Kisah Pegiat Lingkungan Kota Jogja Ajak Warga Daur Ulang Sampah, Bekerja dengan Hati
Sejak diberlakukannya kebijakan gerakan zero sampah anorganik, warga di Kota Yogyakarta diwajibkan untuk memilah-milah sampah guna mengurangi volume pembuangan sampah. Di balik program itu, ada pegiat-pegiat lingkungan yang mengajak warga untuk melakukan daur ulang sampah. Inisiatif mereka patut diapresiasi.
Sejak Bulan Januari lalu, aktivitas Tri Yulianto (54) lebih sibuk dari sebelumnya. Dia punya tugas untuk memberikan sosialisasi mengenai pengolahan sampah pada setiap perkumpulan warga di wilayah Kelurahan Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta.
“Kalau botol plastik jenisnya masuk sampah apa??” Tanya Tri Yulianto pada ibu-ibu mengetes pengetahuan mereka.
-
Kapan puncak kemarau di DIY diprediksi berlangsung? Sebelumnya Kepala Stasiun Klimatologi BMKG Yogyakarta Reni Kraningtyas menyebut puncak musim kemarau 2024 di DIY diprediksi berlangsung antara Juli hingga Agustus 2024.
-
Apa yang dikatakan Ade Armando tentang DIY? Laporan ini merupakan buntut dari pernyataan Ade yang mengatakan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai perwujudan dari politik dinasti sesungguhnya.
-
Mengapa Prewangan Studio memilih konsep DIY? Praktik Prewangan Studio fokus pada semangat DIY (Do It Yourself). Para anggota Prewangan Studio terdiri dari guru, seniman multimedia, praktisi furnitur, praktisi elektro, dalang, praktisi usaha bidang agraris maupun maritim, desainer, praktisi musik, dokter hewan, dan masyarakat sebagai kolabolator.
-
Bagaimana Dishub DIY mengantisipasi kepadatan arus kendaraan saat Tol Jogja-Solo dibuka secara fungsional? Sejumlah antisipasi disiapkan Dishub DIY untuk mengurai kepadatan di sejumlah titik rawan pada lebaran 2024 nanti.
-
Dimana para petani di DIY berdomisili? Nurohmad, petani asal Kalurahan Pondokrejo, Tempel, Sleman, merasakan betul sulitnya hidup sebagai buruh tani.
-
Mengapa Polda DIY ingin mengubah konsep ujian praktik SIM? Wakapolda mengatakan bahwa konsep ujian praktik roda dua di Polres Bantul ini adalah dari analisis dan evaluasi kecelakaan lalu lintas di wilayah hukum Kabupaten Bantul, yang mana hampir 51 persen adalah faktor manusia.
“Sampah anorganik!!!” jawab ibu-ibu serempak.
“Kalau sampah organik contohnya apa saja?? Terus kalau residu apa??” serunya memberi pertanyaan lanjutan.
Dalam tugasnya memberikan sosialisasi, Tri Yulianto harus bisa menjelaskan apa bedanya sampah organik, sampah anorganik, sampah bahan berbahya dan beracun (B3), serta sampah residu. Dengan mampu membedakan keempat jenis sampah tersebut, ia berharap warga di wilayahnya mampu dan tekun memilah sampah mana yang bisa didaur ulang, mana yang bisa diolah kembali, dan mana yang memang harus dibuang. Setiap ada perkumpulan ibu-ibu ia sebisa mungkin hadir untuk memberikan penjelasan mengenai pengolahan sampah pada mereka.
Karena aktif mengikuti kegiatan di tengah masyarakat, banyak warga kampung, mulai dari anak muda hingga sesepuh kampung kenal baik dengan Tri Yulianto. Padahal belum ada lima tahun lamanya ia tinggal di Cokrodiningratan.
Tri Yulianto resmi menjadi warga Kelurahan Cokrodiningratan pada tahun 2018. Ia pindah ke kampung itu karena jaraknya cukup dekat dengan sekolah tempat istrinya mengajar di SMA 6 Yogyakarta. Pada waktu itu, banyak warga Cokrodiningratan bekerja di perusahaan katering. Setiap pulang kerja, mereka selalu membawa botol bekas.
