Sudah Enam Era Gubernur, Jalan Berbayar di Jakarta Cuma Wacana
Meski tak kunjung dieksekusi, kebijakan ERP di Jakarta kembali muncul saat Jakarta dipimpin Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono. Mengacu Raperda P2LSE ada 25 jalan di Jakarta yang akan diterapkan ERP. ERP diyakini mengurangi macet Jakarta bagi mereka yang keberatan dengan tarif melintas yang ditetapkan
Macet menjadi salah satu masalah utama Jakarta. Ibu Kota Indonesia ini sudah terlalu padat. Tak hanya oleh manusia, tapi kendaraan bermesin.
Sepanjang 2022 saja misalnya. Usai dua tahun dihantam pandemi. Kemacetan di Jakarta kembali menggila. Jika dipersentasekan, macet di Jakarta saat ini sudah mencapai 48 persen. Sebuah angka memprihatinkan.
-
Kapan kemacetan di Jakarta terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
-
Dimana saja lokasi kemacetan yang paling parah di Jakarta? Kondisi kemacetan lalu lintas kendaraan pada jam pulang kerja di Jalan Gatot Subroto, Jakarta
-
Di mana kemacetan parah di Jakarta sering terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
-
Apa yang menjadi salah satu solusi untuk kemacetan di Jakarta? Wacana Pembagian Jam Kerja Salah satu ide yang diusulkan Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono adalah pembagian jam masuk kerja para pekerja di Jakarta. Menurutnya, cara itu bisa mengurangi kemacetan hingga 30 persen.
-
Di mana letak permukiman terbengkalai di Jakarta yang diulas dalam video? Baru-baru ini sebuah kawasan di wilayah Jakarta Timur yang terbengkalai terungkap, dengan deretan rumah yang ditinggalkan oleh penghuninya.
-
Kapan Jalan Tol Semarang-Batang diresmikan? Pada 20 Desember 2018, Jalan Tol Semarang-Batang telah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo di Jembatan Kalikuto bersama dengan ruas tol Pemalang-Batang dan Salatiga-Kartasura.
Kemacetan paling parah terjadi pada jam sibuk. Pagi hari di jam 07.00 Wib sampai 09.00 Wib. Sore hari di jam 16.00 Wib sampai 18.00 Wib.
"Perlu disampaikan bahwa penduduk Jakarta itu sudah 10 juta sendiri. Aktivitas masyarakat yang masuk kota Jakarta pada siang hari ada 3 juta 300 ribu sekian sehingga sekitar ada 13 jutaan," kata Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Latif Usman.
Sebenarnya, banyak cara telah dilakukan Pemprov DKI Jakarta untuk mengurangi kemacetan di ruas jalan ibu kota. Sayangnya, semangat membuat jalanan Jakarta sedikit lebih lengang. Tidak sebanding dengan tingginya kebutuhan warga pada kendaraan bermotor.
Dulu, Jakarta pernah menerapkan kawasan pembatasan penumpang dengan 3 in 1. Aturan ini hanya memperbolehkan mobil pribadi berpenumpang tiga orang atau lebih untuk melintas jalan-jalan yang telah ditentukan. Jika kurang dari itu, maka mobil tidak bisa melalui jalanan itu.
Namun sejak 2016, sistem 3 in 1, dihapus Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ahok memilih mengganti 3 in 1 dengan sistem ganjil genap (gage) berdasarkan nomor pelat kendaraan.
Sistem gage berarti kendaraan berpelat nomor ganjil hanya boleh melintas di tanggal ganjil, begitu juga sebaliknya. Pemprov DKI menyebut sistem gage akan menjadi transisi sebelum diterapkannya sistem electronic road pricing (ERP) atau jalan berbayar.
Sistem jalan berbayar sendiri sebenarnya sudah digodok sejak lama. Tepat di masa Sutiyoso memimpin Jakarta. Sayangnya, enam gubernur silih berganti menjabat di DKI. Penerapan ERP masih sebatas wacana hingga kini.
Pembahasan ERP dari Masa ke Masa
Era Sutiyoso (Bang Yos)
Wacana penerapan ERP muncul di zaman Gubernur Sutiyoso. Ketua DPRD DKI Jakarta kala itu, Ade Surapriyatna, mengatakan bahwa Sutiyoso meminta ERP diterapkan pada 2006 untuk kendaraan pribadi yang melintas di Blok M-Kota. Hingga Bang Yos selesai menjabat rencana itu tak kunjung direalisasi.
