Haruskah kita takut terhadap China?
Indonesia harusnya kreatif dan konstruktif menghadapi kebangkitan China.
Dua hari berturut-turut, (21 dan 22/5), harian Kompas di rubrik internasionalnya menurunkan tulisan tentang kebangkitan China (Tiongkok) sebagai kekuatan dunia baru dan hal-hal yang perlu kita khawatirkan atas berbagai sikap dan langkah China seiring dengan kebangkitannya di bidang ekonomi, politik dan militer.
Rene L Pattiradjawane dalam artikel berjudul "Apakah Indonesia akan Diam?" (Kompas, 21/5), berargumen bahwa konsep Keamanan Baru Asia yang disusun China merupakan refleksi modernisasi pan-Tiongkok Raya dengan pergeseran kekuatan ke Timur yang bisa menjadi ancaman serius bagi bangunan Komunitas ASEAN 2015, mengecilkan eksistensi pilar komunitas politik dan keamanan ASEAN.
Selain itu China juga dikhawatirkan akan terus melakukan balkanisasi secara masif dalam mencapai tujuan-tujuan kepentingan nasionalnya dan mempertanyakan apakah Indonesia akan diam saja melihat perkembangan ini.
Sehari kemudian, dalam analisis berjudul "Tiongkok, Menakjubkan Sekaligus Menakutkan" (Kompas, 22/5), selain diuraikan tentang peningkatan ekonomi China yang akan diiringi penegakan otot geopolitiknya, juga menyalahkan Indonesia yang dianggap sebagai induk informal ASEAN yang telah kehilangan taring soal Laut China Selatan dengan penyia-nyiaan waktu sehingga tidak bisa melindungi rekannya se-ASEAN.
Uraian pandangan dalam Kompas tersebut nampaknya sejalan dengan argumen yang dibangun oleh AS yang mencoba menampilkan China dengan kebangkitannya sebagai agresor yang harus ditakuti dan diredam sebagaimana muncul kuat dalam kunjungan Presiden Obama ke Jepang, Filipina, Korea Selatan, dan Malaysia pada April lalu, yang dikenal sebagai "scare tactics".
Tak salah kalau kita seharusnya memandang secara lebih jernih atas isu ini. Mari kita renungkan sejenak misalnya dari satu segi saja. Ketika China menjadi kekuatan raksasa ekonomi, ia akan makin tergantung pada rute perkapalan yang aman bagi impor energi, barang dan materi lainnya. Ini menumbuhkan kebutuhan akan pembangunan kekuatan armada laut untuk memastikan ekonomi China tidak terancam oleh blokade laut.
Apa yang oleh China dipandang sebagai keharusan pertahanan bisa dianggap sebagai sikap agresif dan ekpansionis oleh para tetangganya dan AS. Dan apa yang tampak sebagai keharusan defensif oleh AS dan sekutunya di Asia, seperti memperkuat kapasitas militer di kawasan untuk mengelola atau menghadapi kebangkitan China, akan dianggap oleh China sebagai upaya agresif pembendungan terhadapnya.
Kesan pembendungan oleh AS memang sulit dibantah. Politik luar negeri AS terhadap China memang terasa lebih bersifat "contain" daripada "engage", seperti dalam hal dukungan terhadap Filipina dalam sengketa Laut China Selatan dan terhadap Jepang dalam sengketa "Laut China Timur". Dalam dalam tiap sengketa yang melibatkan China, AS tampaknya secara otomatis akan mendukung lawan China baik langsung maupun tidak.
Bagaimana seharusnya Indonesia memandang dan bersikap? Kebangkitan kekuatan China dan seperti munculnya adidaya lain sebelumnya selalu memerlukan ruang strategis untuk terus kuat (survive) dan pengembangannya lebih lanjut. Dalam kaitan ini kita berharap China dapat menyesuaikan diri terhadap arsitektur regional dan global, sementara masyarakat internasional, termasuk Indonesia dan meng-engage China secara konstruktif.
Kebangkitan China dan sengketa dengan negara tetanggnya memang menimbulkan tantangan terhadap tata hubungan regional dan global yang telah ada. Karena itu China perlu menyesuaikan diplomasinya secara hati-hati untuk menghindari salah paham.
Indonesia dan para pemimpin lainnya di kawasan serta AS perlu bersikap bijaksana untuk menemukan solusi diplomatik terhadap munculnya ketegangan geo-ekonomi dan geo-politik yang besar ini. Satu hal yang penting yang hilang dalam persolan ini adalah tidak adanya institusi regional pendukung yang bisa benar-benar berperan dan diterima semua pihak secara terbuka untuk meredakan kekhawatiran.
Indonesia mempunyai peluang menciptakan terobosan sebagai pemimpinan informal ASEAN dengan membentuk forum untuk membangun rasa saling percaya seperti yang pernah dimainkan oleh ASEAN Regional Forum dengan format atau cita rasa baru atau merevitalisasinya sesuai tuntutan perkembangan. Dengan kata lain, Indonesia tidak perlu takut tapi justru secara kreatif dan konstruktif menghadapi kebangkitan China.
-
Kapan Indonesia merdeka? Hari ini, tepat 78 tahun yang lalu, Indonesia menyatakan diri sebagai sebuah negara merdeka.
-
Apa yang dimaksud dengan kemerdekaan? Hari ini, tepat 78 tahun yang lalu, Indonesia menyatakan diri sebagai sebuah negara merdeka. Merdeka dari segala penjajahan fisik dan mental kolonialisme yang telah beratus tahun bangsa ini alami.
-
Kapan Malaysia merdeka? Negara monarki konstitusional ini baru memperoleh kemerdekaannya pada 31 Agustus 1957.
-
Kapan Singapura merdeka? Singapore Independence Day was on the 9th of August 1965.
-
Apa itu Kurikulum Merdeka? Kurikulum merdeka adalah metode pembelajaran yang mengacu pada pendekatan bakat dan minat.
Baca juga:
Mencermati India
Pecahnya Thailand
Prospek rujuknya Hamas dan Fatah
Jalan terjal Palestina
Karena kita bukan katak