Bermain api menghidupkan kembali GBHN
Jika hendak mengubah konstitusi, PDIP harus memastikan rakyat tahu dan paham.
PDIP ingin Garis-garis Besar Haluan Negara atau GBHN dihidupkan kembali. Ini putusan Rakernas PDIP yang berakhir pada Selasa (12/1) lalu. Sebelumnya, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyerukan soal itu dalam pidato pembukaan. Presiden Jokowi yang diberi kesempatan tampil juga menyampaikan pernyataan serupa.
Tentu saja kehendak PDIP itu harus direspons hati-hati. Apalagi kehendak itu sudah menjadi agenda partai: amandemen terbatas. Maksudnya, PDIP akan mendorong MPR untuk melakukan amandemen terbatas terhadap UUD 1945, dengan memasukkan kembali pasal tentang wewenang MPR menetapkan GBHN.
Pasal 3 naskah asli UUD 1945 menyatakan, “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara.”
Pasal tersebut telah diubah MPR pada 9 November 2001 sehingga bunyinya menjadi: “(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. (2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presideen. (3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatan menurut Undang-Undang Dasar.”
Perubahan Ketiga UUD 1945 itulah yang menghapus wewenang MPR untuk menetapkan GBHN. Akibatnya, menurut pandangan PDIP, negara berjalan tanpa arah.
Pembangunan nasional untuk mencapai tujuan negara (melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial) bergerak tanpa arah. Di sana sini tidak hanya muncul ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial, tetapi juga kerawanan politik dan kemandulan budaya.
Singkatnya, semua masalah besar yang dihadapi bangsa dan negara ini, menurut PDIP disebabkan oleh tiadanya GBHN dalam memandu pembangunan nasional yang menjadi tanggung jawab pemerintahan secara umum. Yang dimaksud pemerintahan secara umum tentu saja meliputi eksekutif, legislatif, dan yudikatif, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Makanya, menghidupkan GBHN adalah keharusan.
Bagi PDIP, mengayunkan langkah amandemen, bukanlah hal yang mustahil. Pertama, PDIP kini memimpin Koalisi Indonesia Hebat (KIH), yang menguasai mayoritas DPR, setelah PAN bergabung. Kedua, DPD juga sudah lama menghendaki agar konstitusi diubah kembali. Jika unsur MPR (DPR dan DPD) sudah sama-sama menghendaki perubahan konstitusi, maka tidak ada satu pun lembaga yang bisa menghalangi.
Yang menjadi masalah adalah, apakah MPR mampu menjaga gerak amandemen terbatas pada perubahan GBHN? Di sinilah kesulitan itu menghadang.
DPD yang jauh hari setuju mengubah undang-undang dasar, sudah menetapkan agenda: memperkuat wewenang DPD. Lembaga itu punya agenda sendiri, yang berbeda dengan agenda PDIP. Tentu partai-partai politik yang berada di DPR juga bisa memasang target masing-masing. Secara politik, amandemen terbatas sulit dikendalikan.
Jika hal PDIP dan koalisinya memaksakan amandemen, sudah pasti energi bangsa akan terbuang percuma. Perdebatan, pertarungan, pengkhianatan, dan kongkalikong akan mewarnai amandemen konstitusi. Hasilnya pun sudah pasti: bukan sekadar GBHN hidup kembali, tetapi juga pasal-pasal lain yang hilang dan muncul akibat transaksi.
PDIP mesti menyadari, bahwa Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001) dan Perubahan Keempat (2002) merupakan pembelajaran politik maha penting: konstitusi tidak boleh disusun berdasarkan transaksi. Hasilnya memang mengecewakan. Tapi mentransaksikan pasal-pasal konstitusi cukuplah sekali saja dalam sejarah Republik ini.
Yang harus dilakukan oleh PDIP adalah bersabar dan melangkah setahap demi setahap. Jika memang PDIP, KIH, atau DPD, atau siapa saja yang bersungguh-sungguh hendak mengamandemen konstitusi, harus memastikan terlebih dahulu bahwa isu amandemen tersebut juga menjadi agenda rakyat. Dan bagi partai politik caranya gampang: jadikan amandemen sebagai materi kampanye pemilu nasional nanti.