Sosok Istri Sunan Gunung Jati dari Majapahit, Pembawa Adat Jawa di Kraton Cirebon
Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Rara Tepasan, cucu dari raja Majapahit, beberapa sumber menyebutkan nama raja tersebut adalah Singhawikrama. Rara Tepasan memiliki ilmu kepemimpinan yang baik, dibanding istri lain Sunan Gunung Jati.
Pertukaran budaya dalam tradisi pernikahan lazimnya sudah terjadi, bahkan sejak dahulu kala. Salah satunya pertukaran budaya di pernikahan Sunan Gunung Jati, yang saat itu menjabat sebagai raja ke II Kraton Cirebon. Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Rara Tepasan, cucu dari raja Majapahit, beberapa sumber menyebutkan nama raja tersebut adalah Singhawikrama.
Melansir laman History of Cirebon, Sabtu (24/7), dalam Babad Naskah Kuningan: Sejarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah, pernikahan keduanya membawa pengaruh terhadap tradisi dan adat istiadat di Kraton Kasultanan Cirebon.
-
Kenapa kasus Vina Cirebon ditarik ke Polda Jabar? Kemudian ramai itulah yang kemudian kasus ini ditarik ke Polda Jabar. Jadi sesama tahanan saling pukul sehingga membuat mereka lebam-lebam," ucap dia.
-
Bagaimana teks proklamasi dibacakan di Cirebon? Pembacaan teks proklamasi di Tugu Kejaksan itu dilakukan spontan,” kata pemerhati sejarah dan budaya Cirebon Jajat Sudrajat.
-
Di mana teks proklamasi dibacakan di Cirebon? Teks proklamasi kemerdekaan Indonesia ternyata lebih dulu dibacakan di Kota Cirebon, Jawa Barat. Pembacaannya dilakukan oleh tokoh penting bernama Soedarsono di Simpang Kejaksan, yang kini lebih dikenal dengan Tugu Pensil.
-
Kapan teks proklamasi dibacakan di Cirebon? Pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia di Cirebon dua hari lebih awal dari yang dilakukan oleh Soekarno, yakni pada 15 Agustus 1945.
-
Siapa yang membacakan teks proklamasi di Cirebon? Pembacaan proklamasi kemerdekaan oleh Soedarsono dihadiri oleh sekitar 100 sampai 150 orang dari berbagai penjuru di kota pesisir Jawa Barat itu.
-
Kapan Sunan Gunung Jati tiba di Cirebon? Setelah menuntut ilmu di Makkah, Syarif Hidayatullah berangkat ke Nusantara. Ia mampir di Gujarat dan Kerajaan Samudra Pasai sebelum akhirnya tiba di Cirebon pada tahun 1470 Masehi.
Usut punya usut, Rara Tepasan memiliki ilmu kepemimpinan yang baik, dibanding istri lain Sunan Gunung Jati.
Pernikahan Bermula dari Sumpah
Disebutkan pernikahan keduanya berawal dari sumpah yang dilakukan oleh Nyi Rara Tepasan atau Rara Tepasan, saat melihat cahaya putih di arah Barat (dataran Bumi Caruban/Cirebon atau Tatar Sunda). Ketika itu, dirinya merasa takjub dengan cahaya yang menyilaukan mata itu, hingga ingin melihatnya secara langsung.
Di sana, ia sempat berkata, jika kelak sumber cahaya berasal dari seorang perempuan, maka akan dijadikan saudara. Dan jika itu bersumber dari laki-laki maka ia siap diperistri.
Kemudian, Rara Tepasan meminta izin kepada sang ayah Ki Gede Tepasan untuk berangkat ke lokasi yang dimaksud. Dengan dikawal lebih dari 100 prajurit hingga akhirnya bertemu dan menikah dengan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
"Dari pernikahan tersebut lahirlah dua orang anak bernama Ratu Ayu dan Pangeran Pasarean yang kelak meneruskan kepemimpinan," tulis Wahju.
Mengubah Tradisi Sunda di Kraton Kasultanan Cirebon
Dalam Babad Kuningan, yang juga tertulis dalam Naskah Mertasinga Pupuh XXII.02 XXII.27, Nyi Rara Tepasan yang sudah menjadi istri Sunan Gunung Jati, pelan-pelan menerapkan tradisi Jawa di kraton bercorak Sunda itu.
Konon, Rara Tepasan sudah mendapat persetujuan langsung dari suaminya. Sehingga, tidak ada pihak lain yang mengintervensi upaya dari Nyi Rara Tepasan.
Padahal sebelumnya, tradisi Sunda sudah mengakar kuat sejak Raja Cirebon I, Pangeran Cakrabuana, memimpin. Pangeran Cakrabuana merupakan saudara dari Rara Santang (Ibu Sunan Gunung Jati, Putri Raja Pajajaran Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi).
Mempererat Kerja Sama antara Majapahit dan Kasultanan Cirebon
©2021 Youtube Wisata Religi/editorial Merdeka.com
Melansir laman historia.id, dari pernikahan itu diketahui jika Nyi Rara Tepasan sempat dijadikan alat legitimasi dua kerajaan untuk bekerja sama.
Penyebabnya, nagari Caruban (Kerajaan Cirebon dan daerah kekuasaannya) menjadi kawasan yang dikenal damai dan aman, sehingga cocok untuk dijadikan lokasi perlindungan maupun kerja sama.
Berbeda dengan Majapahit yang sedang dalam kondisi tidak stabil akibat berbagai pemberontakan, serta serangan dari kerajaan Demak pada saat itu.