Mengenal KH Noer Alie, Pelopor Gerilya di Karawang-Bekasi Berjuluk Si Belut Putih
KH Noer Ali, terekam dalam sejarah berhasil memukul mundur tentara Belanda dengan taktik gerilya nya yang ditakuti. Tak sampai di situ, pria asal Babelan tersebut juga dikenal sebagai salah satu tokoh Muslim yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui pendidikan yang berjuluk Belut Putih karena sukar ditangkap.
Berkiprah dengan berbagai latar belakang keilmuan di masa penjajahan Belanda, membuat sosok ‘Belut Putih’ itu begitu disegani. Semangatnya dalam merebut hak bernegara menjadikan dirinya sebagai tokoh pahlawan santri legendaris di Karawang-Bekasi.
Dialah KH Noer Ali, pria kelahiran Bekasi, 1914 silam ini terekam dalam sejarah berhasil memukul mundur tentara Belanda dengan taktik gerilya nya yang ditakuti. Tak sampai di situ, pria asal Babelan tersebut juga dikenal sebagai salah satu tokoh Muslim yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui pendidikan.
-
Apa yang ditemukan di Bekasi? Warga Bekasi digegerkan temuan kerangka manusia di sebuah lahan kosong. Polisi pun melakukan penyelidikan.
-
Apa yang terjadi di Bekasi pada Kamis (30/11) ? Elemen buruh melakukan rasa di daerah Bekasi, Jawa Barat dan sekitarnya.
-
Kenapa berita hoaks ini beredar? Beredar sebuah tangkapan layar judul berita yang berisi Menteri Amerika Serikat menyebut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bodoh usai Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 diserang hacker beredar di media sosial.
-
Apa yang terjadi pada anggota TNI di Bekasi? Seorang anggota TNI Angkatan Darat (AD) berinisial Praka S (27) tewas dengan luka-luka dan berlumuran darah di tubuhnya. Korban tewas setelah menjalani perawatan di Unit Gawat Darurat RSUD Kota Bekasi.
-
Kapan nama surat kabar Benih Merdeka diubah? Akhirnya pada tahun 1920, ia mengubah nama menjadi "Mardeka".
-
Apa yang viral di Babelan Bekasi? Viral Video Pungli di Babelan Bekasi Palaki Sopir Truk Tiap Lima Meter, Ini Faktanya Beredar video pungli di Babelan Bekasi. Seorang sopir truk yang melintas di kawasan Jalan Raya Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat merekam banyaknya aktivitas pungli baru-baru ini.
Keponakan Noer Alie, KH Abid Marzuki menyebutkan jika Noer Alie kecil begitu bersemangat mengenyam pendidikan, bahkan kehausan akal ilmunya Noer Alie kejar hingga ke Kota Mekkah.
“Noer Alie kecil tidak cukup belajar dari seorang bapak yang merupakan guru ngaji pertama, maka ia terus berpindah ke guru ngaji-guru ngaji lainnya hingga ia menyatakan minatnya untuk bersekolah dan merantau ke Mekah di paruh usia 17-18 an tahun,” kata Abid Marzuki seperti dalam wawancara di kanal YouTube melawan lupa Metro Tv.
Keinginannya itu didukung dengan posisinya yang merupakan santri dengan kecerdasan di atas rata-rata versi Guru Mughni dari Ujung Malang, yang merupakan tempat dirinya menimba ilmu soal keislaman tentang tauhid.
Sebelumnya ia juga tercatat menimba ilmu di Kampung Bulak bersama Guru Maksum yang memberikan ilmu bahasa Arab, mengaji dan menghafal surah-surah dalam Al-Qur'an. Termasuk pengetahuan keislaman mengenai tarikh para Nabi, ahlak dan fiqih melansir dari Indonesia.go.id
Mekkah dan Titik Balik Nasionalisme
©2021 sejarahone.id/editorial Merdeka.com
Setelah berunding bersama sang ayah, Anwar bin Haji Layu dan Maimunah binti Tarbin, Noer Ali lantas menjemput mimpinya untuk memperdalam ilmu di Kota Mekkah melalui bantuan dari salah seorang tuan tanah Tionghoa di kawasan tersebut.
Di Mekkah Noer Ali banyak menimba ilmu kepada para Syaikh, namun sesuai nasihat gurunya, KH Marzuki, ia pun mengutamakan belajar kepada Syaikh Ali Al Maliki. Bahkan akhirnya ia menjadi santri kesayangan Syaikh Ali Al Maliki karena semangatnya memperdalam ilmu agama.
