BPPT: Hujan Buatan Sudah Banyak Tapi Kebakaran Sangat Parah
Anggaran hanya salah satu kendala dalam membuat hujan buatan. Masih ada masalah lain untuk kehadiran hujan buatan dalam mengentaskan kebakaran hutan.
Pemadaman dalam peristiwa kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan masih perlu perhatian khusus. Upaya dilakukan pemerintah dengan menghadirkan hujan buatan yang dikerjakan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dianggap sebagai salah satu jalan keluar menyelesaikan masalah tahunan ini.
Selama membuat hujan buatan, lembaga ini bukan tanpa kendala. Negara selama ini tidak memberikan fasilitas cukup sehingga membuat BPPT harus mencari dana. Mereka juga minim kewenangan, tetapi hanya memiliki teknologi.
-
Kenapa kebakaran hutan sering terjadi di musim kemarau, terutama di Sumatera dan Kalimantan? Kebakaran hutan menjadi fenomena yang tidak bisa dihindari ketika musim kemarau datang, terutama di pulau Sumatra dan Kalimantan. Bahkan sampai menimbulkan bencana kabut asap yang bisa sampai ke negara lain.
-
Bagaimana masyarakat setempat menjaga kelestarian hutan di Kutai Timur? “Kita di sini juga hidup beriringan dengan adat. Cuma memang hukum adat itu tidak dominan di sini karena bukan hukum positif. Tapi hukum adat tetap kita hargai suatu norma-norma yang ada di kehidupan masyarakat kita,” papar Wakil Bupati Kutai Timur Kasmidi Bulang.
-
Kapan kebakaran hutan terjadi? Sebelumnya AR diburu polisi karena diduga membakar hutan milik Perhutani pada 21 Oktober lalu.
-
Di mana kebakaran hutan tersebut terjadi? Ia diduga membakar area hutan milik Perhutani seluas 5 hektare, setengah dari total luas hutan tersebut, yaitu 10 hektare.
-
Kenapa pondok perambah hutan dibakar? Petugas Balai Taman Nasional Tesso Nillo menemukan pondok yang dibangun perambah kawasan dilindungi. Tanpa basa basi, pondok itu langsung dibakar.
-
Kapan Hutan Pinus Pengger buka? Hutan Pinus Pengger buka setiap hari mulai pukul 07.00 pagi hingga 17.00 sore.
"Uangnya juga tidak punya. Kami harus cari dana, minta ke BNPB. Itu jadi kendala," keluh Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) BPPT, Tri Handoko Seto kepada merdeka.com, Selasa kemarin.
Anggaran hanya salah satu kendala dalam membuat hujan buatan. Masih ada masalah lain untuk kehadiran hujan buatan dalam mengentaskan kebakaran hutan.
Upaya dilakukan memadamkan kebakaran hutan dengan membuat hujan buatan, diakui BBPT belum signifikan. Memang sudah mengurangi kepekatan asap, tetapi langkah ini belum bisa menyelesaikan. Berikut wawancara lengkap Tri Handoko dengan jurnalis merdeka.com Anisya Al Faqir:
Proses Penyemaian Hujan Buatan
Bagaimana proses hujan buatan untuk pemadaman api pada kebakaran hutan?
Prosesnya diawali dengan melakukan prediksi cuaca. Kemudian diukur parameter cuaca, kita monitor pertumbuhan awan, kecepatan angin, kelembapan dan banyak faktor. Kita monitor terus, baru kalau misalnya kondisinya bagus, ada awan yang tumbuh maka kita siapkan proses penyemaian.
Penyemaiannya dengan menggunakan pesawat terbang dengan bahan-bahan tertentu, kita semai kemudian kita bawa bahannya ke dalam awan sehingga awan itu tumbuh lebih aktif dan terjadi hujan.
Berapa lama proses penyemaian awan sampai turun hujan?
