Jasa dan jasad Tan Malaka dikubur bersama
Jasa dan jasad Tan Malaka dikubur bersama. Tan Malaka dianggap seorang pahlawan nasional namun tak pernah mendapatkan tempat yang layak oleh negara. Tan Malaka dicap sebagai komunis dan penjahat. Bahkan, diskusi yang membahas Tan Malaka saja kerap dibubarkan paksa.
Sejak ditemukan pada tahun 2009 lalu di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, wilayah Kediri, Jawa Timur, makam Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka tak pernah mendapat tempat terhormat. Sebagai seorang pahlawan nasional, Tan Malaka dilupakan jasanya oleh negara. Cap kiri atau komunis menjadikan pucuk penghulu (raja) di Nagari Pandam Gadang, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat seolah penjahat.
Kritik ini disampaikan oleh Yudilfan Habib Datuk Monti selaku Pegiat Tan Malaka Institute (TMI). Menurutnya, negara telah melupakan jasa besar Tan Malaka, pejuang besar di Republik ini. Jasa dan pemikiran Tan Malaka seolah dihapus dari ingatan bangsa ini dan hanya dipelajari di 'bawah tanah'. Jasa dan jasad Tan Malaka dikubur di liang lahat.
"Pemerintah Pusat terkesan mengkabur-kuburkan siapa Tan Malaka. Malu kita makam Tan Malaka justru ditemukan sejarawan asing. Pemerintah pusat berlagak seolah tidak tahu, Pemerintah Kediri terkesan melarang kunjungan ke makam. Awal kami ke makam Tan Malaka di Selopanggung, Pemerintah Daerah Kediri terkesan sinis," ujar Yudilfan Habib kepada merdeka.com, Sabtu (14/1).
Menurut Yudilfan, negara harus meluruskan sejarah Tan Malaka. Bapak Republik Indonesia itu dianggap musuh negara dengan cap komunis. Tak heran, berbagai diskusi terkait Tan Malaka selalu dilarang di negara ini.
"Harus diluruskan persoalan Tan Malaka. Pemerintah juga harus memberikan kompensasi. Saya lihat tidak ada sentuhan dari pemerintah. Kita ingat betul bagaimana sinisnya Pemkab Kediri saat pembongkaran makam tahun 2009 silam," ujarnya geram.
Dalam bukunya 'Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia', sejarawan Belanda Harry A Poeze menjelaskan, rangkaian peristiwa menjelang kematian Tan Malaka yang ditembak di dekat Sungai Brantas, Jawa Timur. Penemu makam Tan Malaka itu mengaku baru mengetahui bahwa Tan Malaka dibunuh di Kediri pada tahun 1990.
Itu setelah Poeze meneliti jejak Tan Malaka di daerah Kediri, Jawa Timur. Pada tahun itu, Harry Poeze menemukan fakta bahwa Tan Malaka ditembak oleh Soekotjo di Desa Selopanggung, di Lereng Gunung Wilis, Kediri, Jawa Timur, pada 21 Februari 1949.
"Sesudah Tan Malaka ditembak, ada perjanjian antara Soekotjo dan Brigade Surachmad untuk merahasiakan kematian Tan Malaka karena takut pengikut Murba dendam," ujar Harry.
Meskipun Harry berhasil mengungkapkan penembak Tan Malaka, namun dirinya belum mengidentifikasi kapan Tan Malaka dikuburkan. Di buku jilid keempat itu, Harry Poeze menambahkan pembahasan khusus mengenai proses pencarian makam Tan Malaka di Selopanggung. Data dari kepolisian Hindia Belanda dan keterangan beberapa saksi mengantarkan pada keyakinan bahwa jasad yang dikubur itu memang Tan Malaka.
Namun kini keluarga ahli waris Tan Malaka dan adat sudah sepakat untuk memboyong kerangka Tan Malaka ke kampung halaman di Pandam Gadang, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Sabtu (14/1) kemarin, ahli waris, ninik mamak Kelarasan Bungo Satangkai Suliki, melakukan acara majelis beradat pelepasan Delegasi Menjemput Jasad Ibrahim Datuk Tan Malaka Rajo Adat Kelarasan Bungo Satangkai Suliki. Pelepasan dimulai dengan pelaksanaan upacara di Talempong Batu Talang Anau. Kemudian dilanjutkan prosesi Naik ke Balai Bungo Satangkai dan apel delegasi di rumah gadang Tan Malaka Pandam Gadang.
142 Niniak mamak (pemimpin adat) di Kelarasan Bungo Setangkai berkumpul di rumah gadang Tan Malaka. Dalam upacara adat ini, pemimpin adat mendelegasikan beberapa pihak untuk menjemput raja mereka. Tan Malaka yang dijuluki sebagai Bapak Republik adalah pucuk penghulu (raja) di kampungnya, Nagari Pandam Gadang, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat.
"Posisi Tan Malaka sangatlah vital dan penting bagi kaumnya sendiri. Di wilayah adat dia membawahi 142 niniak mamak atau kaum, di Kelarasan Bungo Setangkai (tiga nagari: Pandam Gadang, Suliki, dan Kurai). Adatnya dari Agam, mainan urang Limapuluh Kota," kata Wakil Bupati Limapuluh Kota Ferizal Ridwan kepada merdeka.com.
Menurut Ferizal Ridwan upacara adat merupakan prosesi sakral karena Ibrahim Datuk Tan Malaka, adalah Raja Keselarasan Bungo Setangkai. Dalam prosesi adat, maka 142 niniak mamak tersebut mendelegasikan kepada Pemkab 50 Kota, Tan Malaka Institute (TMI) dan YPP PDRI untuk menjemput jenazah Tan Malaka di Kediri.
Setelah pelepasan adat, tim yang diberi mandat bakal melakukan pembongkaran kuburan Tan Malaka di Kediri untuk kemudian dibawa ke kampung halaman di Pandam Gadang, Kabupaten Limapuluh Kota. Pembongkaran akan dilakukan pada 21 Februari yang diyakini tanggal dibunuhnya raja adat itu.
Kerangka akan langsung dibawa dengan jalur udara untuk kemudian dituntaskan prosesi baik secara agama maupun adat di Pandam gadang. Setelah itu baru dikebumikan.
"Yang akan diarak nanti hanya replika atau simbol saja. Kalau kerangka asli akan segera dikebumikan. Begitu aturan syariat dan adatnya," ujar Yudilfan Habib.