BBM naik tidak tepat
Mestinya pemerintah jujur, oh iya ada kesalahan kebijakan.
Belum genap sebulan menjabat, Senin kemarin Presiden Joko Widodo memberikan kado spesial bagi rakyatnya. Ditemani oleh jajaran anggota Kabinet Kerja, dia mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi Rp 2 ribu di Istana Negara, Jakarta.
Bensin premium dinaikan dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 dan solar dari Rp 5.500 naik menjadi Rp 7.500. Keputusan Joko Widodo itu menuai polemik: ada yang setuju dan banyak pula menolak.
Salah satu orang paling keras mengkritik kebijakan non-populis Joko Widodo adalah Ichsanuddin Noorsy. Pengamat ekonomi itu menganggap kenaikan BBM tidak tepat lantaran tidak adanya keterbukaan. "Sama sekali tidak tepat. Mestinya pemerintah jujur, oh iya ada kesalahan kebijakan, dibuka saja kebijakannya," katanya saat ditemui merdeka.com kemarin di kediamannya, Jalan Tebet Barat Dalam I, Tebet, Jakarta Selatan.
Berikut penuturan Ichsanuddin Noorsy kepada Arbi Sumandoyo dari merdeka.com.
Pandangan Anda terkait kenaikan harga BBM bersubsidi?
Kenaikan paling layak itu Rp 1 ribu. Pertama, APBN Perubahan disepakati paripurna DPR itu kilat. APBNP 2014 disepakati secepat kilat itu tanpa bahasan, tanpa apapun itu memberi kuota subsidi sama dengan kuota subsidi 2013.
Anda bayangkan kuota subsidi BBM 2014 sama seperti 2013 dan itu saya bilang sidang paripurnanya itu secepat kilat, tanpa pembahasan lebih detail. Artinya DPR dan pemerintah di 2014 telah membuat kesalahan.
Artinya SBY?
Saya tidak tahu. Yang pasti saya mau bilang kesalahan pemerintahan 2014 menghasilkan APBNP 2014. Nah, kesalahannya terletak pada jumlah kuota. Karena data saya, data dari BPH Migas, konsumsi BBM tiap tahun meningkat antara lima sampai tujuh persen. Itupun dengan asumsi dolarnya stabil. Kalau dia tidak stabil, dia turun karena mempengaruhi harga jual motor dan mobil.
Maka kuota sama antara 2013 dan 2014 itu menunjuk pada situasi itu. Kalau dibaca adalah kesalahan awal sampai akhirnya. Tapi di APBNP 2014 itu ada pasal memperkenankan pemerintah boleh menaikkan harga BBM jika harganya, patokan ICP-nya internasional. Harga pasar internasional di atas ICP.
Kedua karena nilai tukar jatuh. Tapi bagi saya masih ada yang ketiga yaitu jika minyak dihasilkan di bawah target. Saya merasa aneh jika APBNP berbicara soal nilai tukar dan harga internasioal, menurut saya, kata kuncinya ada di lifting. Iya dong kata kuncinya di lifting bukan harga internasioanl, bukan nilai tukar.
Saya ingin mengatakan jika pendekatannya lifting, Anda akan mengoptimalisasi produksi lifting. Dengan pendekatan nilai tukar dari pendekatan harga internasional pada harga per barel maka pendekatannya pendekatan impor.
Berarti tanpa kajian mendalam?
Ini kebijakan buruk. Saya menyebut akuntabilitasnya buruk. Alasan pertama ini dihadapkan pada persoalan harga minyak dunia turun. Artinya kesalahan kebijakan pada kuota subsidi 46 juta kilo liter, lalu masuk lagi pada harga minyak turun.
Maka sebenarnya kabinet Joko Widodo hitung persoalan kuota rendah, tidak sesuai konsumsi. Konsumsinya seperti saya hitung adalah 48,8 juta kilo liter atau saya berhitung harga minyak internasional turun.
Kalau balik APBNP 2014 maka tidak ada peluang karena harga minyaknya turun. Tapi balik pada pernyataan konsumsi, ternyata lebih dari 46 juta. Tinggal kita hitung-hitungan, kan selisihnya dua juta kilo liter.
Kalau kita anggap selisih 2,8 juta kilo liter kali saja dengan besarnya penurunan. Itu saya bilang pemerintah tidak jujur. Kesimpulan saya pemerintah tidak jujur.
Artinya kenaikan BBM tidak tepat?