Saat tengah belajar, rasa pedulinya terhadap bangsa Indonesia terus tumbuh. Hal tersebut diperkuat setelah mendapat beberapa sentilan dari siswa asing yang mempertanyakan soal kolonialisme di Indonesia.
“Sedikit menyindir pelajar-pelajar Indonesia ini, mengapa negara seluas Indonesia bisa dijajah oleh negara asing seperti Belanda yang negaranya amat kecil sekali,” tutur Ali Anwar, sejarawan Bekasi.
Sejak itu Noer Alie bersama teman-temannya di forum Persatuan Pelajar Betawi (PPB) Mekkah pun menyadari bahwa salah satu faktor mengapa Indonesia bisa dijajah adalah faktor rendahnya pendidikan di masyarakatnya.
Perang Fisik dan Semangat Keilmuan
©2021 Wikipedia/editorial Merdeka.com
Pada 1939 ia pun kembali ke Tanah Air setelah enam tahun menimba ilmu di Mekkah. Melihat kondisi bangsa yang belum membaik, ia pun mencoba membangun keilmuan dengan mendirikan pondok pesantren serta beberapa majelis ilmu.
Kerisauannya menjadi kuat setelah melihat para tuan tanah dan pemerintah kolonial yang seakan-seakan membuat masyarakat menyerahkan tanahnya secara sukarela untuk kepentingan politik kolonial.
Tak ingin terulang, di masa penjajahan Jepang 1942 ia berkesempatan bekerja sama dengan tentara Jepang untuk mempersiapkan santrinya untuk masuk ke latihan kemiliteran yang dibentuk Jepang. Beberapa di antaranya disalurkan ke Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) agar bisa turut membantu merebut kemerdekaan.
Ketika keadaan negara kembali memanas di perang kemerdekaan, Noer Alie pun berinisiatif mendirikan dan menjadi ketua Laskar Rakyat Bekasi. Sebuah perkumpulan pemuda untuk mempertahankan kedaulatan negara setelah dikacaukan oleh tentara sekutu, selain itu ia juga berkongsi dengan Laskar Hisbullah untuk mempersiapkan perang fisik di Pondok Ungu pada 29 November 1945.
Pelopor Gerilya dan Sosok Belut Putih
©2021 indonesia.go.id/editorial Merdeka.com
Kepiawaian KH Noer Ali dalam melakukan perang fisik rupanya membuat Belanda kewalahan, bahkan strategi gerilyanya berhasil mengukuhkan dirinya sebagai sosok Belut Putih karena sukar ditangkap.
Noer Ali bersama para pejuang di Bekasi melakukan kegiatan gerilya untuk mengelabui tentara penjajah. Mereka bersembunyi dari satu titik ke titik lainnya di masa agresi militer pertama Belanda 21 Juli 1947.
“Di masa itu KH Noer Ali membentuk basis-basis gerakan masyarakat (salah satunya Hisbullah Sabilillah) tanpa mengenakan atribut tentara dengan anggota mencapai 900 sampai 1.000 orang dengan melancarkan serangan yang merepotkan Belanda,” Tambah Ali Anwar.
Setelah terjadinya agresi militer pertama, tentara Belanda menganggap sebagian besar wilayah Jakarta dan Jawa Barat berhasil dikuasai. Tak pelak hal tersebut dimanfaatkan KH Noer bersama pasukannya dengan memasang bendera-bendera merah putih di pohon-pohon sekitar Rawa Gede, Karawang yang luput dari pantauan.
“Di zaman itu beliau susah ditangkap, saat itu ada juga kisah saat Belanda membawa senapan menunggu beliau salat di masjid dengan posisi siap menembak ke arah sandalnya, beliau sudah tidak ada posisi Belanda masih seperti itu. Hingga tentara-tentara Belanda menjulukinya Si Belut Putih. Karena sulit ditangkap,” terang Cucu KH Noer Alie, Muntadi Muntaha.
Ditetapkan Sebagai Pahlawan Nasional
Pasca pengakuan kedaulatan Negara Republik Indonesia KH Noer Alie pun lebih banyak menghabiskan sisa hidupnya dengan terjun ke politik sembari melaksanakan kegiatan berdakwahnya.
Sosok ulama tersebut terekam dalam memori sejarah sebagai tokoh yang cukup berpengaruh dalam mengakui kedaulatan Indonesia, terlebih ketika tergabung ke organisasi untuk menggaungkan semangat persatuan saat Indonesia masih berbentuk RIS atau Republik Indonesia Serikat.
Pada 29 Januari 1992, KH Noer Alie pun wafat pada usia 77 tahun. Atas kiprahnya itu ia dianugerahkan gelar Pahlawan Nasional di 2006 silam.