Berkaca pada revolusi sepak bola Jerman
Dunia mengelu-elukan anak-anak muda puak Aria yang tak lagi tampil kaku, tapi kreatif, dinamis, dan menghibur.
"Sepak bola itu permainan sederhana; 22 orang berebut bola selama 90 menit dan pada akhirnya Jerman menang."
Kutipan itu keluar dari striker Gary Lineker setelah Inggris kalah dari Jerman lewat adu penalti pada Piala Dunia 1990. Pada era 1980 sampai 1990-an, dunia mengenal sebagai kejayaan Jerman. Julukannya Der Panzer karena main seperti tank. Jerman juara Piala Dunia 1990, finalis 1982 dan 1986. Jerman juga juara Piala Eropa 1980 dan 1996 serta finalis 1992.
Kunci sukses Jerman ketika itu adalah staying power. Tipe permainan mengandalkan kekuatan, daya tahan, dan disiplin. Orang lebih menilai sebagai gaya robot yang monoton tapi efisien. Main tak perlu cantik, ujung-ujungnya menang. Persis seperti kata Lineker.
Dalam perkembangannya, banyak tim menemukan kelemahan Jerman dengan ciri khas spesialis turnamen. Pukulan pun menimpa Der Panzer pada Euro 2000 dengan hanya mendapat 1 poin di putaran grup. Kemudian disusul gagal pada final Piala Dunia 2002, dan hanya sampai putaran grup Euro 2004 di Portugal.
Rentetan kegagalan akhirnya membuat DFB (PSSI-nya Jerman) berpikir mengubah konstruksi total sepak bola Jerman. Kebutuhan memperkaya tipe serangan adalah keharusan. Sejak itu fokus pada stamina dan kekuatan pemain diubah ke taktik, teknik, dan elemen tertentu pada gaya main.
Upaya untuk bangkit pada 2004 itu menemukan nakhoda yang pas pada sosok Juergen Klinsmann dan asistennya Joachim Loew. Dua orang itu membangun cetak biru sepak bola Jerman dari yang paling dasar. "Kami mulai berani berlatih umpan pendek dari belakang mengalir ke depan secepat mungkin dalam sepak bola dinamis," kata Klinsmann.
Revolusi Klinsmann berbuah euforia besar pada Piala Dunia 2006 di kandang sendiri. Saat itu Michael Ballack dkk menembus semifinal. 500.000 orang berkumpul di Gerbang Brandenburg, Berlin, khusus memberi hormat pada kejayaan pasukan Klinsmann. Dua tahun kemudian, kemudi beralih ke Joachim Loew. Generasi Loew mampu menembus final Euro 2008 dan semifinal Piala Dunia 2010 dan Euro 2012. Dunia mengelu-elukan anak-anak muda puak Aria yang tak lagi tampil kaku, tapi kreatif, dinamis, dan menghibur.
***
Cetak biru kebangkitan sepak bola Jerman tidak melulu fokus mencari pemain tim nasional. Tidak ada pemain bagus kalau klubnya jelek. Klinsmann merancang strategi simultan antara timnas dengan liga (Bundesliga).
Langkah pertama dan paling krusial, pembibitan pemain. DFB membantu Klinsmann menekan semua klub kasta tertinggi, divisi I dan divisi II untuk membangun akademi pemain dengan standar tertentu. Satu dekade terakhir, sebanyak 700 juta Euro (Rp 10,3 triliun) dikucurkan untuk membangun fasilitas pengembangan pemain muda. Akhirnya, Dortmund melahirkan Mario Goetze, Marco Reus, dan Sven Bender. Bayern Munich menelurkan Jerome Boateng, Toni Kroos, dan Thomas Mueller. Bayer Leverkusen menghasilkan Lars Bender dan Andre Schuerrle, dan masih banyak lainnya.
Menemukan pemain bagus baru separuh jalan. Langkah berikutnya menentukan identitas dan filosofi bermain. Staying power sudah kuno maka itu perlu dicari gaya baru. Klisnmann dan DFB menggelar workshop dengan pelatih dan pemain di Jerman.
Mereka diminta menulis dan menggambar skema tentang tiga hal: Permainan apa yang diinginkan, cara bermain seperti apa yang mereka inginkan dilihat oleh dunia, dan cara bermain seperti apa yang diinginkan dilihat orang Jerman.
