Tragedi 90 Tentara Jepang Dibantai di Tepi Kali Bekasi
Kemarahan terpendam atas kekejaman tentara Jepang menyebabkan ratusan rakyat Bekasi 'menyembelih' 90 anggota Kaigun tanpa belas kasih. Sempat membuat Laksamana Maeda marah.
Kemarahan terpendam atas kekejaman tentara Jepang menyebabkan ratusan rakyat Bekasi 'menyembelih' 90 anggota Kaigun tanpa belas kasih. Sempat membuat Laksamana Maeda marah.
Penulis: Hendi Jo
-
Di mana sejarah terasi dapat ditelusuri? Sejarah terasi di kawasan Cirebon dapat ditelusuri hingga masa kekuasaan Pangeran Cakrabuana, yang memainkan peran penting dalam perkembangan kawasan tersebut.
-
Bagaimana sejarah Waduk Sempor? Waduk Sempor diresmikan pada 1 Maret 1978 yang ditandai dengan adanya prasasti bertanda tangan Presiden Soeharto. Semula, waduk ini difungsikan sebagai sumber pengairan bagi sejumlah kompleks persawahan di sekitarnya. Namun lambat laun waduk itu menjadi destinasi wisata baru bagi warga sekitar.
-
Bagaimana Asisi Suharianto menyajikan kisah-kisah sejarah? Asisi dan sang istri pun mendapatkan pengalaman luar biasa selama keliling dunia. Keduanya bertemu dengan saksi mata maupun para korban perang masa lalu di beberapa negara.
-
Bagaimana sejarah Lembah Anai terbentuk? Konon, dulunya air terjun ini menjadi saksi bisu pergerakan rakyat Minang dalam melawan penjajahan. Pada masa kolonial, masyarakat setempat dipaksa untuk menjadi pekerja membangun jalan lintas Sumatera yang menghubungkan antara Kota Padang dan Padang Panjang via Lembah Anai.Masyarakat Minang yang bekerja dalam proyek pembangunan jalan tersebut harus menempuh jarak yang cukup jauh, bahkan bisa berhari-hari dari tempat mereka tinggal menuju lokasi pembangunan jalan.
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Bagaimana KEK Singhasari memanfaatkan sejarah? Keunggulan lain dari KEK Singhasari yakni adanya sektor pariwisata dengan tema heritage and sejarah. Hal ini dilatarbelakangi nilai situs sejarah kerajaan Singhasari.
Jembatan usang itu masih berdiri kokoh di dekat stasiun Bekasi. Hilir-mudik kendaraan menjadikan suasana ramai seolah tak mengenal waktu. Padahal hingga tahun 1970-an, kawasan itu masih dianggap angker.
Menurut cerita orang-orang tua, di tengah kesunyian malam, sebagian masyarakat Bekasi kerap melihat penampakan puluhan serdadu Jepang tanpa kepala berbaris rapi melintasi jembatan tersebut.
"Terutama tiap malam Selasa atau malam Jumat itu hantu-hantu Jepang selalu muncul," ungkap Dullah (kelahiran 1928).
Cerita horor itu sejatinya berpijak dari kisah nyata. Alkisah pada sore hari tanggal 19 Oktober 1945, Letnan Dua Zakaria Burhanuddin mendapat instruksi penting dari Jakarta: harap membiarkan lewat serangkaian kereta api yang memuat sembilan puluh anggota Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Mereka akan melintas di Stasiun Bekasi beberapa saat lagi.
"Rencananya tentara Jepang yang telah menyerah itu akan dibawa ke lapangan terbang Kalijati, Subang untuk selanjutnya dipulangkan ke Jepang," tulis sejarawan Ali Anwar dalam buku KH.Noeralie: Kemandirian Ulama Pejuang.
Suasana Mencekam
Alih-alih membiarkan kereta api tersebut lewat, Wakil Komandan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Bekasi itu malah memerintahkan Kepala Stasiun Bekasi mengalihkan jalur perlintasan kereta api dari jalur dua ke jalur satu yang merupakan jalur buntu.