Era Fauzi Bowo (Foke)
Bersambung ke masa Gubernur Fauzi Bowo atau yang akrab disapa Foke. Kala itu, Foke optimistis ERP bisa diterapkan pada 2009. Setidaknya, ia berharap, kajian tentang ERP bisa dimaksimalkan di 2009 sehingga dapat segera direalisasikan.
Dua tahun berselang wacana Foke kala itu, tepatnya di tahun 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2011 tentang Manajemen Rekayasa Lalu Lintas. Aturan itu bukti pemerintah pusat juga mendukung penerapan ERP di Jakarta.
Entah apa kendalanya, hingga 2012 ERP belum juga diterapkan. Salah satu kendalanya, Jakarta sebagai lokasi penerapan belum memiliki Perda untuk mendukung pemberlakuan ERP.
Era Joko Widodo (Jokowi)
Kepemimpinan di Jakarta beralih pada Joko Widodo alias Jokowi. Kala itu, Jokowi yang baru setahun dilantik sebagai gubernur DKI Jakarta berjanji memprioritaskan ERP. Tetapi dalam perjalanannya, berbagai kendala dihadapi terkait penerapan ERP. Salah satunya menyangkut payung hukum.
"Tidak mungkin (diberlakukan) dalam waktu dekat. Yang pertama karena prosedurnya banyak. Kita ini, dikit-dikit prosedur, prosedur mulu," ujar Jokowi kala itu.
Alasan kedua, anggaran penerapan ERP menggunakan APBD sehingga ada prosedur yang perlu dilewati. Kecuali, jika melalui pembiayaan swasta, pemberlakuan ERP bisa lebih cepat diterapkan.
"Nunggu Pergub, nunggu per apalagi. Ya kalau swasta punya duit, punya anggaran bisa langsung beli, jalan. Kalau pemerintahan, apa bisa begitu?" ujar Jokowi.
Menghadapi berbagai kendala itu, Jokowi mengaku tetap yakin. ERP bisa diterapkan awal 2014 nanti. Dia merencanakan penerapan ERP berada di kawasan bekas pemberlakuan 3 in 1 dan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Kisaran tarifnya Rp21.072.
Benar saja, pada Juli 2014, ERP diuji coba untuk pertama kalinya di Jalan Sudirman-MH Thamrin. Sebanyak 50 mobil diberikan On Board Unit (OBU) gratis untuk uji coba.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta saat itu, M. Akbar, menjelaskan, setiap mobil yang melewati kawasan ERP harus memiliki dan dipasang OBU. Pada saat pelanggan ERP melewati gantry (gerbang) ERP, maka OBU akan dideteksi oleh alat yang ada dan akan dilakukan pengurangan saldo secara otomatis.
Selanjutnya, pelanggan ERP akan mendapatkan pesan singkat SMS maupun pesan melalui aplikasi smartphone untuk memberikan informasi sisa saldo yang sudah dikurangi dengan dengan tarif retribusi yang ditetapkan oleh Pemprov.
Bagi pelanggan ERP yang tidak mempunyai cukup saldo atau pengendara yang memasuki kawasan ERP tetapi tanpa mempunyai alat OBU, maka akan dilakukan penindakan.
Tetapi, keberlanjutan ERP kala itu tiba-tiba saja terhenti. Kondisi politik di Jakarta berubah. Jokowi resmi mundur dari jabatannya pada 2 Oktober 2014 karena maju Pilpres 2014.
Era Basuki Tjahja Purnama (Ahok)
Setelah Jokowi fokus maju Pilpres 2014. Wakilnya kala itu, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ditunjuk sebagai pelaksana tugas. Hingga akhirnya, Ahok resmi dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta definitif pada 19 November 2014.
Di bawah kepemimpinan Ahok, wacana penerapan ERP yang sebelumnya telah digagas Jokowi, ingin dievaluasi kembali. Ahok tak ingin tergesa-gesa. Dia mau tak mau sistem itu bisa diterapkan tanpa aturan hukum. Payung hukum menjadi penting karena dari situlah bisa ditarik tarif pantas untuk ERP.
"Kalau netapkan kemurahan mau naikkan enggak boleh, entar digugat. Mau turunin enggak boleh, ya enggak bener. Kalau saya netapkan tinggi, sepi saya turunin saya bisa dianggap kurang pungut," ujar Ahok.
Memasuki masa Pilgub 2017 kala itu, mendadak Ahok disibukkan dengan pencalonannya sebagai gubernur DKI Jakarta bersama Djarot Saiful Hidayat. Lagi-lagi wacana ERP mengambang.
Hanya saja, Plt Soni Sumarsono yang kala itu menggantikan Ahok saat mengikuti Pilgub sempat merevisi Pergub No. 149 tahun 2016 terkait ERP. Revisi dilakukan karena pergub tersebut menuliskan salah satu teknologi yang digunakan dalam ERP. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kala itu menilai, hal tersebut dalam memunculkan monopoli persaingan usaha.
