PKI Tak Masuk dalam Kabinet, Bung Karno Marahi Ali Sastroamidojojo
Kendati mereka bersahabat akrab, namun soal politik mereka kadang bersilang pendapat.
Kendati mereka bersahabat akrab, namun soal politik mereka kadang bersilang pendapat.
Penulis: Hendi Jo
-
Dimana Soekarno diasingkan? Penganan Pelite rupanya juga menjadi kue favorit Bung Karno saat berada dipengasingan di Kota Muntok sekitar tahun 1949.
-
Siapa yang bersama Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia? Pada tanggal 17 Agustus 1945, Hatta bersama Soekarno resmi memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta.
-
Bagaimana reaksi Soekarno saat bertemu Kartika? Bung Karno yang mengetahui kedatangan istri dan putrinya, seketika mengulurkan tangan dan seolah-olah ingin mencapai tangan Kartika.
-
Bagaimana Soekarno mempelajari bahasa Sunda? Inggit didapuk jadi penerjemah Bahasa Sunda masyarakat, dan membantu Soekarno saat kesulitan mengucap Bahasa Sunda.
-
Apa yang dimaksud dengan kata-kata Soekarno tentang bangsa yang besar? "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya."
-
Di mana Soekarno belajar untuk memimpin? Soekarno, yang tinggal di Surabaya pada era 1920-an, belajar untuk menundukkan hati rakyat dan menjadi inspirasi bagi mereka dalam melawan penjajah serta mencapai kemerdekaan Indonesia.
Bagi kalangan nasionalis, nama Ali Sastroamidojo tidaklah asing. Sejak zaman pergerakan, namanya kerap disandingkan dengan Sukarno sebagai dua sejoli dari Partai Nasional Indonesia (PNI).
Bisa dikatakan mereka memang termasuk dua manusia yang memiliki kedekatan emosional. Bagi Ali, nama Sukarno sudah ada di benaknya saat dia belajar ilmu hukum di Belanda. Namun secara pribadi, dia kali pertama berkenalan dengan Sukarno pada akhir 1928 di Yogyakarta. Saat itu sebagai anak muda berusia 25 tahun, dia menyaksikan langsung bagaimana Sang Singa Podium beraksi.
"Saya sangat terpukau oleh cara dan kata-kata yang digunakannya…" ungkap Ali dalam otobiografinya, Tonggak-Tonggak di Perjalananku.
PKI Tak Diajak dalam kabinet, Sukarno Marah
Banyak kalangan menyebut Ali sebagai pengikut setia Sukarno. Pendapat itu tentu saja ada benarnya jika mengingat kedekatan Ali dengan Sukarno yang sudah berusia lama. Soal ini bahkan diakui sendiri oleh Tatiek Kemal (68), salah seorang cucu Ali Sastroamidjojo.
"Kedekatan itu bahkan sampai menjadikan nenek saya memiliki hubungan yang sangat baik dengan Ibu Fatmawati," ujar Tatiek.
Kendati demikian, tidak serta merta kedekatan itu menjadikan Ali berlaku sebagai pembebek. Alih-alih menuruti semua kata Sukarno, yang ada Ali malah pernah berselilih paham secara keras dengan sahabatnya itu.
Ceritanya, saat kembali dipercaya untuk menyusun kabinet yang kedua kali-nya pada 1956, Ali tidak melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai salah satu mitra koalisi-nya. Selain sudah merasa cukup berkoalisi dengan Masyumi dan NU yang menolak berkoalisi dengan PKI, Ali melihat kecenderungan jika PKI dilibatkan dalam pemerintahannya maka itu sama saja memberi peluang partai komunis ke-3 terbesar di dunia tersebut akan menjadi lebih kuat pada pemilu berikutnya.
Suatu hal yang tentu saja tidak dikehendaki oleh PNI. Apa yang terjadi kemudian? Bung Karno marah besar. Dia menuduh Ali telah berlaku tidak adil dan mengidap penyakit komunisto-phobi.
"Saudara sebagai formatir bersikap tidak adil terhadap PKI. Bagaimana suatu partai besar yang mendapat suara dari rakyat lebih dari 6 juta itu, tidak kau ikut sertakan dalam kabinet baru? Ini tidak adil!" sergah Bung Karno.
Sukarno Setengah Hati
Kendati Ali mengemukakan alasan-alasan di atas kepada Si Bung Besar, namun tindakannya tetap disalahkan. Tak ada titik temu. Ali akhirnya menyarankan presiden untuk mencabut mandat yang diberikan kepadanya dan menyerahkan kepada formatur baru.
"Saya tidak bisa merubah susunan kabinet karena saya sudah terikat pada kesepakatan bersama dengan partai-partai koalisi itu," ujar Ali.
"Kau menempatkan persoalan selalu dengan cara yang terlampau tajam. Saya belum mengatakan bahwa saya menolak hasil susah payah kau ini!" jawab Sukarno.
Alhasil, presiden pada akhirnya mau menandatangani susunan kabinet yang disodorkan Ali. Kendati demikian Ali tahu, Bung Karno hanya setengah hati menerimanya.
Ali juga termasuk tokoh PNI yang diam-diam kritis terhadap kedekatan Bung Karno dengan PKI. Menurut Satya Graha, ketika Suluh Indonesia (surat kabar yang berafiliasi ke PNI) mengecam aksi sepihak para aktivis PKI di pelosok-pelosok daerah, Ali menyatakan dukungannya.
"Pak Ali tidak memarahi saya, dia malah memuji Suluh Indonesia yang sudah berlaku kritis terhadap aksi para aktivis BTI (Barisan Tani Indonesia) itu," kenang eks pemimpin redaksi Suluh Indonesia tersebut.