Garang aturan, loyo penertiban
Anggota Komisi D Bidang Pembangunan DPRD Provinsi DKI Jakarta, M Sanusi, menuding ada pungutan liar di trotoar.
Hak-hak para pejalan kaki di trotoar Ibu Kota Jakarta sudah lama terenggut. Keamanan dan kenyamanan mereka berjalan terusik parkiran ilegal, pangkalan ojek, hingga lapak penjual kaki lima. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta sudah lama mempermasalahkan karut marut tata kelola trotoar. Pemerintah sebagai pengawas trotoar dianggap melempem ketika berhadapan dengan pengelola parkir ilegal, ojek, atau pengasong.
“Sebenarnya itu tergantung pada ketegasan gubernur. Kalau dia tegas, berpihak pada pejalan kaki, penertiban dari dulu bisa dilakukan. Panggil saja wali kota dan camat, lalu pecat kalau seminggu tidak bisa menertibkan trotoar,” kata anggota Komisi D Bidang Pembangunan DPRD Provinsi DKI Jakarta, M Sanusi, kepada merdeka.com Senin pekan lalu.
Pemerintah DKI sejak lama sudah memiliki Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, yang melarang penggunaan sarana umum pejalan kaki sebagai tempat parkir atau berjualan. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-lintas Jalan juga mengatur soal trotoar. Namun, pemerintah terkesan hanya garang dalam peraturan. Kenyataanya, penertiban belum dilakukan secara tegas.
Longok saja trotoar di Jalan Prof Dr Satrio, sekitar Mall Ambassador, Hotel Indonesia, dan beberapa trotoar di ruas Jalan Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Lahan yang mestinya digunakan pejalan kaki dipenuhi parkiran ilegal. Sanusi menuding ada pungutan liar di sana yang melibatkan petugas keamanan dan ketertiban. Misalnya, di kawasan Kebon Kacang. Secara blak-blakan Sanusi menyebut pungutan liar itu mencapai Rp 30 juta per hari. ”Saya yakin melibatkan orang kecamatan,” ujarnya.
Tapi ditanya soal anggaran pengawasan dan pengelolaan trotoar, Sanusi mengaku tidak tahu karena bukan kewenanganya. Menurut dia, dana itu ada pada Suku Dinas Pekerjaan Umum (PU). Namun ketika merdeka.com menyambangi kantor Dinas PU Provinsi, Roy, Staf Hubungan Masyarakat Dinas, justru meminta merdeka bertanya kepada Dinas Tata Ruang atau Dinas Pertamanan dan Pemakaman. Alasannya, pesoalan trotoar, mulai dari pembangunan hingga pemeliharaan bukan kewenangan dina
Lalu bagaimana keberadaan pedagang kaki lima (PKL) yang sudah lama ada dan mengklaim mendapat izin? Menurut dia, segala persoalan bisa diselesaikan dengan berdialog. Misalnya, merelokasi ke tempat lain atau mempertemukan pengelola perkantoran atau gedung dengan PKL yang dijembatani oleh pemerintah. Contohnya, PKL tetap bisa berjualan dengan syarat khusus.”Itu yang PKL di sekitar gedung, bukan jalan umum,” ujarnya.
Tapi kalau di sepanjang jalan utama, misalnya jalan M.H. Thamrin dan Jnederal Sudirman, sudah menjadi kewajiban pemerintah menertibkan. Jika tidak, Jakarta sebagai ibu kota tidak lagi bisa disebut sebagai kota yang menghargai hak publik karena telah merenggut hak pejalan kaki. Idealnya, ketika pemerintah Provinsi DKI menargetkan perbaikan sarana transportasi, program itu harus sejalan dengan perbaikan trotoar.
"Meski transportasi diperbaiki, kalau orang berjalan di trotoar saja tidak aman, trotoar becek, tidak mungkin mereka bisa menggunakan," Sanusi menegaskan.