Era Djarot Saiful Hidayat
Djarot resmi dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 15 Juni 2017. Dia menggantikan Ahok yang menjadi tersangka kasus penistaan agama. Masalah hukum yang menjerat Ahok lagi-lagi membuat wacana penerapan jalan berbayar hanya rencana.
Masa jabatan Djarot di DKI sangat singkat. Lebih kurang enam bulan. Di waktu yang singkat itu, tak banyak kebijakan dilakukan Djarot selain meneruskan yang sudah berjalan.
Djarot lebih fokus melanjutkan pembangunan LRT dan MRT. Untuk ERP, dia mewacanakan dilakukan lelang infrastruktur. Tetapi sampai selesai menjabat, kelanjutan proses lelang tak ada kabarnya.
Era Anies Baswedan
Di masa kepemimpinan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, wacana ERP lagi-lagi hangat ke permukaan.
Wakil Gubernur Sandiaga Uno yakin ERP bisa diterapkan. Dia sesumbar wacana jalan berbayar itu bisa berlaku 2019.
Berbeda dengan Sandiaga, Anies memilih fokus membangun transportasi umum dibandingkan proyek jalan berbayar. Dia mengatakan, transportasi umum merupakan inti dari kebijakan transportasi di Ibu Kota.
"Kita lebih penting membangun transportasi umumnya daripada ERP-nya," kata Anies.
Namun demikian, Anies sempat menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (P2LSE). Di dalam raperda itu, memuat aturan mengenai ERP. Meski sampai akhir jabatan selesai, eksekusi ERP juga belum terlaksana.
Wacana ERP Muncul Lagi, 25 Ruas Jalan Disiapkan
Meski tak kunjung dieksekusi, kebijakan ERP di Jakarta kembali muncul saat Jakarta dipimpin Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono. Raperda P2LSE yang sempat disusun menjadi perbincangan.
Di dalam raperda tersebut, termuat rencana 25 ruas jalan yang akan diterapkan ERP. Yakni Jalan Pintu Besar Selatan, Jalan Gajah Mada, Jalan Hayam Wuruk, Jalan Majapahit, Jalan Medan Merdeka Barat, Jalan Moh Husni Thamrin, Jalan Jend Sudirman dan Jalan Sisingamangaraja.
Kemudian, Jalan Panglima Polim, Jalan Fatmawati (Simpang Jalan Ketimun 1 - Simpang Jalan TB Simatupang), Jalan Suryopranoto, Jalan Balikpapan, Jalan Kyai Caringin, Jalan Tomang Raya, Jalan Jenderal S Parman (Simpang Jalan Tomang Raya - Simpang Jalan Gatot Subroto) dan Jalan Gatot Subroto.
Selain itu, Jalan MT Haryono, Jalan DI Panjaitan, Jalan Jenderal A Yani (Simpang Jalan Bekasi Timur Raya - Simpang Jalan Perintis Kemerdekaan), Jalan Pramuka, Jalan Salemba Raya, Jalan Kramat Raya, Jalan Pasar Senen, Jalan Gunung Sahari dan terakhir Jalan HR Rasuna Said.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan, pembahasan regulasi pada Peraturan Daerah mengenai PL2SE masih tahap pembahasan bersama DPRD DKI Jakarta.
Syafrin juga mengatakan, Raperda PL2SE telah masuk dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah Tahun 2022 dan Tahun 2023.
"Perda kebijakan PL2SE atau ERP ini masih dibahas bersama DPRD. Setelah legal aspeknya selesai barulah PLL2SE ini bisa diterapkan," ujar Syafrin di Jakarta, Rabu (11/01).
Sementara terkait ketentuan mengenai tarif, ruas jalan, jenis kendaraan, masih dibahas oleh Bapemperda sebelum nantinya ditetapkan sebagai Peraturan Daerah.
Syafrin menjelaskan, pembahasan kebijakan PL2SE pada tahun 2022 telah dilakukan pembahasan bersama Bapemperda (Badan Pembentukan Peraturan Daerah) DPRD Provinsi DKI Jakarta dalam bentuk dengan pendapat dari stakeholder dan masyarakat.
"Dalam Raperda PL2SE ini, nantinya tidak hanya mengatur mengenai penerapan ERP saja, tetapi juga diharapkan dapat mengatur pengendalian lalu lintas dan angkutan umum di DKI Jakarta secara elektronik," tandasnya.
