Cara cegah meluasnya perang sektarian di Irak
Perang saudara di Irak bukan perang biasa.
Pemerintahan Irak di bawah Perdana Menteri Nuri al-Maliki saat ini tengah berada dalam ketakutan dan terdesak akibat makin kuatnya posisi pasukan ISIS (Islamic State of Iraq and al-Sham) yang dikabarkan berhasil menguasai kota Mosul dan Tikrit di bagian utara Irak. Irak telah secara resmi meminta bantuan AS untuk membantu melawan ISIS dan Pemerintah AS telah membahas dengan pihak Kongres untuk membahas bantuan yang bisa diberikan.
Perang saudara di Irak bukan perang biasa. Ia membawa konsenkuensi dan potensi perang sektarian antara golongan Syiah dan Sunni di Irak yang kalau dunia (khususnya dunia Islam) membiarkan maka akan terjadi eskalasi yang sangat tidak diinginkan mengingat ramifikasinya secara geopolitik dan primordial.
Gejalanya sudah ada. Ulama Besar Syiah Ayatollah Ali-al Sistani di Iran diberitakan telah menghimbau umat Syiah untuk angkat senjata melawan pemberontak ISIS yang Sunni di Irak. Tak cukup berhenti di fatwa, Iran menurut harian Inggris, The Guardian, (14/6) diberitakan telah mengirim bantuan pasukan ke Irak sebanyak 2000 pasukan. Lebih jauh, Iran dan AS bahkan dikabarkan siap bekerja sama dalam menghadapi ISIS.
Himbauan ini mengundang kecaman dari ulama Sunni seperti Syekh Yusuf Al Qaradawi dari International federation of Muslim Scholars yang berbasis di Doha dengan menyatakan bahwa fatwa sektarian Al Sistani bisa mendorong terjadinya perang saudara yang akan mencabik-cabik ikatan sosial dan kesukuan di Irak. Mantan PM Irak, Ayad Allawi sendiri menyatakan bahwa wilayah sekitar Baghdad telah jatuh dan Irak bergerak menuju skenario "partition" (pemisahan berdasar agama) seperti India dengan Pakistan dulu kala.
Atas pecahnya bentrok sektarian di Irak ini media di Barat menuding invasi Barat ke Irak tahun 2003 yang dipelopori Presiden AS George W. Bush dan PM Inggris Tony Blair sebagai pemicunya dan menuduh keduanya cuci tangan atas bencana yang terjadi saat ini. Tak kurang dari mantan Dubes Inggris untuk AS tahun 1997-2003, Sir Christopher Meyer sendiri menyatakan bahwa Inggris dan AS "memanen apa yang ditanam pada tahun 2003 (invasi Barat ke Irak)" di mana instabilitas Irak paska invasi sudah diramalkan dan diingatkan oleh banyak kalangan.
Untuk saat ini Presiden AS Barack Obama menghadapi dilema besar dalam menjawab permintaan Irak. Presiden Obama memang harus nampak pro aktif namun hati-hati. Dia tentu tak ingin mengambil tindakan terburu-buru yang bisa menimbulkan korban uang dan jiwa tentara AS dan melemahkan kepentingan AS di Timur Tengah.
Beberapa cara bisa diambil guna mencegah meluasnya perang sektarian di Irak dan pada akhirnya menghentikannya secara tuntas dan berkesinambungan. Pertama, memang tak dapat disangkal bahwa akar masalah di Irak yaitu kekecewaan dan kemarahan golongan Sunni terhadap upaya marjinalisasi yang dilakukan oleh pemerintahan Al-Maliki terhadap mereka dalam berbagai segi. Dalam perkembangannya hal ini dimanfaatkan oleh ISIS untuk melegitimasi agendanya sehingga mengarah pada konflik Syiah-Sunni.
Isu marjinalisasi memang ada dan bila isu itu tidak diperhatikan maka politik sektarian di Irak akan terus marak dan sebuah negara Irak yang inklusif tidak akan muncul dan akan terus memicu radikalisasi kalangan muda di Irak yang bisa berdampak negatif pada stabilitas Timur Tengah. Untuk itu intervensi di Irak hendaknya bukanlah intervensi militer melainkan intervensi politis guna mewujudkan inklusivitas Irak.
Kedua, terkait dengan itu dunia (Islam/Sunni) hendaknya tidak memandang ISIS sebagai representasi mereka sehingga secara emosi primordial bisa terseret dalam kisaran konflik di Irak. Para ulama Sunni di Basra sendiri secara terbuka mengutuk ISIS dan menyatakan ISIS tidak mewakili mereka.
Ketiga, negara-negara Islam harus serius mempertimbangkan kohesi dan agenda Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam mewujudkan perdamaian di negara-negara anggotanya sendiri. Keseriusan ini patut dipertanyakan karena dalam sidang tingkat Menlu OKI tanggal 18-19 Juni lalu di Jeddah, eskalasi konflik di Irak ini sama sekali tidak disentuh. OKI seharusnya juga bisa menjadi kaukus yang berwibawa dalam berbagai fora dunia khususnya PBB guna mewujudkan perdamaian di dunia khususnya di dunia Islam.