Harapan di kampung halaman
Banyak penduduk Timor Leste dari pengungsian kembali kenegaranya setelah Merdeka.
Sudah empat bulan ini Fatimah Ramos berada di Timor Leste. Sebelumnya dia mengungsi dan menjadi warga negara Indonesia sejak konflik ketika jajak pendapat itu dimenangkan pro kemerdekaan. Fatimah berserta anggota keluarganya bertolak ke Jakarta. Kini setelah 16 tahun meninggalkan kampung halamannya di Timor Leste, fatimah kembali ke Bumi Lorosae.
"Saya 16 tahun di Jakarta dan tinggal di Ciputat," ujar Fatimah membuka berbincang dengan merdeka.com, Jumat pekan lalu di Kampung Alor, Dili, Timor Leste. "Bagaimana pun enaknya tinggal di kampung halaman sendiri. Apalagi sekarang sudah situasinya sudah tidak seperti dulu," kata Fatimah.
16 tahun menetap di Jakarta setalah konflik pasca jajak pendapat, membuat Fatimah begitu fasih berbahasa Indonesia. Namun jiwa-nya tak bisa dipaksakan untuk seutuhnya menjadi warga negara Indonesia. Tekad untuk pulang ke kampung halamannya dan merajut hidup baru setelah belasan tahun meninggalkan Timor Leste, Fatimah bersama anggota keluarganya pun memilih kembali.
Memang sejak jajak pendapat tahun 1999, Bumi Lorosae semakin tegang. Kelompok Pro Kemerdekaan dan Pro Integrasi bertikai. Situasi memanas dengan sejumlah aksi pembakaran di segala penjuru Kota Dili saat itu. Termasuk juga orang-orang dianggap pro integrasi, buat pulang ke kampung halamannya pun mereka takut. Isu liar pun berseliweran termasuk dendam bagi warga yang memilih mengungsi. Bank Dunia pun memperkirakan kehancuran gedung-gedung sarana publik akibat konflik setelah jajak pendapat itu mencapai 70 persen.
Tetapi itu dulu, kini suasananya jauh berbeda dan lebih bersahabat."Waktu itu kan agak sensitif ya," kata Fatimah mengenang kepergiannya meninggalkan Timor Leste ketika dia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.
Pindah ke Jakarta tak mengurungkan niat Fatimah untuk meraih cita-cita. Dia tetap meneruskan pendidikan hingga sampai perguruan tinggi. Bahkan saking ingin kembalinya ke Timor Leste, Fatimah rela meninggalkan pekerjaannya pada sebuah perusahaan di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta untuk kembali ke kampung halaman. Niatnya pun ia mantapkan awal tahun ini, bersama dengan anggota keluarganya, Fatimah kembali hidup di Bumi Lorosae.
"Butuh lima tahun untuk bisa jadi warga negara di Timor Leste walau saya orang asli sini. Tetapi berbeda dengan orang luar dan menikah dengan orang Timor Leste, mereka lebih mudah untuk mendapatkan status kewarganegaraan," kata Fatimah.
Gelombang pengungsi Timor Leste yang memilih untuk menetap di Indonesia memang banyak jumlahnya. Apalagi ketika konflik memanas di Timor Leste, banyak warga asli kemudian mengungsi di daerah Atambua hingga Kupang. Menurut Imanuel, seorang pengungsi yang kini menjadi warga negara Indonesia dan menetap di Jakarta, gelombang pengungsian itu jumlahnya ribuan. Bahkan ada yang masih bertahan hingga kini.
Dulu ketika mereka ingin kembali ke Timor Leste, ada ketakutan karena konflik saat itu sedang memanas. "Sejak jajak pendapat banyak warga yang mengungsi di perbatasan, termasuk saya ini," kata Imanuel saat berbincang dengan merdeka.com beberapa waktu lalu.
Baduarte Batista, salah seorang pengungsi asal Timor Leste yang kini sudah kembali hidup di negaranya pun mengatakan hal yang sama, sejak jajak pendapat tahun 1999, mereka memilih untuk mengungsi lantaran terjadi konflik antara kelompok pro integrasi engan kelompok pro kemerdekaan. Baduarte pun baru kembali ke Timor Leste ketika suasananya mulai berangsur-angsur kondusif. "Saya kembali tahun 2005 dan baru tahun 2010 saya mendapatkan pekerjaan," ujar Baduarte saat ditemui di daerah Cristo Rei, Kamis pekan lalu.