih-alih memberondong tubuh Moeso dengan peluru, mereka justru melarikan diri menuju desa terdekat. Beberapa saat kemudian, perburuan pun dimulai. Moeso yang melarikan diri ke sebuah kampung kemudian memilih sebuah kakus untuk tempatnya bertahan sekaligus bersembunyi.
Kapten Sumadi yang memimpin perburuan itu, lantas memerintahkan untuk mengepung tempat tersebut. Dia lalu berteriak agar Moeso sudi menyerahkan diri. Alih-alih menyerah, kata-kata Sumadi malah dijawab Moeso dengan tembakan.
Maka tanpa ampun para prajurit itu kemudian memberondong kakus tersebut. Begitu hamburan peluru berhenti, mereka menemukan tubuh kekar Moeso tengah terkapar dalam genangan darah. Dia kemudian diberitakan tewas.
"Mayatnya lantas dibawa ke Ponorogo dan setelah dipertontonkan ke khalayak kemudian dibakar," ungkap Soe Hok Gie.
Sejarah memang tak bisa diterka, ke mana arah sesungguhnya dia akan berjalan.
(mdk/noe)