ERP Diyakini Kurangi Macet
ERP masih cukup diyakini mengurai kemacetan di ibu kota dalam bentuk push strategy. Yakni strategi mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta M. Taufik Zoelkifli (MTZ) mengungkapkan, Raperda PL2SE sudah masuk ke Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda). Nantinya, kajian-kajian yang ada di dalamnya akan digodok lebih dalam.
Namun, sebelum aturan tersebut berlaku, masih ada proses yang cukup panjang. Seluruh fraksi yang ada di DPRD harus menyampaikan pandangan mereka terhadap Raperda tersebut. Kemudian, diadakan Rapat Paripurna dan tanggapan dari Pj Gubernur.
"Pada prinsipnya, (ERP) bagus ya. Itu salah satu cara untuk mengurangi kemacetan dengan memanfaatkan teknologi. Jadi, jalan-jalan yang macet itu nanti dikurangi (pengguna jalannya)," kata MTZ saat dikonfirmasi, Jumat (13/1).
Meskipun demikian, MTZ mendorong adanya fasilitas layanan angkutan umum yang lebih baik terlebih dahulu. Tujuannya, agar masyarakat dapat beralih ke transportasi umum dengan nyaman.
"Di jalan-jalan yang memang nanti diterapkan ERP, itu harus tersedia fasilitas kendaraan umum yang bagus. Memang sebenarnya gini, prinsipnya juga mengurangi kemacetan itu caranya dengan memindahkan sebagian besar warga dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum," tambah MTZ.
Di lain sisi, Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, ERP sudah seharusnya diterapkan di Ibu Kota. Sebab, negara maju seperti Singapura sudah menerapkan aturan tersebut.
"ERP itu kan salah satu bentuk dari push strategy karena salah satu kota itu kan punya strategi (mengatasi kemacetan) lah. Salah satunya mengenai ERP. Itu juga sudah saatnya juga untuk diterapkan dan sudah terlambat. Itu udah diterapin di beberapa kota di Singapura pakai ERP,” kata Djoko saat dihubungi, dikutip Rabu (11/1).
Menurut dia, penerapan ERP akan lebih efektif jika dibandingkan dengan kebijakan ganjil genap. Karena, saat ini mayoritas rumah tangga memiliki mobil lebh dari satu.
"Pelat nomornya bisa lebih dari satu sekarang. Tapi setidaknya kalau ERP itu dapat duit, enggak keluar duit. Duitnya bisa digunakan untuk subsidi angkutan umum gitu," tambah Djoko.
Bagaimana ERP di Negara Lain?
ERP sebenarnya sudah diterapkan di negara tetangga, yaitu Singapura sejak 1998. Land Transport Authority (LTA) atau Lembaga Otoritas Transportasi Darat Singapura mencatat, sistem ERP berhasil menurunkan tingkat kemacetan di kawasan Central Business District (CBD) sebesar 10 sampai 15 persen.
Di Singapura, jam operasional ERP dimulai dari pukul 07.00 sampai 20.00. Namun, jam operasional ini berbeda-beda, tergantung ruas jalannya. Selain itu, ERP tidak diberlakukan di hari Minggu atau hari libur nasional.
Adapun biaya yang dikenakan ke masing-masing kendaraan juga tergantung dari kategori kendaraan, ruas jalan yang dilewati, kondisi kemacetan jalan, serta jam lewat kendaraan. LTA menyatakan bahwa semenjak November 2022, tarif ERP yang dikenakan berkisar antara 1 sampai 3 dolar Singapura atau sekitar Rp11.469 sampai Rp34.408.
Sistem ERP yang saat ini digunakan di Singapura adalah teknologi In-Vehicle Unit (IU). Ketika kendaraan melewati gantry ERP, gantry ERP akan berkomunikasi secara nirkabel dengan masing-masing IU yang terpasang di kaca depan sisi pengemudi setiap kendaraan. Setiap IU terhubung dengan value card atau Kartu Uang Elektronik (KUE) yang akan berkurang secara otomatis.
Gantry ERP juga dilengkapi dengan kamera yang dapat mengambil gambar plat nomor belakang kendaraan ketika kendaraan tersebut lewat. SIstem ini berfungsi untuk mengidentifikasi pengemudi yang kekurangan dana dalam value card yang terhubung dengan IU. Pengemudi yang tertangkap kamera tidak membayar akan dikirimkan ke pemilik terdaftar kendaraan.
Jika memang ERP diyakini mampu mengurangi macet Jakarta. Harusnya perlu langkah serius pada kebijakan ini. Pembahasan cukup panjang sejatinya menghasilkan kesimpulan. Apakah bisa segera diterapkan. Atau justru kembali mundur dengan ragam pertimbangan yang ada.
(mdk/lia)