Kisah taman modern terbesar Asia di jantung Jakarta
Taman yang dibangun pada era kolonial Belanda itu bernama Taman Wilhelmina. Sangat luas dan indah.
Selain memiliki sejumlah gedung kuno, Jakarta juga dulu memiliki sebuah taman yang indah dipandang mata. Taman yang dibangun pada era kolonial Belanda itu bernama Taman Wilhelmina.
Taman Wilhelmina dibangun Belanda pada abad 19 Masehi. Kala itu, Taman Wilhelmina merupakan taman terluas di Batavia (Jakarta), bahkan, taman modern terbesar di Asia. Taman yang terletak di depan Lapangan Banteng, Gambir, Jakarta Pusat itu, memiliki luas kurang lebih 9,32 hektar.
Alasan pemberian nama Wilhelmina kala itu sebagai bentuk penghormatan warga Belanda yang ada di nusantara kepada calon Ratu Wilhelmina.
Taman itu dibangun atas prakarsa Gubernur Jenderal Van De Bosch pada tahun 1834. Di taman itu terdapat sebuah benteng bernama Benteng (Citadel) Prins Federik Hendrik. Orang pribumi biasa menyebutnya dengan "Gedung Tanah."
Tak hanya itu, Belanda juga membangun sebuah monumen bernama Waterloo atau biasa dikenal dengan nama Monumen Atjeh. Monumen itu dibangun untuk memperingati jasa-jasa para serdadu Belanda yang tewas saat berperang di Aceh.
Taman yang juga berfungsi sebagai kebun sayur bagi para opsir Belanda di Batavia itu di dalamnya dipenuhi oleh rerimbunan pepohonan. Sejumlah jembatan yang menghubungkan dua tepi sungai Ciliwung juga dibangun di dalamnya.
Alhasil, Taman Wilhelmina begitu sejuk dan indah dipandang mata. Hal itu menjadi salah satu alasan mengapa taman itu ramai dikunjungi.
Bahkan, Taman Wilhelmina menjadi salah satu tujuan rekreasi terfavorit kala itu. Setiap Sabtu dan Minggu tiba, taman itu selalu menjadi tempat rekreasi para pembesar Belanda, tuan tanah, dan orang-orang kaya yang ada di Batavia dengan keluarganya.
Lokasi taman yang dekat dengan sungai Ciliwung semakin membuat udara di sekitar taman bertambah sejuk. Para pengunjung dapat dengan jelas mendengarkan gemericik aliran air dari sungai Ciliwung yang saat itu kondisi airnya masih sangat jernih.
"… Sore itu, Taman Wilhelmina tidak begitu ramai. Satu dua pasangan jalan bergandengan tangan menikmati udara sore. Mereka berbincang nyaris tanpa suara. Ada juga pasangan yang duduk di rerumputan tepi kali," demikian gambaran suasana Taman Wilhelmina saat sore hari seperti tertulis dalam buku "Primadona-sebuah roman," karya Nano Riantiarno, terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Namun, pasca-kemerdekaan, Taman Wilhelmina tak lagi terurus. Taman yang terletak di antara Jalan Perwira, Jalan Lapangan Banteng, Jalan Katedral, dan Jalan Veteran itu akhirnya berubah menjadi tempat yang kotor dan tak terawat.
Bahkan, Benteng (Citadel) Prins Federik Hendrik dan Monumen Atjeh yang tadinya terawat dengan baik, berubah dipenuhi lumut. Hiruk pikuk keramaian para bule Belanda yang biasa terlihat setiap akhir pekan tak lagi tampak di taman itu.
Taman Wilhelmina akhirnya dibongkar setelah Presiden Soekarno menyetujui pembangunan Masjid Istiqlal di lokasi itu. Pemancangan tiang pertama masjid yang namanya memiliki arti "Merdeka" itu dilakukan Bung Karno pada tanggal 24 Agustus 1961.