Bahan itu disusun menjadi skema latihan dan taktik baru. Lahirlah Jerman baru berupa permainan menyerang, cepat, dan proaktif. Kata terakhir maksudnya jangan bereaksi terhadap apa yang dilakukan lawan, tetapi bermain dengan cara sendiri.
Klinsmann lantas menyusun kurikulum, mempresentasikan hingga diterima Bundesliga dan DFB.
Langkah berikutnya di luar sisi permainan, DFB dan Bundesliga menekankan pentingnya manajemen klub dan kompetisi. Klub harus sehat, liga juga harus hidup, diminati fans dengan persaingan ketat.
Data musim 2012, 18 klub Bundesliga menghasilkan revenue 2 miliar Euro (Rp 29 Triliun), rekor tertinggi sepanjang sejarah. Klub dijalankan dengan kebijakan 50+1 di mana tidak boleh ada individu mengontrol kepemilikan klub. Kalaupun ada penegecualian, hanya untuk tiga klub yaitu Bayer Leverkusen (dimiliki Bayer), Wolfsburg (dimiliki VW), dan Hoffenheim (dimiliki pendiri SAP Dietmarr Hopp). Dalam aturan 'Lex Bayer' itu, perusahaan boleh memiliki klub selama punya kedekatan sejarah lebih dari 20 tahun sebelum Januari 1999.
Klub harus dimiliki suporter sebagai partisipan dibanding customer. Kepentingan komersial tak boleh menguasai klub. Audi dan Adidas misalnya, masing-masing hanya punya saham 9 persen di Bayern Munich.
Kedekatan klub dengan suporter (yang juga pemilik) menjadikan Bundesliga menjadi liga paling populer di dunia dengan rata-rata penonton di stadion 44.293 orang per laga musim 2012. Peringkat berikutnya, Liga Primer Inggris rata-rata ditonton 35.000 orang per laga. Penonton datang tak lain karena harga tiket paling murah di Eropa. Rata-rata tiket termurah Bundesliga per partai sekitar Rp 160.000. "Kami tidak pernah menganggap fans adalah sapi yang kudu diperah. Sepak bola harus untuk semua orang," kata Presiden Bayern Munich Uli Hoeness.
Revolusi klub berdampak pada prestasi. Klub-klub Jerman mulai menguasai Eropa. Finalis Liga Champions 2013 adalah dua tim Jerman, Bayern Munich dan Borussia Dortmund. Bayern juga finalis satu tahun sebelumnya.
***
Kunci sukses revolusi sepak bola Jerman terletak pada cetak biru yang terencana. Butuh tujuh tahun sejak 2004 bagi Jerman untuk meraup panen dari bibit yang ditanam. Kata kuncinya adalah pembinaan pemain muda dan kesempatan bermain terbuka pada level kompetisi tertinggi. Jadi, keberhasilan bukan lahir tiba-tiba dengan cara instan seperti naturalisasi atau mengirim anak-anak muda latihan lama di luar negeri.
Kunci berikutnya adalah kemitraan dan perencanaan bersama antara semua stakeholder sepak bola, baik tim nasional, federasi sepak bola, administator liga, hingga klub peserta liga. Semua pihak mengikat diri dari cetak biru bermuara prestasi. Ingat, muaranya prestasi, bukan bermuara kepentingan. Kalau muara kepentingan sudah merasuki, entah bisnis atau politik, biasanya sepak bola bukan jadi permainan di lapangan hijau, tapi lebih ramai di luar lapangan. Saking ramainya gontok-gontokan di luar lapangan, bakal menular ke pemain di dalam lapangan.
Klub juga harus berbenah. Pengelola klub tak bisa bangga cuma karena penonton banyak. Utamakan infrastruktur dan pembibitan pemain. Jangan pernah menjadikan klub kendaraan demi kepentingan politik lokal.
Selanjutnya, kebijakan tim nasional dan liga harus seiring sejalan. Uji coba harus terencana, tidak bisa tiba-tiba tim nasional bermain lawan tiga klub Eropa. Pelatih tim nasional harus punya peta jalan, sesungguhnya mau dibawa ke mana tim yang diasuhnya.
Fundamental dari modal kebangkitan itu hanya satu: mau belajar dari keterpurukan.