Prosesnya bisa berjam-jam. Jadi gini, kalau pagi hari asapnya banyak, maka kita menyemai dengan CaO (kalsium oksida). Tujuannya untuk mengurangi kepekatan asap di dalam awan sehingga awan tumbuh lebih baik karena asap itu mengganggu pertumbuhan awan. Nanti setelah itu pertumbuhan awan sudah lebih baik, baru kita semai lagi dengan NaCl (garam).
Nanti kalau awannya sudah bagus, bisa 10 menit jadi hujan, bisa juga satu jam, 2-4 jam. Bisa sampai 5 jam lebih bahkan sampai 10 jam. Tapi kalau sampai 10 jam itu jarang sekali. Tergantung kondisinya.
Bisa diceritakan sejauh apa luas hujan buatan Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca untuk memadamkan kebakaran hutan?
Sejak tanggal 18 September lalu kita sudah melaksanakannya di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau. Kemudian mulai kemarin di Jambi dan hari ini nambah lagi di Sumatera Selatan. Jadi ada 5 provinsi kita laksanakan TMC (Teknologi Modifikasi Cuaca).
TMC dilakukan di semua wilayah atau hanya wilayah tertentu dari 5 provinsi tersebut?
Iya, karena sekarang lagi puncaknya musim kemarau dan lagi banyak-banyaknya asap, banyak kebakaran hutan. Jadi di mana pun ada bibit awan yang tumbuh di lima wilayah itu akan kita semai karena hujan di mana pun akan bermanfaat.
Kalau pas di atas kebakaran hutan itu akan membantu mematikan api. Kalau pas bukan di area kebakaran hutan, paling tidak bisa membasahi lahan gambut sehingga mencegah kebakaran-kebakaran lainnya.
Mengapa menyemai garam dirasa masih paling efektif untuk menuntaskan kebakaran hutan?
Menyemai garam itu teknologi yang paling matang. Tapi kalau musim kebakaran hutan banyak asap, awan disemai dengan garam saja tidak cukup. Jadi harus disemai dengan kapur tohor (CaO=kalsium oksida) tadi sebelum disemai dengan garam.
Kendala Hujan Buatan
Dalam hujan buatan, apa saja sebenarnya kendala yang sering dialami?
Kendala yang dialami dalam hujan buatan itu macam-macam. Ada tiga jenis kendala yang kami hadapi.
Pertama secara struktural berupa dana, armada dan perlengkapan tidak ada sehingga membuat kami tidak bisa mandiri. Kalau bicara lebih luas, hujan buatan di Indonesia itu yang jadi kendala BPPT hanya punya teknologinya, armadanya tidak cukup. Sehingga kalau mau melaksanakan TMC harus pinjam (minta bantuan personel) TNI.
Uangnya juga tidak punya. Kami harus cari dana, minta ke BNPB. Itu jadi kendala.
Jadi gerak kita kurang cepat karena BPPT tidak bisa secara mandiri merencanakan ini. Makanya tidak bisa dilakukan secara profesional karena kalau pas kita mau melakukan perencanaan tapi TNI-nya sedang dipakai untuk kegiatan sendiri.
Kita kan enggak bisa juga maksa, harus nunggu. Uangnya juga (dari) BNPB. Kita harus meyakinkan BNPB kalau yang kita lakukan ini bisa bermanfaat. Jadi itu secara struktural itu jadi masalah yang terjadi dalam melaksanakan TMC.
Kedua, secara fungsional. TMC hanya dilaksanakan oleh BPPT, tidak ada lembaga lain yang membantu melakukan riset, penelitian, pengembangan.
Kalau di luar negeri itu, perguruan tinggi dan institusi lain banyak melakukan penelitian tentang TMC. Sementara di Indonesia tidak ada. Kondisi ini mengakibatkan kita perkembangannya tidak sepesat yang di luar negeri. Kita kalah cepat karena mereka perguruan tingginya juga bidang TMC-nya banyak sekali.
