Kesepakatan Renville: Perjudian RI dengan Belanda di Atas Kapal AS
Dikhianati Belanda dengan agresi militer pertama, Indonesia kembali berjudi di atas kapal perang milik Amerika Serikat.
Dikhianati Belanda dengan agresi militer pertama, Indonesia kembali berjudi di atas kapal perang milik Amerika Serikat.
Penulis: Hendi Jo
-
Di mana sejarah terasi dapat ditelusuri? Sejarah terasi di kawasan Cirebon dapat ditelusuri hingga masa kekuasaan Pangeran Cakrabuana, yang memainkan peran penting dalam perkembangan kawasan tersebut.
-
Bagaimana sejarah Waduk Sempor? Waduk Sempor diresmikan pada 1 Maret 1978 yang ditandai dengan adanya prasasti bertanda tangan Presiden Soeharto. Semula, waduk ini difungsikan sebagai sumber pengairan bagi sejumlah kompleks persawahan di sekitarnya. Namun lambat laun waduk itu menjadi destinasi wisata baru bagi warga sekitar.
-
Bagaimana Asisi Suharianto menyajikan kisah-kisah sejarah? Asisi dan sang istri pun mendapatkan pengalaman luar biasa selama keliling dunia. Keduanya bertemu dengan saksi mata maupun para korban perang masa lalu di beberapa negara.
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Bagaimana sejarah Lembah Anai terbentuk? Konon, dulunya air terjun ini menjadi saksi bisu pergerakan rakyat Minang dalam melawan penjajahan. Pada masa kolonial, masyarakat setempat dipaksa untuk menjadi pekerja membangun jalan lintas Sumatera yang menghubungkan antara Kota Padang dan Padang Panjang via Lembah Anai.Masyarakat Minang yang bekerja dalam proyek pembangunan jalan tersebut harus menempuh jarak yang cukup jauh, bahkan bisa berhari-hari dari tempat mereka tinggal menuju lokasi pembangunan jalan.
-
Bagaimana KEK Singhasari memanfaatkan sejarah? Keunggulan lain dari KEK Singhasari yakni adanya sektor pariwisata dengan tema heritage and sejarah. Hal ini dilatarbelakangi nilai situs sejarah kerajaan Singhasari.
Belum setengah tahun tinta tanda tangan Kesepakatan Linggarjati kering, pada 21 Juli 1947, Belanda sudah mengerahkan tank, panser dan tentaranya ke wilayah Republik Indonesia. Dengan pembatalan sepihak itu, mereka lantas bisa menguasai sebagian Sumatera dan kota-kota penting di Jawa Barat serta Jawa Timur.
Dunia pun bereaksi. Beberapa negara seperti Mesir, India dan Ukraina melancarkan protes keras di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Tujuan utama dari operasi militer itu yakni menghancurkan kekuatan TNI malah sama sekali gagal total. Alih-alih hancur lebur, TNI malah secara cepat bisa mengkoordinasikan kembali perlawanan. Di beberapa tempat, serangan-serangan balik yang dilakukan para gerilyawan RI tersebut semakin intens.
Itu diakui seorang komandan batalyon tentara Belanda bernama Letnan Kolonel J. Flink dari Divisi C. Dia tidak menafikan kalau sebulan setelah Operatie Product (nama lain Agresi Militer I), memang pasukannya masih bisa mempertahankan situasi keamanan. Namun mulai sejak 31 Agustus 1947, keadaan justru berbalik.
"Batalyon saya mulai mendapat serangan-serangan gencar dan sistematis. Akibatnya, kami tidak hanya mengalami kekalahan demi kekalahan tapi juga meningkatnya kerugian personel di atas tingkat yang normal," katanya seperti dikutip Himawan Soetanto dalam Yogyakarta 19 Desember 1948.
Gertakan Belanda
Dewan Keamanan PBB tanggap atas kondisi itu. Mereka lantas mendesak agar Belanda dan Indonesia kembali lagi ke meja perundingan. Bertempat di atas anjungan USS Renville (sebuah kapal angkut pasukan milik Amerika Serikat) yang tengah berlabuh di Teluk Jakarta, maka perundingan kedua pihak dengan pengawasan Komisi Jasa-jasa Baik (beranggotakan Amerika Serikat, Belgia dan Australia) pun dilangsungkan sejak 8 Desember 1947.