Melihat fenomena itu, Tri Yulianto tercetus ide untuk membuat kerajinan dari botol bekas. Ia meminta kesediaan warga untuk menyisihkan botol-botol bekas untuknya. Kemudian ia berkreasi dengan menyulap botol bekas itu menjadi pot kecil untuk tanaman. Pot-pot itu ia pasang di pagar-pagar rumah yang disusun secara bertingkat.
“Di kota itu lahan untuk tanaman sempit. Makanya kita buat pot gantung yang disusun secara vertikal. Dengan adanya tanaman ini setidaknya mengundang serangga seperti capung dan kupu-kupu datang ke sini. Keberadaan serangga-serangga itu di perkotaan sudah langka,” terang Tri Yulianto.
Tak hanya untuk pot tanaman, botol-botol bekas itu juga dimanfaatkan untuk menghias kampung, terutama tiap perayaan 17 Agustus. Ia pun memotivasi warga sekitar untuk ikut membuat kerajinan dari botol bekas. Warga ia ajak untuk mengolah sampah-sampah dari bank sampah menjadi produk-produk yang punya nilai jual. Produk-produk yang sudah jadi kemudian ia jual ke pihak luar. Uang hasil penjualan produk daur ulang sampah itu ia bagikan kembali pada warga.
Setiap ada kegiatan bank sampah di kampung, sampah-sampah yang dikumpulkan warga sebagian dikumpulkan di rumah Tri Yuliyanto. Sampah itu berasal dari banyak tempat, salah satunya dari bantaran Kali Code yang tak jauh dari rumahnya. Karena fungsinya sebagai tempat pengumpul sampah, rumahnya kemudian diberi nama “bengkel sampah” atas kesepakatan antar warga.
“Waktu itu pilihan namanya banyak. Tapi saya pilih nama ‘bengkel’ karena bengkel itu image-nya adalah memperbaiki sesuatu yang rusak jadi bisa bermanfaat,” ujar Tri.
Bengkel Sampah, Sulap Sampah Jadi Kerajinan
©Merdeka.com/Shani Rasyid
Sampah-sampah yang berhasil terkumpul ia olah kembali untuk menghasilkan berbagai bentuk kerajinan. Keberadaan Bengkel Sampah di Kampung Cokrodiningratan rupanya mengundang minat wisatawan untuk berkunjung.
Pada tahun 2019 lalu misalnya, sekelompok mahasiswa asal Australia datang untuk melakukan studi mengenai pengolahan sampah. Selain itu, banyak juga para akademisi baik dosen maupun mahasiswa di sekitar Jogja yang datang berkunjung untuk melihat sendiri berbagai kreasi yang lahir dari Bengkel Sampah.
Sepak terjang Tri Yulianto di Kampung Cokrodiningratan dengan Bengkel Sampah-nya dilirik oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta. Pada tahun 2019, ia ditunjuk oleh DLH Kota Yogyakarta sebagai salah satu dari dua Fasilitator Kelurahan (Faskel) di Cokrodiningratan.
“Tugas saya sebagai Faskel secara tertulis adalah menjembatani program DLH khususnya bank sampah di kelurahan. Selain itu tugas saya juga mendampingi bank sampah,” terangnya.
Dalam tugas pendampingan itu, Tri mengajak dan membina warga di wilayahnya untuk mengolah sampah menjadi barang bermanfaat. Berkat kekompakan warga, pernah suatu hari Kampung Cokrodiningratan memperoleh juara tingkat Kota Yogyakarta dalam hal pengolahan sampah.
Memasuki masa pandemi, kegiatan bank sampah ini sempat fakum karena pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Namun sejak Bulan Januari 2023 lalu, Tri Yulianto justru semakin sibuk turun ke warga untuk mensosialisasikan gerakan zero sampah anorganik.
Sosialisasi Gerakan Zero Sampah Anorganik
©2020 liputan6.com
Gerakan zero sampah anorganik merupakan salah satu program strategis Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta yang lahir karena semakin terbatasnya kapasitas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan. Sehari-hari, TPA Piyungan harus menampung 600-700 ton sampah warga dari tiga wilayah kabupaten/kota di DIY yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kota Yogyakarta. Diperkirakan kapasitas TPA Piyungan tidak dapat lagi menampung sampah-sampah dari ketiga wilayah tersebut pada pertengahan tahun 2023 nanti.
