Brexit dan Pudarnya Mimpi Kesatuan Eropa
Besok rakyat Inggris akan memilih akankah mereka tetap bergabung dengan Uni Eropa. Jika keluar, mungkin diikuti lainnya.
Besok, tanggal 23 Juni 2016, rakyat Inggris akan membuat sejarah. Tak hanya bagi negara mereka sendiri melainkan juga buat Eropa dan dunia. Mereka akan memberikan suara dalam sebuah referendum untuk memilih antara tetap berada dalam Uni Eropa atau meninggalkannya.
Jajak pendapat mutakhir di Inggris beberapa waktu lalu menunjukkan suara kedua pendukung pilihan itu berfluktuasi dan saling mengejar. Namun dalam perkembangan terakhir seperti yang dilakukan oleh koran Inggris Financial Times hari Senin lalu (20/6) menunjukkan 45 persen responden ingin keluar dan 43 persennya ingin tetap berada dalam Uni Eropa. Demikian juga dengan koran The Telegraph, bahkan 49 persen ingin keluar sementara yang ingin tetap sebesar 48 persen. Suara mereka yang ingin keluar (brexit) makin membesar.
Jika referendum besok menghasilkan keputusan keluarnya Inggris dari Uni Eropa maka pudarlah mimpi kesatuan Eropa yang dicita-citakan sejak lama. Prof. Mathias Matthijs dari
Universitas John Hopkins (Foreign Affairs, 21/6) menyebut bahwa hasil referendum seperti itu (brexit) berarti membunuh ilusi bahwa proses integrasi Eropa sudah tak bisa diubah oleh apapun.
Lebih jauh katanya, brexit akan memperkuat sentimen nasionalisme di Eropa. Di sisi lain kaum federalis Euro juga akan menjerit tentang makin perlunya penguatan integrasi Eropa melawan kaum nasionalis yang ingin integrasi itu berantakan. Skenario suram lanjutannya, Perancis sebagai pionir penyatuan Eropa bakal menghukum Inggris dengan berbagai cara, Jerman akan menyerahkan diri pada kekuatan pasar, dan beberapa negara lain seperti Polandia dan Ceko akan minta negosiasi ulang keanggotannya, diikuti Denmark dan Swedia yang sudah mengindikasikan akan menempuh jalur semacam brexit juga. Maka mimpi kesatuan Eropa pun runtuh.
Mengapa sih Inggris menginginkan brexit? Sejak lama sebenarnya Inggris merasa tidak nyaman dalam kesatuan Eropa. Aksesi Inggris ke pasar bersama Eropa di tahun 1960-an selalu di veto oleh Perancis yang menganggap Inggris sebagai kuda troya Amerika Serikat, yang sebenarnya lebih diwarnai kekhawatiran Presiden Perancis Charles de Gaulle akan makin berkurangnya pengaruh Perancis. De Gaulle ingin membangun kesatuan Eropa berdasar poros Perancis-Jerman dengan dominasi Paris.
Dalam perjalanannya, keanggotaan Inggris dalam Uni Eropa memang dinilai lebih banyak mengeksploitasi Uni Eropa dengan meminta banyak pengecualian seperti tidak menggunakan mata uang Euro dan pemotongan pembayaran kewajiban keanggotaan serta cenderung pada federalisme.
Atas hal ini, Prof. Camille Pecastaing juga dari Universitas John Hopkins, dalam artikelnya "Why Brexit Would Benefit Europe" (Foreign Affairs, 21/6), menyatakan bahwa brexit akan menjadi pil pahit untuk mengobati penyakit demi terwujudnya mimpi kesatuan politik Uni Eropa yang kokoh dan menjadi hal terbaik bagi Eropa setelah runtuhnya tembok Berlin.
Bagi Inggris sendiri, jika brexit benar-benar terjadi secara ekonomi para pakar memperkirakan bahwa akan ada masa ketidakpastian paling tidak untuk dua tahun selagi Inggris menegosiasikan perjanjian barunya dengan Uni Eropa, dan ketidakpastian ini akan berdampak pada ekonominya.
Salah satu prediksi yang dibuat oleh lembaga kajian Open Europe meramalkan dalam skenario terburuknya jika Inggris gagal mencapai kesepakatan dengan Uni Eropa maka Produk Domestik Brutonya (PDB) akan turun sebesar 2,2 persen namun jika berhasil maka akan meningkatkan PDBnya sebesar 1,6 persen.
Open Europe menilai Inggris akan tetap makmur di luar Uni Eropa jika mapu memanfaatkan kebebasan yang diperolehnya untuk mengambil langkah aktif menuju liberalisasi perdagangan dan deregulasi. Lembaga itu juga menyarankan agar Inggris membuka ekonomi untuk lebih aktif berdagang dengan Amerika Serikat, India, China dan Indonesia.
Jika brexit menjadi pilihan rakyat Inggris, skenario runtuhnya kesatuan Eropa bisa terjadi. Negara-negara lain termasuk Indonesia tentu akan mengkaji dampak dan manfaatnyaterutama dalam status dan kebebasan Inggris dari regulasi yang diterapkan Uni Eropa kepadanya.