Kisah Keluarga Pemberani yang Tinggal di Kampung Mati Tengah Hutan Cilacap, Hidup Berdampingan dengan Babi Hutan
Saat musim hujan tiba, kampung itu benar-benar terisolir karena jalan ke sana terhalang aliran air sungai yang deras
Saat musim hujan tiba, kampung itu benar-benar terisolir karena jalan ke sana terhalang aliran air sungai yang deras
Kisah Keluarga Pemberani yang Tinggal di Kampung Mati Tengah Hutan Cilacap, Hidup Berdampingan dengan Babi Hutan
Kampung Mati Nagog berada di Desa Sidamulya, Kecamatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap. Kampung itu memang sudah ditinggalkan hampir semua penduduknya.
Namun berdasarkan informasi yang beredar ternyata masih ada satu keluarga yang bertahan tinggal di kampung itu.
-
Siapa yang tinggal di Kampung Mati Cigerut? Teteh Intan mengaku sudah empat tahun tinggal di kampung itu.
-
Apa yang terjadi di Kampung Mati Cigerut? Saat sampai di Kampung Cigerut, kita langsung diperlihatkan deretan rumah kosong yang terbengkalai. Kebanyakan rumah-rumah itu merupakan bangunan permanen. Namun ironis, karena sudah terlalu lama ditinggalkan pemiliknya, banyak bagian rumah itu yang rusak dan dipenuhi tumbuhan liar.
-
Apa yang terjadi di kampung mati lebak? Suasana sunyi begitu terasa saat memasuki wilayah kampung tersebut. Banyak bangunan yang ditinggalkan dengan kondisi rusak maupun utuh. Di sepanjang jalan menuju perkampungan, rerumputan dan ilalang tumbuh menjulang sehingga menguatkan kesan terbengkalai.
-
Apa yang ada di Kampung Mati? Banyak rumah permanen yang masih utuh di kampung itu. Hanya sayang rumah itu sudah tak berpenghuni lagi.
-
Dimana kampung mati lebak? Kabarnya, kampung ini ditinggalkan warga karena akan dijadikan sebagai bendungan. Empat keluarga memilih bertahan untuk tinggal di kampung mati Susukan dan Karian, Desa Calungbungur, Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak, Banten.
-
Dimana lokasi Kampung Mati Cigerut? Letaknya yang begitu terpencil di atas bukit membuat kampung ini seakan jauh dari peradaban manusia.
Akses menuju kampung mati itu sangatlah ekstrem. Pengunjung harus berjalan kaki sejauh 1,5 km dari desa terdekat. Beberapa rumah tampak kosong tak ada penghuninya. Di salah satu halaman rumah itu terdapat kuburan.
Dilansir dari kanal YouTube Sang Penjelajah Amatir, warga di Kampung Nagog pindah rumah karena akses jalan ke tempat mereka yang sulit. Letaknya yang terpencil membuat mereka sulit untuk pergi ke manapun. Belum lagi mereka harus tinggal di dekat hutan yang masih terdapat banyak babi hutan di sana.
Di kampung itu tinggal pasangan suami istri Pak Wartoyo dan Ibu Sarmini. Pak Wartoyo mengatakan, warga di kampung itu mulai pindah pada tahun 1972.
Selain itu, lahan di kampung itu tidak bisa digunakan untuk bertani karena banyak babi hutan yang biasanya mengincar hasil tani.
Setelah penghuninya meninggal dunia, anak-anak pewaris rumah tidak mau tinggal di kampung itu karena lokasinya yang terpencil. Belum lagi untuk menuju ke sana harus melewati sungai dan tak ada jembatan untuk melintasi sungai itu. Jadi pada saat arus sungai deras, terutama saat musim hujan, akses menuju maupun dari kampung Nagog lumpuh.
Tak jauh dari Kampung Nagog, tepatnya di bagian bawah kampung itu, ada sebuah sungai yang biasa digunakan keluarga Pak Wartoyo untuk mandi.
Pak Wartoyo menyebut tempat ia mandi itu dengan nama Curug Dendeng. Tempat itu berupa kolam alam yang cukup lebar dan di salah satu sisinya ada air terjun kecil yang airnya keluar dari celah-celah bebatuan. Air di kolam alami itu terlihat sangat jernih.
“Dulu sekitar tahun 1976 pernah anak sekolah ke sini dengan gurunya tapi anak sekolah itu hilang. Dia ditemukan di dalam lubang ini,” kata Pak Wartoyo sambil menunjuk ke balik bebatuan yang ada di kolam alami itu.
Pak Wartoyo mengatakan kalau curug itu dalamnya mencapai 16 meter. Di balik keindahannya, kolam alam itu sebenarnya juga lokasi yang dipercaya angker.
“Saya pernah lihat ada kepala keluar dari situ sekitar jam 3 siang. Rambutnya panjang, nggak ada badannya. Itu namanya Srenggini, penghuni tempat ini,” kata Pak Wartoyo dikutip dari kanal YouTube Sang penjelajah amatir.
Sementara itu ibu Sarmini, harus berjalan kaki sejauh satu kilometer untuk mengambil bantuan beras di balai desa. Walau masih banyak dijumpai babi hutan, namun Bu Sarmini tak takut berjalan sendiri.
“Babinya itu takut sama orang,” ujarnya.
Rumah keluarga Pak Wartoyo cukup sederhana. Rumah itu terdiri dari ruang tamu yang menjadi satu dengan tempat tidur suami istri itu, satu kamar anak mereka, dan ruang dapur yang berada di bagian paling belakang.
Sementara halaman rumah yang cukup luas mereka digunakan sebagai tempat kendang kambing. Pak Wartoyo mengatakan bahwa dia punya sembilan ekor kambing.
Pak Wartoyo mengatakan pada awalnya warga di kampung itu ada sembilan orang. Tapi satu per satu mereka pindah ke tempat lain karena lokasinya yang terisolir.
“Pantangannya itu sungai besar. Kalau kebutuhan di rumah nggak bisa beli di warung. Karena pantangannya banjir. Selain itu rumahnya di tengah-tengah hutan. Mau ke mana-mana jauh,” kata Pak Wartoyo dikutip dari kanal YouTube Sang penjelajah amatir pada 13 November 2023 lalu.