Ancaman itu sudah menampakkan bukti nyata saat beberapa kali akses menuju TPA Piyungan ditutup oleh warga setempat. Sampah-sampah dari berbagai depo tempat pembuangan sementara (TPS) yang tersebar di penjuru kota tak bisa terangkut sehingga terjadi penumpukan selama berhari-hari. Penumpukan ini menimbulkan bau menyengat di sepanjang jalan. Peristiwa ini dikenal dengan nama “kiamat sampah”.
Berdasarkan data dari Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta pada tahun 2022, rata-rata volume sampah yang dibuang ke TPA Piyungan mencapai sekitar 250-260 ton per hari. Dengan kapasitas TPA Piyungan yang sudah over capacity, Pemkot Yogyakarta harus mengurangi angka volume pembuangan itu sebanyak mungkin. Salah satunya dengan membuat program gerakan nol sampah anorganik yang mulai dijalankan pada Januari 2023.
Pada tingkat kelurahan, pengenalan program ini dilakukan oleh Faskel (Fasilator Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan). Tak heran, Tri Yulianto sebagai Faskel di Kelurahan Cokrodiningratan gencar melakukan sosialisasi program ini dari RT ke RT.
Ia melakukan sosialisasi mulai dari pengenalan apa itu sampah organik, anorganik, maupun residu, hingga mengajarkan bagaimana mengolah limbah sampah rumah tangga.
Dalam menjalankan sosialisasi itu, Tri Yulianto beberapa kali dihadapkan pada berbagai tantangan, salah satunya adalah menjawab permasalahan-permasalahan warga terkait sampah.
“Pernah saya ditanya, kalau kotoran ular itu dibuang di mana. Terus ada warga yang mau buang kasur bertanya, kasur itu masuk sampah apa? Sebenarnya kasur itu masuk sampah residu. Tapi pengangkut sampah harus menginformasikan ke TPS, apakah menerima sampah kasur atau tidak. Karena ada TPS yang tidak punya penampungan besar,” jelas Tri.
Permasalahan tak hanya datang dari warga. Sering kali Tri Yulianto harus berurusan dengan para pelapak yang tak mau membeli sampah plastik yang telah disisihkan. Padahal sampah-sampah itu tidak boleh dibuang dan tidak bisa didaur ulang.
“Kalau program gerakan zero sampah anorganik itu kan sampah plastik tidak boleh dibuang, sebagai contoh sampah botol sirup, botol kecap, dan lain sebagainya. Tapi pelapak tidak mau dibeli. Lalu dikemanakan? Solusinya kita ikhlaskan saja. Mereka kalau dikasih baru mau,” kata Tri.
Harapan Tri Yulianto
©Merdeka.com/Shani Rasyid
Berkat kehadiran Tri Yulianto, jalan gang di Kampung Cokrodiningratan kini terlihat lebih enak dipandang. Apalagi tak hanya tanaman, Tri juga mengajak warga menghias tembok-tembok rumah dengan gambar-gambar yang memiliki nilai seni.
Eko Japuro, salah seorang warga Cokrodiningratan, mengatakan bahwa kehadiran Tri Yulianto di kampungnya memberi dampak yang cukup signifikan, terutama dalam memberi semangat warga untuk mengolah sampah.
“Dia itu memberi semangat pada warga. Terutama saya. Saya diajak untuk ikut mengolah sampah. Nanti kalau barangnya sudah jadi dia beri upah. Saya berharap beliau tidak pernah bosan dalam memotivasi dan membina warga,” kata Eko.
Memasuki usianya yang beranjak tua, harapan Tri Yulianto dalam hidup tak muluk-muluk. Ia berharap ia tetap bisa mengabdi untuk warga Cokrodiningratan, terutama dalam dunia sampah.
“Intinya semua ini saya lakukan untuk mengabdi. Sesuai motto hidup saya,’khoirunnas anfaukum linnas. Sebaik-baik orang adalah orang yang bermanfaat bagi yang lainnya,” tutup Tri Yulianto.