Melihat Jejak Etnis Tionghoa di Tanah Minang, Berawal dari Berdagang hingga Hidup Berbudaya dengan Masyarakat Lokal
Kedatangan etnis Tionghoa ke daerah Minangkabau tentu saja tidak lepas dari aktivitas perdagangan di Nusantara. Mereka menetap lalu hidup berdampingan.
Kedatangan etnis Tionghoa ke daerah Minangkabau tentu saja tidak lepas dari aktivitas perdagangan di Nusantara. Mereka menetap lalu hidup berdampingan dengan warga lokal.
Melihat Jejak Etnis Tionghoa di Tanah Minang, Berawal dari Berdagang hingga Hidup Berbudaya dengan Masyarakat Lokal
Era perdagangan rempah menjadi momen penting dalam sejarah Nusantara khususnya kehadiran etnis Tionghoa. Bukan hanya bangsa Eropa, orang-orang Cina pun juga berbondong-bondong datang ke Nusantara untuk berdagang dan mengadu nasib di berbagai kota.
Pulau Sumatra menjadi salah satu wilayah penting dalam aktivitas perdagangan. Akses jalur lautnya (Selat Malaka) menjadi jalur utama kapal-kapal dagang berukuran besar berlalu-lalang di kawasan Nusantara. Begitu juga bangsa Cina yang singgah kemudian menetap di suatu daerah.
(Foto: Wikipedia)
-
Kapan orang Minang mulai bermigrasi ke Aceh? Mengutip berbagai sumber, wilayah pesisir barat Sumatera menjadi jalur perantauan orang-orang Minang sejak abad ke-16.
-
Bagaimana jejak Tionghoa di Banyumas terjaga? Bangunan dinding dan atapnya kebanyakan terbuat dari bahan kayu jati. Salah satu kamar digunakan untuk tempat bermain musik.
-
Dimana jejak Tionghoa di Banyumas paling tua? Peradaban Tionghoa di Banyumas yang tertua berada di daerah Sokaraja
-
Kenapa tradisi Marosok muncul di Minangkabau? Seperti dilansir dari situs warisanbudaya.kemdikbud.go.id, secara historis tradisi Marosok ini masih erat kaitannya dengan rasa malu dan sopan santun. Pada zaman dahulu, hewan-hewan ternak yang akan dijual berasal dari peninggalan harta pusaka yang diturunkan dari leluhur suatu kaum keluarga. Masyarakat Minang menganggap hal memalukan dan menjadi aib apabila suatu kaum memaksa menjual harta pusakanya tersebut.
-
Kapan tenun Siak mulai berkembang? Keberadaan kain tenun Siak mulai berkembang pada masa kepemimpinan Sultan Said Syarif Alam, tepatnya pada tahun 1800-an.
-
Kenapa peribahasa Minang penting bagi masyarakatnya? Bagi masyarakatnya, kata-kata pepatah Minang tentu menjadi kebanggaan tersendiri untuk dipatuhi.
Mengutip situs jalurrempah.kemdikbud.go.id, orang-orang Cina yang berniaga tepatnya pada abad ke-17 telah mendirikan pemukiman di daerah Pariaman dan menjadi pemukiman etnis Tionghoa pertama di kawasan Pantai Barat Sumatra.
Lebih dari sekedar menetap, etnis Tionghoa rupanya juga hidup berdampingan dengan masyarakat sekitar. Lantas, seperti apa jejak mereka di tanah Minang? Simak informasi selengkapnya yang dirangkum merdeka.com dari berbagai sumber berikut ini.
Awal Kedatangan
Mengutip situs indonesia.go.id, kedatangan pertama etnis Tionghoa di Tanah Minang ini diperkirakan masuk dari Pantai Barat Sumatra. Menurut catatan Christine Dobbin, telah menemukan sebuah bukti jika orang-orang Cina sudah bermukim di Padang yang berasal dari Jawa sekitar tahun 1630-an.
Menurutnya, kapal niaga milik Tionghoa itu sudah bersandar di Pariaman sejak awal abad ke-17. Mereka datang bersama dengan agen yang berasal dari Banten untuk mencari rempah dan garam serta beberapa di antaranya sudah mendirikan usaha.
Mudah Beradaptasi
Kedatangan orang-orang Cina di Padang sangat disambut baik. Hal ini disebabkan faktor karakter mereka yang memiliki kemiripan, salah satunya etos berdagang. Kemudian, mereka cukup cepat beradaptasi dengan kehidupan masyarakat lokal, yaitu Suku Minangkabau.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang Cina dengan masyarakat Minangkabau memiliki hubungan yang harmonis. Namun, pihak Belanda tampak tidak suka kemudian mencoba untuk memisahkan kedua belah pihak.
Pemerintah kolonial pun memisahkan area residensial antara orang Cina dengan penduduk asli. Pemisahan ini bertujuan untuk pembangunan ekonomi dengan mengubah sistem tata kotanya. Kebijakan ini kemudian menjalar hingga pendidikan dan birokrasi.
Pemerintah kolonial pun memberikan hak istimewa kepada orang-orang Cina karena mereka cenderung lebih mudah diajak kerja sama ketimbang orang-orang asli (Minangkabau).
Terjadi Percampuran Budaya
Meski pemerintah kolonial sudah memberikan sekat-sekat antara orang Cina dan penduduk lokal, namun terjadinya percampuran suatu budaya tentu tidak dapat dihindari. Salah satunya dalam tradisi upacara pernikahan orang Cina di Padang yang turut melaksanakan prosesi pelemparan beras kunyit.
Di sektor kesenian, di Pondokan Cina terdapat kesenian gambang yang merupakan hasil wujud dari ekspresi berbagai kelompok dan individu sebagai simbol identitas kedaerahan atau domisilinya.
Penggunaan bahasa rupanya juga terjadi percampuran suku kata antara bahasa Cina dan Minang. Contohnya saja seperti Cidang atau Cici Gadang untuk penyebutan perempuan lebih tua. Cici artinya kakak perempuan dan Gadang dalam bahasa Minang artinya besar.
Kemudian, di sektor bisnis juga demikian. Nama-nama warung milik orang Cina Padang mayoritas menggunakan bahasa Minang. Biasanya mereka menjual kopi atau es durian dengan nama-nama khas Minang.