Sosok HOS Tjokroaminoto, Raja Jawa Tanpa Mahkota
Tjokroaminoto dikenal sebagai Ksatria Piningit oleh para pribumi karena melakukan kebaikan bagi orang banyak
Istilah Raja Jawa ramai diperbincangkan setelah di singgung Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia. Bahlil menyinggung sosok Raja Jawa saat berpidato pemaparan visi dan misi Usai terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum pada Musyawarah Nasional XI Partai Golkar di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (21/8).
Menurut Bahlil, kader Golkar jangan sampai berani bermain-main dengan sosok yang disebutnya sebagai Raja Jawa karena bisa membawa celaka. Namun, Bahlil tidak menjelaskan sosok raja yang dimaksud tersebut.
Ucapan Bahlil tersebut mendapat respons pelbagai pihak. Salah satunya Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Megawati terheran-heran dengan pernyataan Bahlil soal Raja Jawa. Hal yang membuat Megawati tertawa adalah Bahlil bukan orang asli dari jawa. Sehingga mempertanyakan ucapan Bahlil bagaimana tahu soal raja jawa.
Sosok Raja Jawa Tanpa Mahkota
Wilayah jawa memang dikenal memiliki sejumlah kerajaan. Beberapa kerajaan itu hingga kini masih eksis. Salah satunya Kasultanan Yogyakarta hingga Keraton Solo.
Namun di balik kerajaan di jawa tersebut, ada yang dikenal sebagai Raja Jawa Tanpa Mahkota atau De Ongekroonde Van Java. Dia adalah Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto.
Siapa yang tak kenal dengan pria bernama lengkap Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto tersebut.
Masa kanak-kanak, Tjokroaminoto telah dilakukan ruwatan oleh kedua orangtua. Kala itu, ayah Tjokro RM Tjokroamiseno menginginkan anaknya menjadi ksatria piningit yang bisa mensejahterakan orang banyak.
Setelah beranjak dewasa, Tjokro menikahi seorang perempuan bernama Suharsikin. Mereka dikaruniai seorang anak perempuan Siti Oetari yang merupakan istri dari Presiden RI-1 Soekarno.
Kemudian, pria berkelahiran Ponorogo ini selalu bekerja dan singgah di berbagai kota-kota lain yang biasa Tjokro sebut hijrah. Salah satu alasan dia melakukan hijrah mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW.
Penentang Kebijakan Hindia-Belanda
Tjokro ketika itu selalu menentang kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Salah satu yang dia tak setuju dengan pemerintah Hindia Belada adalah perbudakan. Orang pribumi dipekerjakan oleh Belanda layaknya budak bukan manusia.
Kemudian, saat Tjokro menjadi redaktur koran Bintang Soerabaya membuat pemerintah Hindia Belanda ketakutan. Tjokro mengkritik pemerintah Hindia Belanda melalui tulisannya di surat kabar Bintang Soerabaya dan lainnya.
Surat kabar yang ditulisnya laris dijual dan selalu dibaca oleh beberapa kalangan kala itu. Tjokro disebut ancaman bagi pemerintah Hindia Belanda karena menulis propaganda di seluruh surat kabar. Tjokro pun langsung dikenal oleh tokoh organisasi pergerakan yang melawan Hindia Belanda.
Bahkan ketika itu juga utusan Serikat Dagang Islam menemui Tjokro untuk diminta bergabung. Tjokro lantas tak menolaknya ikut bagian dari Serikat Dagang Islam yang telah dilarang oleh Hindia Belanda.
Serikat Dagang Islam pun berubah menjadi Serikat Islam. Tjokro menjadi ketua Serikat Islam pada Tahun 1912. Serikat Islam langsung menjadi besar dengan dibukanya cabang-cabang di daerah.
Dikenal Sebagai Ksatria Piningit
Hingga saat itu, Tjokro dikenal sebagai Ksatria Piningit oleh para pribumi karena melakukan kebaikan bagi orang banyak. Selain itu disebutkan juga Raja Jawa Tanpa Mahkota atau De Ongekroonde Van Java.
Selain itu, di depan rumah Tjokro selalu banyak orang menunggu untuk bertemunya. Rumah Tjokro yang sempat dijadikan kos-kosan untuk menimba ilmu bagi murid-muridnya yaitu Semaoen, Alimin, Muso, Soekarno dan Kartosuwiryo. Rumah untuk bertanya atau diskusi.
"Kusno (Soekarno) jangan pernah malu untuk bertanya di sini, bertanyalah sebanyak-sebanyaknya," kata Tjokro pada saat Soekarno datang pertama kali di rumahnya seperti dikutip film Guru Bangsa HOS Tjokroaminoto.
Menteri Luar Negeri pertama Agus Salim juga menimba ilmu kepada Tjokro. Agus selalu mendampingi Tjokro dalam mengerjakan organisasi Serikat Islam.
"Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat," kata Tjokro.
Bahkan Tjokro juga pernah berpesan kepada para murid-muridnya. "Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator," kata itu yang selalu ditirukan oleh Soekarno hendak tidur selalu berorasi di kamar kosan hingga kawan-kawannya terbingung dan tertawa melihatnya.