Sama sekali tidak tepat. Mestinya pemerintah jujur, oh iya ada kesalahan kebijakan, dibuka saja kebijakannya. Kebijakannya memang salah nih, istilahnya buruk tadi. Tapi yang salahnya itu pada posisi kuota dikompensasi dengan turunnya harga minyak internasional.
Terkompensasi, bahkan turunnya sampai US$ 75 per barel. Kalau 75 berarti terjadi selisih 30 dolar per barel. Kalau US$ 30 per barel dikalikan per 1 dolar turun naiknya harga minyak mengakibatkan subsidi kurang Rp 2 triliun maka terjadi selisih Rp 60 triliun.
Nah kalau Rp 60 triliun kita bilang dapat selisih 2,8 juta barel tapi dikonsumsi 4,8 juta barel maka tinggal kalikan saja 2,8 juta barel dikali besarnya subsidi. Nah begitu kita masuk urut-urutan 2,8 juta barel dikali besaran subsidi, pertanyaannya berapa sebenarnya nilai subsidi diberikan pemerintah untuk setiap liter premium?
Ketahuan kemahalan. Bagaimana ketahuan kemahalannya? Ini gampang sekali menghitungnya. Rp 246,5 triliun dibagi 46 juta kilo liter dapatlah angka jumlah subsidi. Menurut perhitungan APBNP, dengan Rp 246,5 triliun dibagi 46 juta kilo liter jadinya Rp 5.360 maka harga premium kita mahalnya setinggi langit.
Karena Rp 5.360 harus ditambah Rp 6.500, jadilah harga Rp 11.860. Mahal sekali. Sementara di luar sana harganya tidak seperti itu.
Berapa harga paling tinggi di pasaran?
Kalau sekarang hitungannya Rp 7.395 untuk jenis oktan 92, itu Pertamax.
Kalau Anda katakan tadi kenaikan BBM harusnya naik Rp 1 ribu, bagaimanan hitungannya?
Pertama bukan soal hitung-hitungan dulu. Ini jujur, pertama saya juga tidak ingin pemerintah kehilangan muka. Kedua, kenaikan Rp 1 ribu masih ada subsidi Rp 35. Dengan begitu tidak ketemu alasan untuk mempertanyakan harga ini, harga pasar atau bukan.
Ini terkait kebijakan harga pasar. Artinya Jokowi mengikuti keinginan asing karena sebelumnya ditantang oleh Bank Dunia menaikkan harga BBM sebesar Rp 2 ribu?
Tercapaikan? Itu saya bilang kenapa presiden mau mengikuti anjuran salah. Kenapa dia mengikuti perjanjian-perjanjian mafia Berkeley dan Bank Dunia. Itu saya bilang melanggar Trisakti dan karenanya saya bilang menjadi bertabrakan dengan pidatonya sendiri.
Dia menabrak pidato Megawati, dia menabrak pidatonya saat pelantikan, dan dia menabrak pidatonya soal Trisakti. Biarin saya dikritik habis-habisan. Bukan mengoreksi kebijakan salah, malah kemudian pasang badan kebijakannya itu benar hanya karena mengalihkan ke sektor infrastruktur.
Alokasi untuk subsidi dengan alokasi untuk produksi beda. Pendekatan permintaan dengan pendekatan suplai berbeda. Pendekatan prmintaan adalah pendekatan di mana swasta melakukan investasi. Pendekatan suplai adalah pemerintah melakukan investasi.
Pendekatan produktif adalah pemerintah melakukan investasi, tapi alokasi-alokasinya memang dibikin sesuai untuk melakukan investasi. Tetapi pendekatan permintaan terbatas dan itu terjadi dengan yang namanya barang. Dalam hal ini minyak dan gas.
Artinya ada penyamarataan?
Tidak. Sebenarnya kalau mau dilihat dari persoalan belanja subsidi, itu sebetulnya belanja suplai, cuma dalam bentuk konsumsi. Sama seperti sekarang ini, suplai dikehendaki Joko Widodo cuma bentuknya produksi. Jadi jangan bilang dihambur-hamburkan gitu. Di situ salah pengertiannya.
Jadi betapa kelihatan konsep pemerintah itu tidak jelas kebijakannya. Ketika dia bilang habis di hambur-hamburkan namanya tidak punya konsep. Itu kebijakan pemerintah menginjeksi pada sektor konsumsi namanya. Ketika dia ingin melakukan di pangan, sama itu suplai juga cuma di sektor produksi.