Kewalahan mengurus yang sakit jiwa
Kewalahan mengurus yang sakit jiwa. Jakarta surplus orang-orang tidak waras. Terlihat dari jumlah pasien gangguan kejiwaan sudah melebihi kemampuan daya tampung panti sosial. Meski kelebihan jumlah pasien, Dinsos DKI tak bisa berbuat banyak. Sebab tidak mungkin membiarkan mereka berkeliaran di jalanan ibu kota.
Dari balik jeruji besi, wajah-wajah dengan tatapan kosong menyambut setiap tamu yang berkunjung ke Panti Bina Laras III. Ada yang memandang dengan tatapan tajam, ada yang tersenyum dan tertawa sendiri. Ada pula yang hanya tidur-tiduran, dan ada yang asyik berbicara sendiri.
Barak dengan pintu jeruji besi itu penuh dengan pasien penderita gangguan jiwa. Mereka sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, tidak saling berbicara satu dengan yang lain. Mereka hanya diawasi satu petugas untuk satu barak. Dengan berat hati Kasubag TU Panti Laras III, Ida Farida harus menolak jika ada pendatang baru.
-
Kapan Desa Panggungharjo dibentuk? Desa Panggungharjo dibentuk berdasarkan maklumat monarki Yogyakarta tahun 1946 yang mengatur tentang tata kalurahan saat itu.
-
Kapan Purnawarman meninggal? Purnawarman meninggal tahun 434 M.
-
Kapan Jalur Lingkar Barat Purwakarta dibangun? Sebelum dibangun jalan lingkar pada 2013, Kecamatan Sukasari yang berada paling ujung di Kabupaten Purwakarta aksesnya tidak layak.
-
Di mana Gudeg Jogja Bu Iin berada? Sebuah kedai angkringan di Perumahan Taman Kota, Jakarta Barat, menjadi buruan para pecinta kuliner di ibu kota.
-
Dampak apa yang ditimbulkan oleh hujan disertai angin kencang di Jogja? Hujan dan angin kencang yang terjadi pada Kamis (4/1) menyebabkan kanopi drop zone di sisi selatan Stasiun Yogyakarta roboh. Akibatnya lima unit mobil tertimpa kanopi itu dan mengalami kerusakan ringan.
-
Kapan Putri Gading meninggal? Kerangka ini ditemukan di Sevilla, Spanyol. Kerangka manusia berusia 5.000 tahun ditemukan di Sevilla, Spanyol.
"Itu terpaksa karena memang kondisinya begini," jelas Ida saat berbincang dengan merdeka.com, akhir pekan lalu.
Panti sosial khusus pasien gangguan jiwa ringan itu kini dihuni 476 ODMK. Ida menyebut angka itu sudah di luar batas normal alias kelebihan kapasitas. Idealnya, kata dia pasien penghuni Panti Laras III berjumlah 271 jiwa. Dibanding dengan dua panti Laras lainnya, gedung Panti Laras III memang terbilang lebih kecil untuk menampung ratusan ODMK. "Overload, ODMK di Jakarta memang naik dari tahun ke tahun," ucapnya.
Hal serupa juga terjadi di Panti Bina Laras I. Panti ini menyiapkan tiga barak untuk ODMK, baik untuk laki-laki dan perempuan. Satu barak diisi oleh 40 orang atau lebih. Untuk keseluruhan, panti ini ditangani oleh dua Pekerja Harian Lepas (PHL) dan dua orang koordinator. Tidak mudah membimbing mereka.
"Kalau orang baik saja masih susah, apalagi mereka yang sakit seperti ODMK ini," kata Abdul Hakim, salah satu petugas di panti Bina Laras I.
Dinas Sosial Pemprov DKI memiliki lebih dari 20 panti sosial di lima wilayah ibu kota. Panti-panti tersebut dikelompokkan sesuai persoalan yang ditangani. Mulai dari panti untuk balita, anak, remaja dan usia lanjut terlantar, panti anak jalanan, panti penyandang cacat tubuh, panti bina grahita, panti penyandang psikotik (gangguan kejiwaan), panti untuk gelandangan dan pengemis, panti untuk mantan wanita tuna susila, serta panti untuk mantan pengguna narkoba. Hampir 70 persen dari seluruh penghuni panti sosial di Jakarta adalah orang-orang dengan gangguan kejiwaan.
Khusus untuk penderita psikotik atau gangguan kejiwaan di Jakarta, Dinsos menyiapkan tiga panti sosial. Panti Sosial Bina Laras I Cengkareng untuk gangguan jiwa berat, Panti Sosial Bina Laras II Cipayung untuk pendampingan pasien gangguan jiwa sedang, dan Panti Sosial Bina Laras III Cipayung untuk mereka yang mengalami gangguan jiwa ringan.
Meski sudah memiliki tiga panti sosial khusus pasien gangguan kejiwaan, namun nyatanya Dinsos masih kewalahan. Sebab, jumlah pasien psikotik di ibu kota semakin banyak, dan 90 persennya masuk kategori stadium sedang sampai berat.
