Wihara Toasebio, saksi bisu pembantaian etnis Tionghoa di Jakarta
Wihara ini saksi tragedi Angke yang merupakan pembantaian kolonial Belanda terhadap etnis Tionghoa tahun 1740 silam.
Bangunan tua di Jalan Kemenangan III Glodok Taman Sari Jakarta Barat (dahulu Jalan Toasebio) ini masih kokoh berdiri. Sosok naga gagah menaungi setiap ujung atapnya. Tampak pula sebuah bedug merah berukuran satu meter tergantung di sebelah kanan depan bangunan.
Warna merah menyala hampir menyelimuti seluruh tembok bangunan. Berada sekitar sepuluh meter dari kelokan pertama Kawasan Petak Sembilan, Wihara Dharma Jaya Toasebio merupakan tempat ibadah umat Buddha tertua di wilayah ini.
Toasebio sendiri adalah gabungan dari dua kata yakni Toase yang berarti pesan dan Bio adalah kelenteng. Sehingga dimaksudkan kelenteng ini menghormati pesan yang dibawa dari China. Tidak hanya ajaran Terawada, Terayana juga menjadi satu di tempat ini.
Wihara Toasebio ©2016 Merdeka.com
-
Pajak apa yang diterapkan di Jakarta pada masa pasca kemerdekaan? Di dekade 1950-an misalnya. Setiap warga di Jakarta akan dibebankan penarikan biaya rutin bagi pemilik sepeda sampai hewan peliharaan.
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Apa yang dibahas Indonesia di Sidang Umum ke-44 AIPA di Jakarta? “AIPA ke-44 nanti juga akan membahas persoalan kesejahteraan, masyarakat, dan planet (prosperity, people, and planet),” kata Putu, Rabu (26/7/2023).
-
Dimana tempat wisata sejarah di Jakarta yang memiliki penjara bawah tanah? Menariknya, di bawah museum fatahilah ini terdapat berbagai penjara bawah tanah yang bisa kamu kunjungi dan dapat merasakan bagaimana di dalam penjara tersebut.
-
Apa yang diresmikan oleh Jokowi di Jakarta? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan kantor tetap Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) Asia di Menara Mandiri 2, Jakarta, Jumat (10/11).
-
Bagaimana KEK Singhasari memanfaatkan sejarah? Keunggulan lain dari KEK Singhasari yakni adanya sektor pariwisata dengan tema heritage and sejarah. Hal ini dilatarbelakangi nilai situs sejarah kerajaan Singhasari.
Aroma asap hio tercium hingga ke sudut ruangan. Doa–doa dipanjatkan para pengunjung di setiap altar untuk Dewa Dewi. Terdapat 18 altar di wihara ini dengan masing-masing fungsi yang berbeda. Angka 1 hingga 18 pun telah dituliskan di setiap altar guna mempermudah pengunjung. Tampak seorang pria lanjut usia kembali berdoa dengan khusyu setelah sedikit tertatih berpindah ke altar nomor 8.
Bangunan dengan luas 1.324 meter persegi ini awalnya dimiliki oleh seorang tuan tanah dengan marga Tan, kemudian dihibahkan ke Yayasan Dharma Jaya Toasebio setelah turunan ke empat. Dengan jumlah pengurus 38 orang.
Wihara ini ternyata mempunyai sejarah yang panjang. Melekat di dalamnya tragedi Angke yang merupakan pembantaian kolonial Belanda terhadap etnis Tionghoa dan aksi pembakaran massal pada tahun 1740 silam.
"Wihara ini dulu pernah dibakar Belanda tahun 17-an kemudian dibangun kembali tahun 1751, tertulis juga di prasasti," ujar Hartanto Wijaya salah satu pengurus tertua di wihara baru-baru ini.
Pria dengan perawakan gagah bermata sipit ini juga menggambarkan kengerian saat itu. Cerita tersebut diketahuinya secara turun temurun.
Wihara Toasebio ©2016 Merdeka.com
"Etnis Chinese dibunuh di Kali Angke. Etnis Chinese semua kena, dibantai dan dibuang ke kali. Kemudian kali menjadi merah karena banyaknya darah. Banyak (badan) dipotong lalu dibuang, dipotong lalu dibuang."
dengan kedua tangan menyilang seperti memotong, Hartanto menjelaskan kejadian itu. "Alasannya politik. Kurang lebih sama dengan kerusuhan tahun 1998," tambanya.
Menurut catatan Hembing Wijayakusuma dalam bukunya Pembantaian Massal, 1740 : Tragedi Berdarah Angke, Tragedi tersebut menyebabkan sepuluh 10.000 etnis Tionghoa tewas secara tragis karena pembantaian di luar batas-batas perikemanusian oleh VOC. Warga etnis Tionghoa ditembak, ditusuk, bahkan disembelih baik laki-laki, perempuan, anak-anak, bayi atau perempuan yang sedang menyusui. Seluruh rumah dan pusat perdagangan digeledah dan dibakar.
Lilin merah dari ukuran kecil seperti spidol hingga besar dengan diameter sekitar lima sentimeter menyala hampir di setiap sudut ruangan wihara. Aksara Mandarin juga terlihat mendampingi setiap altar. Ada yang berbeda antara bangunan depan dan belakang wihara terutama di bagian langit-langitnya.
Menurut penuturan Hartanto, ornamen di bagian depan dengan warna merah lebih gelap dari bagian belakang merupakan ornamen asli sejak wihara berdiri. Ukiran kayu melingkar khas Tionghoa di sela lubang tersebut tidak ikut terbakar saat tahun 1740 lalu. Juga empat tiang kayu penyanggah bangunan tengah, masih asli dan tidak pernah diganti.
"Tidak kena bakar, rayap juga tidak suka. Kayu rusak banyak bawahnya keropos. Jadi dicor dan dibuat ornamen naga melingkar," sambil tangannya memegang ornamen badan naga hijau tua yang melingkar.
Dia juga menambahkan ciri yang membedakan wihara yang sudah berumur tua dari letak wihara. Ciri itu antara lain wihara yang berdekatan dengan pasar, sungai atau laut. Hal tersebut dikarenakan etnis Tionghoa yang merapat ke Jakarta melewati sungai–sungai dan membuat tempat untuk berdoa.
Baca juga:
Melihat dari dekat Radya Pustaka, museum tertua Indonesia di Solo
Gua indah ini tempat penumpasan PKI, ditemukan 3 truk tulang manusia
Kisah Presiden Soekarno paksa Rusia cari makam Imam Bukhori
Cerita lucu TNI-Polri razia pemuda berambut gondrong
Ratusan benda cagar budaya di Banyumas terancam kelestariannya