Ketiga, secara operasional. TMC dilakukan harus diwaktu yang tepat. Begitu waktunya tidak tepat, bibit awan yang sudah banyak tersedia, dan jika dilakukan di waktu yang kurang tepat maka hasilnya akan jadi sedikit. Itu yang harus diperhatikan. Saat masa kebakaran hutan, ada tambahan lagi asapnya mengganggu pertumbuhan awan. Asap mengganggu pertumbuhan awan.
Berapa biaya yang dibutuhkan BPPT untuk sekali melaksanakan TMC?
Kalau untuk sekali menyemai dengan pesawat jenis kassa paling kebutuhannya sekitar Rp 50 juta. Ini untuk bahan bakar, bahan semai sekitar Rp 50 jutaan. Untuk luasan kira-kira tiga sampai empat kabupaten. Ini untuk proses awal sampai hujan jatuh, hanya satu kali penyemaian.
Perincian dari Rp 50 juta itu untuk biaya bahan bakar pesawat, bahan semainya, kemudian biaya personelnya. Kan kalau menginap perlu hotel, uang saku dan tiket berangkat. Hanya itu biayanya. Kita ini kan pemerintah tidak ada harga-harga belinya.
Untuk di Riau, tim Anda merasa sulit membuat awan konventif karena tebalnya asap. Bisa dijelaskan tentang masalah ini?
Iya karena tebalnya asap, bibit awannya sedikit. Kalau kena asap (awan) jadi sulit berkembang. Tapi sebentar lagi juga membaik sih. Hujan (buatan) sudah cukup banyak sebenarnya, tetapi karena estalasi kebakaran yang sangat parah. Sehingga air hujan yang turun itu jadi tidak mampu menghentikan produksi asapnya.
Di Pekanbaru dan Riau, itu jumlah curah hujan yang dihasilkan itu sudah lebih dari 20 juta meter kubik atau lebih dari 20 miliar liter yang dihasilkan dari hujan buatan di sana. Tapi karena kebakarannya sangat parah itu belum mampu meredakan asap secara signifikan. Tetapi nanti kan ke depan, makin membaik dari segi awannya. Saya kira besok atau lusa akan lebih bagus lagi.
Dari laporan di lapangan, memang seberapa parah asap akibat kebakaran hutan? Itu di daerah mana saja?
Sekarang itu yang parah Palangkaraya, kemudian Riau juga parah. Kalau keparahannya ini sudah luar biasa. Kalau sudah parah, jarak pandang kurang dari 1000 meter. Artinya kalau kita melihat ke depan hanya bisa melihat 500, 600, 800 meter sudah enggak kelihatan sama sekali. Orang berkendara juga bahaya, jarak pandangnya sangat rendah. (Asap) sangat pekat.
Mengapa hujan buatan tidak diterapkan sejak awal ketika masyarakat mengeluhkan adanya kebakaran hutan?
Kita maunya justru sebelum adanya kebakaran hutan itu. Tetapi lagi-lagi alasannya BPPT tidak punya independensi, tidak punya kewenangan. Kalau mau melaksanakan pakai duitnya siapa? Pakai pesawatnya siapa? BPPT cuma punya dua pesawat tapi itu juga tidak cukup.
Jadi ke depan kita ingin BPPT punya kewenangan merencanakan dan melaksanakan TMC secara mandiri.
Selain hujan buatan, apakah ada inovasi lain dalam modifikasi cuaca yang dimiliki Indonesia?
Kalau modifikasi cuaca itu kan dulunya hanya menyemai garam. Nah sekarang ada lagi pakai kapur tohor (CaO=kalsium oksida) itu tadi sebelum awan tumbuh dengan bagus. Itu hasil riset.
Kemudian sebenarnya ada metode untuk mengurangi kepekatan asap dengan menggunakan es kering tapi ini belum diberlakukan karena masih butuh kajian lebih lanjut.
Modifikasi awannya juga harus lebih bagus lagi. Sudah sempat kita uji coba supaya tidak ada hujan tapi asapnya berkurang, kita sedang melakukan inovasi itu.
(mdk/ang)