Kisah Hidup Mayor Jenderal Djatikusumo, KSAD Pertama Republik Indonesia
Merupakan seorang keturunan ningrat, ia rela ikut berjuang bersama rakyat demi kemerdekaan Indonesia
Merupakan seorang keturunan ningrat, ia rela ikut berjuang bersama rakyat demi kemerdekaan Indonesia
Kisah Hidup Mayor Jenderal Djatikusumo, KSAD Pertama Republik Indonesia
Hari Minggu Pahing, 11 Ramadhan tahun 1335 H, atau bertepatan pada tanggal 1 Juli 1917, lahirlah seorang putra dari Raja Sri Susuhunan Paku Buwono X dari istri Raden Ayu Kironorukmi. Bayi itu diberi nama Subandono, yang kemudian berganti nama menjadi Djatikusumo.
-
Apa yang membuat Mayor Boediardjo disangka Jenderal oleh militer Inggris? Uniknya di kalangan militer internasional. Tanda pangkat balok emas itu adalah pangkat setara komodor atau brigadir jenderal di lingkungan Angkatan Laut. Hal itu berlaku di banyak negara, termasuk Inggris. Mayor Boediardjo pun disangka seorang komodor.
-
Kapan Tjokropranolo menjadi Gubernur DKI Jakarta? Hingga pada tahun 1977, ia dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 1977-1982.
-
Apa yang diresmikan oleh Jokowi di Jakarta? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan kantor tetap Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) Asia di Menara Mandiri 2, Jakarta, Jumat (10/11).
-
Siapa yang membantah pernyataan pelaku penganiayaan bahwa dirinya adalah keponakan seorang Mayor Jenderal? “Narasi dalam video yang diunggah pelaku dalam video bahwa pelaku memiliki hubungan kerabat dengan Mayjen TNI Rifky Nawawi adalah tidak benar,” kata Kristomei saat dihubungi, Minggu (28/4).
-
Kapan Bendungan Jenderal Soedirman diresmikan? Pada tahun 1989, Bendungan Jenderal Soedirman, juga dikenal sebagai Waduk Mrica, diresmikan oleh Presiden Soeharto.
-
Siapa yang memberikan penghormatan lengkap kepada Mayor Boediardjo? Penghormatan Lengkap itu Diberikan Khusus Kepada Seorang Komodor
Sejak kecil, ia sudah dididik secara militer. Dikutip dari sejarah-tni.mil.id, Djatikusumo kecil sudah diajari pencak silat, berkuda, dan latihan baris-berbaris sejak dini. Setelah lulus sekolah dasar, ia dititipkan pada keluarga di Bandung dan melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan atau Hogere Burger School (HBS) sampai tamat (1931-1936).
Setelah tamat dari HBS, ayahnya ingin agar Djatikusumo masuk akademi militer di Breda, Belanda. Namun ia memilih untuk melanjutkan studi di Technische High School (THS) di Delft, Belanda. Ia hanya bisa menjalani studi sampai tingkat III
Wafatnya sang ayah pada 20 Februari 1939, serta meletusnya Perang Dunia II, membuat Djatikusumo pulang ke Indonesia. Ia kemudian melanjutkan studi di Technische Hoge School (THS) Bandung namun hanya sampai ke tingkat IV.
Perang Dunia II telah sampai ke Indonesia dengan datangnya Jepang. Hal ini membuat Djatikusumo harus menunda studinya. Ia kemudian masuk Coro (Corps Opleiding Reserve Officieren), sebuah sekolah perwira cadangan di Bandung, dan ikut bertempur melawan tentara Jepang di Ciater, Jawa Barat pada 3 Maret 1942.
Pada 5 Oktober 1945, pemerintah Indonesia resmi mengumumkan dekrit pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sejak saat itu, Djatikusumo dipercaya menjabat sebagai Komandan Batalyon I Tentara Keamanan Rakyat yang bertempat di Benteng Vestenburg, Surakarta.
Saat pertempuran empat hari di Semarang, ia aktif melawan sisa-sisa tentara Jepang. Sejak saat itu, ia rutin diangkat jadi panglima perang, termasuk saat ia menjabat sebagai Panglima Divisi Ronggolawe pada Agresi Militer I Belanda tanggal 21 Juli 1947.
Pada Februari 1948, Djatikusumo resmi diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dan menjadikannya KSAD pertama Indonesia.
Belum ada satu tahun menjabat, pada 19 Desember 1948 ia bersama para taruna Akademi Militer serta anggota TNI lain terlibat perang gerilya Agresi Militer II dan menjadi penasihat Sri Sultan HB IX dalam agresi tersebut.
Setelah masa revolusi, ia pernah mendapat tugas memimpin operasi militer PRRI di Sumatera. Pada tahun 1959, ia diangkat menjadi Menteri Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata.
Pada tahun 1963, ia diangkat menjadi Duta Besar Luar Biasa untuk Kerajaan Malaya (sekarang Malaysia) di Kuala Lumpur.
Ia kemudian menjabat sebagai Dubes Maroko pada November 1965 dan setahun kemudian menjadi Dubes Perancis, merangkap Dubes Spanyol dan Kepala Perwakilan UNESCO.
Pada tahun 1973, ia memasuki purna tugas. Saat purnawirawan, ia pernah menjadi anggota Dewan Pengurus Pusat Pepabri, kolumnis tetap Harian Buana, dan menjadi anggota P-7 hingga akhir hayatnya (1978-1992)
Dilansir dari Sejarah-tni.mil.id, pada Mei 1992 Djatikusumo berkunjung ke Republik Rakyat China (RRC). Sekembalinya ke Indonesia, ia mengadakan kunjungan kerja ke Jawa Timur selama lima hari. Kunjungan kerja ini merupakan kunjungan yang terakhir karena setelah itu, pada 4 Juli 1992, ia meninggal dunia karena sakit.