Akibatnya, lokomotif yang menggandeng sembilan gerbong (termasuk tiga gerbong yang memuat rombongan anggota Kaigun) terpaksa berhenti, tepat di mulut Kali Bekasi.
Begitu kereta api berhenti, massa rakyat dan pejuang Bekasi langsung melakukan pengepungan. Suasana mencekam saat Zakaria dan beberapa pengawalnya naik ke atas kereta api tersebut dan menanyakan surat izin dari Pemerintah Republik Indonesia (RI).
"Mereka menunjukan surat jalan dari Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo yang dibubuhi tanda tangan Presiden Sukarno," tulis Ali Anwar.
Di tengah proses pemeriksaan, tiba-tiba terdengar bunyi letusan pistol dari arah salah satu gerbong. Begitu meletus, tak pelak lagi massa rakyat dan pejuang langsung menyerbu. Maka tumpah ruahlah ratusan orang memasuki kereta api itu dengan membawa berbagai macam senjata.
Mayat Serdadu Jepang Dihanyutkan ke Sungai
Kendati ada perlawanan kecil-kecilan dari pihak Kaigun, namun massa terlalu kuat. Beberapa menit kemudian, mereka berhasil menguasai kereta api dan merampas barang-barang yang ada di dalamnya (termasuk ratusan pucuk senjata).
Kesembilan puluh anggota Kaigun sendiri langsung digiring ke sebuah sel yang berada di belakang gedung Stasiun Bekasi.
Empat jam kemudian, tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Komandan Resimen V TKR Mayor Sambas Atmadinata, massa mengeluarkan tawanan dari sel dan menyeret mereka ke tepian Kali Bekasi. Satu persatu, serdadu malang itu disembelih dan mayatnya dihanyutkan ke dalam sungai.
"Kali Bekasi sampai berwarna merah karena darah yang keluar dari tubuh para serdadu Jepang itu," ujar Dullah yang mengaku ada saat kejadian tersebut.
Laksamana Maeda Marah
Pembantaian brutal sembilan puluh anggota Kaigun itu sempat membuat marah Laksamana Muda Maeda Tadashi (petinggi Kaigun yang pro republik). Komandan Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Tentara Kekaisaran Jepang itu melayangkan protes keras kepada Pemerintah RI.
Menanggapi protes keras itu, Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo bersama seorang staf Departemen Luar Negeri RI bernama Boediarto lantas menghadap Maeda. Dalam pertemuan itu, keduanya harus 'ikhlas' menjadi sasaran amarah sang laksamana.
"Kejadian ini dapat menjadi bukti kepada dunia bahwa bangsa Indonesia tidak memiliki pendirian yang teguh!" ujar Maeda.
Kombes Soekanto berusaha tidak terpancing amarah yang dilontarkan Maeda itu. Setelah meminta maaf terlebih dahulu, ia kemudian mengatakan bahwa Insiden Stasiun Bekasi tersebut di luar kemampuan Pemerintah RI.
"Memang benar hanya Pemerintah RI yang memiliki hak melakukan hukuman mati, tapi seperti yang Tuan ketahui, Bekasi merupakan daerah yang belum sepenuhnya tunduk kepada hukum Pemerintah Republik Indonesia," demikian penjelasan Soekanto seperti dikutip dalam Material on Japanese Military Administration in Indonesia yang dikeluarkan oleh Institut Ilmu Sosial Universitas Waseda, Jepang.
Setelah dilakukan pendekatan politik secara intens oleh Pemerintah RI, Maeda akhirnya dapat dibuat maklum. Namun, dia memberi catatan bahwa kejadian itu harus menjadi yang terakhir dan Pemerintah RI wajib mengantisipasi terjadinya insiden serupa secara serius.
"Jika dibiarkan saja, maka tak mustahil kejadian di Bekasi itu akan merajalela di mana-mana," ungkap Maeda.
Sebagai bentuk tanggungjawab terhadap insiden tersebut, pada 25 Oktober 1945, Presiden Sukarno berkunjung ke Bekasi. Di depan rakyat Bekasi, dia memohon agar rakyat menaati setiap perintah yang datang dari Pemerintah RI dan melarang keras para pejuang untuk melakukan lagi upaya-upaya pencegatan kereta api.