"Jumlah pasien sekarang sekitar 2.600 di semua panti," ujar Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta Masrokhan saat berbincang dengan merdeka.com, pekan lalu.
Jakarta surplus orang-orang tidak waras. Terlihat dari jumlah pasien gangguan kejiwaan sudah melebihi kemampuan daya tampung panti sosial. Idealnya, satu panti sosial maksimal menampung 600 pasien gangguan jiwa. Kenyataannya, saat ini ada salah satu panti sosial menampung hampir 800 pasien gangguan jiwa.
Meski kelebihan jumlah pasien, Dinsos DKI tak bisa berbuat banyak. Sebab tidak mungkin membiarkan mereka berkeliaran di jalanan ibu kota atau 'dilepas' ke daerah lain. "Ini sudah over kapasitas. DKI akhirnya jadi tempat penampungan," ucapnya.
Jakarta terbuka untuk orang yang waras dan tidak waras. Ini sesuai janji Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau biasa disapa Ahok. Pemprov DKI akan menampung penderita gangguan jiwa, sekalipun bukan warga DKI Jakarta. Tapi dia menyadari persoalan yang ada di depan mata yakni terbatasnya fasilitas penampungan milik Dinsos DKI.
"Kenapa kita tampung, karena namanya juga orang gangguan jiwa, dia enggak tahu alamatnya lagi, dia pun enggak tahu dia mau pulang ke mana," kata Ahok beberapa waktu lalu.
Masih mengganjal di benak Masrokhan dan anak buahnya, bagaimana menyiasati agar panti sosial tidak kelebihan kapasitas. Salah satu caranya, mempercepat proses pemulihan pasien gangguan kejiwaan. Terutama mereka yang masih dalam tahap gangguan jiwa ringan. Biasanya, mereka yang mengalami gangguan jiwa ringan karena tekanan dan stress, lebih mudah untuk pulih meski tidak 100 persen. Jika sudah bisa mengendalikan diri sendiri, maka mereka akan dikembalikan ke keluarga.
Sementara bagi mereka yang mengalami gangguan jiwa berat terutama karena faktor keturunan, sulit dipulihkan. Dinsos DKI pun angkat tangan. Mereka meminta bantuan Kementerian Kesehatan untuk proses pendampingan. Kemenkes siap menampung 40 pasien gangguan kejiwaan dari Jakarta untuk kemudian dialihkan ke panti milik Kemenkes di Malang.
"Mereka yang enggak bisa disembuhkan ya itu tanggung jawab negara (Kemenkes). Kita ngeluh ke kemenkes, mereka mau menampung."
Selain bekerja sama dengan Kemenkes, Dinsos juga menggandeng RS Jiwa Dr Soeharto Heerdjan Grogol, Jakarta Barat. Orang dengan gangguan jiwa yang diamankan Dinsos dari jalanan Jakarta, terlebih dulu dibawa ke RS Jiwa Grogol untuk dilakukan proses pengobatan secara medis sebelum dibawa ke panti sosial. Di RS Jiwa, mereka diberi obat agar lebih tenang dan tidak membahayakan. Mereka ditempatkan di ruangan khusus. Setelah mendapat perawatan medis, mereka bisa dikembalikan ke keluarga atau ditampung di Dinas Sosial.
"Jadi tidak selamanya dirawat di RS Jiwa. Dirawat hanya kalau sekiranya membahayakan orang lain. Kalau memang sudah kondusif kondisinya ya disuruh pulang," jelas psikiater yang juga ahli penyakit kejiwaan RS Jiwa Dr Soeharto Heerdjan Grogol, dr Surya Widya.
Surya tidak menampik ada pasien yang cukup lama dirawat di RS Jiwa. Alasannya, mereka lebih betah berada di RS Jiwa dibanding di rumah sendiri. Sebab, mereka tidak mendapat perlakuan baik dari keluarga. Mereka menjadi tidak nyaman sehingga memilih bertahan di RS Jiwa.
"Ada pasien yang mengeluh keluarganya galak. Tidak semua keluarga bisa menerima mereka. Kadang ada yang malu dengan kehadiran mereka (pasien gangguan jiwa) di rumah."
RS Jiwa Grogol memiliki daya tampung maksimal 350 pasien. Saat ini jumlah pasien yang dirawat sekitar 200 orang. Dia menceritakan, beberapa tahun lalu RS Jiwa memang kebanjiran pasien. Namun pihak RS memiliki kebijakan secara tegas membatasi pengobatan pasien agar tidak membludak. Surya tidak heran jika panti sosial milik Dinsos DKI over kapasitas. Salah satunya karena DKI menampung orang dengan gangguan kejiwaan yang datang dari daerah lain.
"Pasti kelebihan kapasitas karena yang datang makin banyak, yang ditampung juga akhirnya makin banyak. Apalagi daerah-daerah belum tentu punya RS Jiwa," tegasnya.
(mdk/noe)