Eksploitasi anak di balik wajah 'boneka goyang kepala'
Menurut Seto Mulyadi, eksploitasi anak dengan motif ekonomi memang masih terjadi di ibu kota.
Siang itu panas matahari terasa menyengat di kepala. Musik disco yang digubah dari alunan musik dangdut diputar keras-keras tanpa lirik, lalu ditingkahi sebuah boneka dengan karakter kartun anak. Kepala si boneka bergoyang-goyang dan nampak menggemaskan mengikuti irama dangdut tersebut. Boneka itu sebenarnya seperti baju lucu--mirip badut--yang di dalamnya ada bocah laki-laki.
Aksi joget boneka anak di Jalan Tebet Barat itu sebenarnya bertujuan untuk mengamen. Anak-anak itu mengharap rezeki pada setiap orang yang dijumpai. Terkadang aksi mereka lakukan di pasar-pasar, sentra pedagang kaki lima di pinggir jalan, sampai di perempatan lampu merah. Hiburan ala pengamen ini disebut hiburan 'boneka goyang kepala'.
Bila dulu ada badut dengan karakter Walt Disney, sekarang ada 'boneka goyang kepala' dengan karakter film kartun Spongebob, Upin dan Ipin, serta Marsya. Bila pemain badut rata-rata adalah orang dewasa, maka pemain boneka goyang kepala itu adalah anak-anak kecil usia sekolah, mulai dari usia lima tahun sampai belasan tahun. Ironisnya, aksi boneka goyang kepala kini seperti menjamur di Jakarta.
Seperti Udin, bukan nama sebenarnya, pemain boneka goyang kepala yang ditemui merdeka.com di Jalan Tebet siang itu. Bocah enam tahun tersebut mengaku memanfaatkan libur sekolah demi mengais rizki di jalanan. Dia ditemani kakaknya, Mamat, setiap hari berjalan kaki menyusuri jalanan ibu kota untuk mencari tambahan uang. Kakak lelakinya siaga mengoperasikan alat musik, sementara udin di dalam boneka itu bergoyang genit dan menggemaskan.
"Dari rumah di Manggarai bisa sampai Salemba, terserah ikut abang aja," katanya kepada merdeka.com saat di lokasi, pekan lalu, Jakarta. Udin mengaku mendapat bagian lebih kecil dibanding abangnya yang mengoperasikan alat musik itu. Alasan Abangnya mendapat bagian lebih besar untuk menyewa perlengkapan.
Dengan polos Udin mengatakan, uang hasil mengamen menggunakan boneka goyang kepala lebih besar ketimbang hanya 'ngecrek' bermodalkan tutup botol di angkutan umum. "Dari pada dulu mah mending modal bikin boneka sama alat musik bisa dapat banyak," ujar bocah berkepala plontos itu.
Sementara untuk perlengkapan alat musik dan boneka itu, dia melanjutkan, sudah ada pihak yang menyewakan saban harinya. "Udah ada bosnya itu mah," ujarnya polos.
Uang hasil mengamen itu dibuat jajan dan sisanya menambah kebutuhan hidup keluarga. "Lumayan jajan sama sisanya kasih emak buat beli beras," sahut Mamat, sembari memutar kaset saat alunan musik hampir habis. Dia sendiri sudah putus sekolah ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Di lain tempat, di sekitaran wilayah Bekasi, pemandangan serupa mudah ditemui. Pengamen anak dengan 'boneka goyang kepala' karakter kartun Upin dan Ipin beraksi menghibur pengendara jalan. Sebuah lubang kecil terdapat di kepala boneka berfungsi buat mengambil uang secara langsung dari pejalan. Lebih menggemaskan lagi, lidahnya bisa dijulurkan memanjang layaknya orang meledek. Aksi boneka itu memang jenaka dan berhasil memancing perhatian pengendara.
Aksi anak-anak dan boneka goyang kepala di jalanan itu memang tidak lepas dari masalah ekonomi. Jalanan dijadikan lahan untuk memulung rizki dengan cara menggoyang belas kasihan orang. "Yah, dibanding dengan anak-anak pengemis, lucu juga lihat boneka goyang-goyang, mending kasih uang buat anak ngamen dengan boneka," ujar pengendara sepeda motor, Agus.
Namun demikian, Udin dan pengamen boneka goyang kepala lainnya itu merasa nyaman saja. Mereka bekerja menjadi pengamen karena memang kondisi ekonomi keluarga tengah menghimpit. Meskipun eksploitasi anak seperti itu bisa dikategorikan dalam ranah Kekerasan terhadap anak. "Kadang maunya kalau ngamen dari pagi, sore udah bisa sampai rumah. Biar masih bisa main bola sama anak-anak di rumah sampai maghrib," ujarnya datar.
Menurut tokoh pemerhati anak, Seto Mulyadi, eksploitasi anak dengan motif ekonomi memang masih terjadi di ibu kota. Dalam hal ini semua pihak harus bertanggung jawab dalam perkembangan anak-anak jalanan. Apalagi, dengan simbol anak belakangan marak muncul. Salah satunya jadi penyebab merangsangnya anak-anak memilih terjun ke dunia jalanan.
"Yah semua pihak, pemerintah, masyarakat dan khususnya orang tua dalam menyikapi perkembangan anak-anak di jalanan," kata pencipta karakter si komo itu.