Biang keributan verifikasi partai
Tak hanya protes partai politik, adu gengsi KPU-Bawaslu menambah riuh verifikasi partai politik peserta pemilu.
Pascajatuhnya rezim Orde Baru, kita sudah menggelar tiga kali pemilu legislatif. Seharusnya pada pemilu keempat, Pemilu 2014 nanti, kita tidak perlu lagi ribut soal verifikasi partai politik peserta pemilu. Tetapi lain harapan, lain kenyataan; di negara lain tak lazim, di sini jadi tradisi. Tentu tradisi buruk.
Apabila pemilu demokratis pertama pascaotoritarianisme terjadi keributan verifikasi partai politik peserta pemilu, itu wajar. Saat itu memang belum ada peraturan jelas tentang partai dan pemilu. Namun, memasuki pemilu kedua, ketiga, keempat dan seterusnya, semua jadi lancar, karena aturan main sudah pasti.
Di sini, memasuki pemilu keempat, keributan verifikasi partai politik peserta pemilu masih saja terjadi. Tingkat keributannya semakin menjadi-jadi, seperti saat ini. Tak hanya partai politik yang dinyatakan tidak lolos verifikasi administrasi yang protes kepada KPU, tetapi juga Bawaslu yang unjuk gigi melampaui fungsi.
KPU bisa saja salah melakukan verifikasi administrasi. Namun dari awal kita sudah menyaksikan partai politik tidak siap dengan proses ini. Tidak mudah memang, karena untuk menjadi peserta pemilu, partai harus memiliki pengurus dan kantor di 100% provinsi, 75% kabupaten/kota dan 50% kecamatan, plus memiliki 1.000 anggota atau 1/1.000 jumlah penduduk kabupaten/kota.
Bawaslu mestinya bertindak cermat dalam menghadapi komplain partai politik yang tidak lolos. Diburu hasrat unjuk gigi mengimbangi penyelenggara lain - KPU sudah sering disebut media, demikian juga DKPP yang memecat anggota KPU provinsi dan kabupaten/kota pelanggar kode etik - tanpa meminta klarifikasi KPU, Bawaslu menyimpulkan KPU melanggar ini itu, sehingga harus melakukan verifikasi ulang.
Padahal Pasal 268 dan 269, UU No. 8/2012 secara khusus mengatur, jika ada partai yang tidak puas atas hasil verifikasi partai politik peserta pemilu yang dilakukan KPU: pertama, Bawaslu akan memediasi kedua belah pihak untuk menyelesaikan masalah; kedua, bila tidak selesai, Bawaslu akan menggelar sidang sengketa pemilu dan memutuskan siapa yang salah siapa yang benar; ketiga, jika ada pihak yang tidak puas atas keputusan itu, bisa mengajukan sengketa di PTTUN dan MA.
Apa pun, keributan verifikasi partai politik yang melibatkan partai politik, KPU dan Bawaslu ini sesungguhnya mengulang tiga pemilu legislatif sebelumnya. Padahal ketika keributan proses ini terjadi pada Pemilu 1999, kita semua yakin, hal itu takkan terulang lagi, karena persyaratan partai politik peserta pemilu dan mekanisme verifikasinya semakin jelas.
Tetapi mengapai hal ini bisa berulang setiap kali pemilu? Sampai kapan berhenti? Mengapa partai politik (lama) yang jelas-jelas memiliki dukungan - terbukti memiliki kursi di parlemen - harus mengikuti verifikasi layaknya partai politik baru? Mengapa harus membuang banyak uang dan tenaga untuk sesuatu yang seberanrya tidak perlu?
Aturan main mengikuti pemilu mestinya berbeda antara partai lama dan partai baru. Partai lama cukup dilihat dari dukungan pemilih hasil pemilu terakhir. Jika partai itu memiliki kursi DPR, tentu bisa ikut pemilu DPR; jika memiliki kursi DPRD provinsi bisa mengikuti pemilu DPR provinsi; jika memiliki kursi DPRD kabupaten/kota, bisa mengikuti pemilu DPRD kabupaten/kota. Sedang partai politik baru dikenakan persyaratan administrasi: kelengkapan pengurus, kantor, anggota dll.
UU No. 8/2012 sebetulnya sudah mengatur itu. Namun aturannya diskriminatif. Pertama, partai yang memiliki kursi DPR ditetapkan sebagai peserta pemilu DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, padahal banyak partai yang memiliki kursi DPR tidak memiliki kursi di DPRD provinsi DPRD kabupaten/kota tertentu.
Kedua, partai yang memili kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota tetapi tidak memiliki kursi DPR, dianggap tidak memiliki dukungan sehingga harus mengikuti verifikasi layaknya partai politik baru. Padahal persyaratan administrasi Pemilu 2014 lebih berat daripada pemilu sebelumnya. Misalnya, jika sebelumnya hanya memiliki pengurus dan kantor di 2/3 provinsi dan 2/3 kabupaten/kota, kini harus memiliki pengurus dan kantor di 100% provinsi dan 75% kabupaten/kota dan 50% kecamatan.
Ketentuan diskriminatif itulah yang memaksa MK memutuskan: demi keadilan, semua partai mengikuti verifikasi persyaratan administrasi peserta pemilu. Jadilah kini kita mengulangi keributan verifikasi.
Dengan demikian, biang masalah verifikasi sebetulnya adalah pembuat undang-undang, yang tidak lain adalah partai politik yang memiliki kursi DPR, presiden dan kabinet. Sebab merekalah yang bikin undang-undang diskriminatif sehingga kita harus ribut-ribut kembali soal verifikasi partai politik peserta pemilu. Buang-buang uang, energi dan waktu.