Janda kembang Kampung Karang Congok
Salmah adalah perempuan terakhir dinikahi Haji Nausan.
Dari kejauhan jalannya dituntun oleh seorang wanita muda. Perempuan berpadu padan kain jarik bermotif kembang lengkap dengan jilbab putih menutupi rambut putihnya terlihat lunglai.
Salmah, wanita seabad itu, masih cerewet mengingat kisah pernikahannya dengan Haji Nausan, jawara, pejuang, kepala daerah, sekaligus tuan tanah asal Kampung Gabus, Tambun Utara, Bekasi.
Sebagai tuan tanah, Haji Nausan banyak memperistri gadis cantik. Di Kampung Gabus dia mengoleksi tiga teman seranjang hidup dan semua tinggal serumah. Salmah adalah perempuan terakhir dinikahi Haji Nausan.
Keduanya bertemu saat ada hajatan kawinan di dekat rumah Salmah, Kampung Congok, Desa Karang Satria. Jaraknya belasan kilometer dari Kampung Gabus, Tambun Utara. Waktu hiburan topeng dihelat sampai azan subuh berkumandang.
"Kita mah awalnya menolak, soalnya kita mah udah punya anak gede. Kita pan ditinggal mati," kata Salmah dengan logat Betawi ora kental kepada merdeka.com di kediamannya, Bekasi, kemarin.
Dia tidak pernah bisa mengingat tahun kelahirannya. Seingatnya dengan keras, dirinya sudah perawan saat Juliana, putri Ratu Belanda Wilhemina, menikah pada 1936. "Emak sudah menstruasi, waktu itu mah kisaran umur 15 tahun," ujarnya sambil tertawa lirih. "Baru muncul koin bolong sen. Nyesel kita mah ampe sekarang kagak tahu lahirnya kapan."
Setelah melihat kecantikan Salmah, sehari kemudian Haji Nausan menyatroni rumahnya. Untuk menghindar, Salmah memilih kabur ke rumah bibinya masih sekitaran kampungnya. Tak berapa lama, ibunya Salmah mencari dia dan memerintahkan untuk menemui tamu istimewa itu.
"Dicariin enyak (ibu) kita. Mau kagak mau ditemuin juga. Emak bawain kopi sambil kita bilang nih ada kopi pahit," tuturnya menyindir. Haji Nausan menjawab dengan pantun, "Nggak ngapa kopi pahit nyang penting gelas kagak rengat (retak)," sahut Nausan.
Sejak itu anak buah Haji Nausan menjadi comblang terus menerus membujuk Salmah untuk mau menerima pinangan bosnya itu. Salmah lantas luluh. Dia memberi syarat untuk menikahi dia secara perawan bukan sebagai janda. "Kita cari tawakaf, akhirnya kalau mau diria-riain (ramaikan), di kebrukin (seserahan) kayak perawan dah," tutur Salmah polos.
Akhirnya pernikahan pun dilangsungkan. Acaranya dimeriahkan dengan kesenian gambus. Makanan berlimpah,ada daging, gabus, sama kambing.
Salmah kini telah renta. Tak jauh dari rumahnya sebuah areal pemakaman keluarga Haji Nausan seluas 600 meter persegi sudah siap menunggu. Di sana terdapat sebuah pusara dengan tugu bambu emas di belakang batu nisan bertulisan Haji Nausan bin Rindon, kelahiran Bekasi, 10 april 1911 dan wafat 18 oktober 1989. Di sebelahnya makam dua istri tuanya Hajjah Masnun dan Hajjah Marhan. Belasan kubur di areal itu sudah dikepung ilalang.
"Emak sudah siap," ujarnya termenung. Hidup keluarga beserta empat anaknya diwariskan dua surat girik tanah seluas puluhan meter persegi sampai sekarang masih ditempati. Pesan terakhir suaminya hidup harus rukun dan menghindari perselisihan antar keluarga.
Sebagai istri termuda, ditinggal selama berbulan bulan, Salmah menerima dengan ikhlas. Baginya semua kebutuhan dan pendidikan anak-anaknya tercukupi sudah bersyukur. "Nyang beras bisa dikirimin buat setahun kagak abis, sekolah pada bladut (nakal), kagak sampe tinggi," katanya menunjuk ke arah anaknya, Syafii.