Elan Jokowi-Ahok versus mental korupsi-nyogok
Semangat Jokowi-Ahok untuk menyejahterakan rakyatnya, berhadapan dengan kenyataan pahit: warga tidak terbiasa jujur.
Program Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang digelindingkan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Jokowi-Ahok, sedari awal memang mendapat kritik tajam dari lawan-lawan politiknya. Jajaran birokrasi Pemda pun tidak semangat untuk menjalankan program tersebut.
Kritik dan keengganan itu bisa dipahami. Lawan politik mana yang mau membiarkan begitu saja Jokowi-Ahok melenggang dengan programnya. Wong 'ahlinya Jakarta' saja gagal membikin program serupa, apalagi ini 'muka baru' dari dusun. Para birokrat pun harus menahan diri, setidaknya demi menjaga perasaan penguasa lama yang mengangkatnya menjadi pejabat pemda.
Namun soal itu tidak perlu menyedot perhatian. Kritik lawan politik tetap perlu didengar, karena program ini menyangkut dana besar. Apalagi data yang digunakan untuk menghitung jumlah penduduk miskin Jakarta yang berhak menerima KJS tidak begitu jelas, sehingga akurasinya diragukan.
-
Pajak apa yang diterapkan di Jakarta pada masa pasca kemerdekaan? Di dekade 1950-an misalnya. Setiap warga di Jakarta akan dibebankan penarikan biaya rutin bagi pemilik sepeda sampai hewan peliharaan.
-
Kapan Indonesia merdeka? Hari ini, tepat 78 tahun yang lalu, Indonesia menyatakan diri sebagai sebuah negara merdeka.
-
Kapan kemacetan di Jakarta terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
-
Apa yang diresmikan oleh Jokowi di Jakarta? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan kantor tetap Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) Asia di Menara Mandiri 2, Jakarta, Jumat (10/11).
-
Di mana kemacetan parah di Jakarta sering terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
-
Bagaimana prajurit Mataram akhirnya berjualan di Jakarta? Meskipun kalah perang, para prajurit yang kalah justru mulai berjualan di Jakarta dengan dua menu yaitu telur asin dan orek tempe.
Data tidak akurat akan minimbulkan masalah besar apabila digunakan untuk menghitung APBD yang dikumpulkan dari pajak rakyat. Jika data penduduk miskin lebih kecil dari kenyataan, akan banyak penduduk miskin tidak menerima program kesehatan yang menjadi haknya; sebaliknya, jika data penduduk miskin lebih besar dari senyatanya, akan banyak uang terbuang sia-sia.
Zaman Foke berkuasa, berdasarkan data BPS, penduduk DKI Jakarta yang berhak menerima program jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) hanya 1,2 juta. Setelah Jokowi berkuasa jumlahnya membengkak menjadi 4,7 juta. Jumlah ini hampir separuh jumlah penduduk DKI Jakarta, yang pada 2011 mencapai 10,2 juta. Benarkah penduduk miskin yang berhak menerima program kesehatan sebesar itu?
Pertanyaan itu bisa mengundang perdebatan panjang, mulai dari memastikan kriteria penduduk miskin bagi warga Jakarta, sampai dengan metode mengumpulkan datanya. Pemda memang tidak bisa sepenuhnya berpegang pada data BPS, sebab data BPS tidak menunjuk sampai pada nama dan alamat.
Oleh karena itu, Pemprov DKI menyebarkan formulir pengajuan KJS ke seluruh warga DKI Jakarta melalui kelurahan, RW dan RT. Jadi, penduduk diminta memastikan dirinya sendiri: apakah pantas menerima KJS atau tidak.
Di sinilah masalahnya, sebab untuk urusan fasilitas, apalagi fasilitas gratis, sebagian besar dari masyarakat kita tidak terbiasa bersikap jujur. Sudah biasa terjadi, orang berpunya mengaku miskin, sehingga menjarah beasiswa jatah orang miskin. Perhatikan juga begitu banyak mobil yang minum premium, yang mestinya jatah orang miskin.
Apabila diasumsikan metode pengumpulan data orang miskin yang berhak mendapatkan KJS tersebut tidak tepat, dan data BPS lebih bisa dipecaya, maka ada potensi membuang dana premi sebesar Rp 23 ribu kali 3,5 juta penduduk, sama dengan Rp 80,5 miliar per bulan, atau hampir Rp 1 triliun per tahun. Hitung saja jika premi dinaikkan menjadi Rp 50 ribu per bulan.
Jokowi-Ahok memang merencanakan menaikkan premi KJS menjadi Rp 50 ribu per bulan. Kita tidak mengetahui hitung-hitungannya. Namun mundurnya 16 rumah sakit swasta dari program KJS seakan menunjukkan bahwa premi Rp 23 ribu memang tidak cukup, dan rumah sakit akan rugi jika mengikuti program KJS ini.
Tentu kita tidak harus mempercayai alasan kerugian 16 rumah sakit tersebut. Premi Rp 23 ribu itu ditetapkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sehingga Jokowi-Ahok tinggal mengikutinya.
Tentu badan resmi pemerintah itu tidak semberangan mematok harga. Lagi pula, dari seratusan rumah sakit pengikut program KJS, mengapa hanya 16 rumah sakit yang mundur?
Jelaslah, semangat Jokowi-Ahok untuk menyejahterakan rakyatnya, berhadapan dengan kenyataan pahit: sebagian besar warga tidak terbiasa jujur, termasuk para pengelola rumah sakit yang mengejar untung semata. Semoga Jokowi-Ahok tetap tidak bisa disogok sehingga siapa pun yang tidak jujur akan memetik buah sendiri.