Dikisahkan oleh Ide Anak Agung Gde Agung dalam buku berjudul Renville, terjadi perdebatan panas dalam perundingan tersebut. Persoalan yang menjadi ganjalan utama adalah soal Garis Van Mook.
Pada sidang tanggal 9 Desember 1948, sebagai upaya pengaturan gencatan senjata, Komisi Jasa-Jasa Baik mengusulkan supaya pihak militer Belanda mengosongkan daerah-daerah yang diduduki dan sebaliknya TNI juga harus mengosongkan 'daerah kantong' yang diduduki mereka (saat itu ruang lingkupnya bahkan sudah meluas melebihi garis demarkasi sebelum Belanda melakukan Aksi Militer Pertamanya).
Belanda menolak usulan Komisi Jasa-jasa Baik tersebut. Mereka malah mengajukan usul lain: garis demarkasi berdasarkan 'garis Van Mook' yang disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 5 September 1947.
Tawaran itu langsung ditolak mentah-mentah oleh delegasi Republik. Perundingan pun menemui kebuntuan. Hingga pada 9 Januari 1948, Belanda mengajukan ultimatum: dalam waktu tiga hari pihak Republik harus bisa menentukan sikap, menerima atau menolak usul Garis Van Mook. Jika jawaban kedua yang dipilih, maka Belanda menyatakan akan meneruskan aksi militernya sampai ke Yogyakarta.
Tentu saja, gertakan Belanda itu membuat berang para pemimpin Republik. Awalnya, mereka memutuskan untuk menyambut ancaman Belanda itu dengan kekuatan militer pula.
"Namun, laporan dari beberapa komandan TNI kepada Sukarno perihal sangat kurangnya amunisi jika Belanda nekat melancarkan serangan besar-besaran menjadikan para pemimpin republik berubah pendirian…" tulis George Mc. T. Kahin dalam Nationallism and Revolution in Indonesia.
Seperti Berjudi
Jalan perang pun ternyata ditentang oleh Amerika Serikat. Wakil mereka di Komisi Jasa-jasa baBaik Dr. Frank Graham malah diam-diam memberitahukan kepada pihak RI jika mereka menerima syarat-syarat yang diajukan oleh Belanda, ada kemungkinan pemerintah Amerika Serikat akan menentang lebih jauh upaya-upaya Belanda untuk mencapai solusi dengan cara militer dan mengarahkan perundingan kepada pemungutan suara yang dijanjikan akan diadakan di bawah pengawasan PBB. Para diplomat RI pun terpikat.
Sesepuh Siliwangi Letnan Kolonel (Purn) Eddie Soekardi memiliki pendapat menarik terkait sikap nrimo yang dijalankan oleh pemerintah Republik. Dia mengatakan bahwa dengan menerima saran Graham dan mengakui Garis Van Mook maka sejatinya para pemimpin Republik tengah 'bermain judi' secara politik.
"Tapi saya dengar, Bung Karno dan para pemimpin Republik lainnya punya 'hitungan' Belanda akan kembali melanggar perjanjian yang sudah disepakati. Dan itu memang terjadi toh?" kata Eddie.
Pada 17 Januari 1948, Perjanjian Renville pun rampung. Dengan ditandatangani perjanjian tersebut oleh kedua pihak, maka otomatis berlaku pula secara praksis semua poin-poin yang telah disepakati. Termasuk penarikan kekuatan-kekuatan militer Indonesia dari 'wilayah Belanda' ke wilayah Republik. Begitu juga sebaliknya.
Namun seperti yang diperkirakan Bung Karno dan para pemimpin RI lainnya, belum setahun berlangsung, Belanda kembali melanggar Kesepakatan Renville dengan melakukan agresi militernya yang ke-2 pada 19 Desember 1948. Otomatis semua kembali menjadi berantakan. Belanda kembali menjadi pihak antagonis, sementara Amerika Serikat semakin merapat ke kubu Indonesia.