Majelis Rasulullah (4): Habib dan jemaah akil balig
�Dengan mengikuti pengajian, hati tenang, terhibur, waktu di sekolah saya juga bisa berdakwah.�
Tiga lapis barisan anak muda berkopiah menjadi pagar hidup bagi Habib Mundzir bin Fuad Al Musawa. Rabu malam pekan lalu itu, setelah memimpin pengajian Majelis Rasulullah di Jalan Dakota Raya, Kelurahan Kebon Kosong, Kemayoran, dengan jalan tertatih sang Habib dipapah seorang habib menuju mobil Mercedes berwarna perak di belakang panggung.
“Ayo siap, jangan sampai orang-orang mendekat,” teriak Ustadz Deden, koordinator keamanan. Tapi jumlah jemaah yang ingin maju lebih banyak. Jemaah yang rata-rata masih belasan tahun itu terus merangsek, berebut mencium tangan sang habib.”Kami ingin mencari barokah,” ucap Jailani, seorang jemaah.
Di atas pangggung, sebelumnya Habib bercerita tentang gangguan penyakit pada kepala. Bahkan dia telah merekam penyuntikan obat pada ubun-ubunnya.”Kepala ini seperti dibuat mainan, disuntik beberapa kali. Bagi jemaah yang ingin melihat video perawatan saya, jangan pulang dulu, nanti akan ditampilkan di layar,” ujarnya.
Pemutaran rekaman video itu segera menarik perhatian anak-anak muda yang hadir di majelis. Mereka segera menghambur ke bawah layar berukuran sekitar 4x4 meter. “Kondisi sakit saja masih mau mengajar, mulia sekali,” ucap Wisnu, remaja 20 tahun yang mengaku sudah dua tahun ini aktif menjadi anggota majelis.”Kami ini datang karena cinta pada Habib,” kata Abdi.
Fenomena Habib ini memang berhasil membetot simpati para “akil balig”, alias anak-anak muda di Jakarta. Kopiah putih, gamis yang dibalut jaket hitam dengan sulaman benang emas di punggung bertuliskan “Majelis Rasulullah”, serta sorban dan bendera, seolah menjadi identitas tetap bagi mereka. Di manapun dan kapanpun majelis digelar, anak-anak muda itu tumpah di sana.
Diyakini sebagai keturunan Rasulullah melalui putrinya, Fatimah az-Zahra dan menantunya Ali bin Abi Thalib, gambar sang Habib tersebar di mana-mana: dari baliho berisi undangan pengajian di pinggir-pinggir jalan strategis, hingga masuk gang-gang sempit permukiman penduduk. Dakwah yang dulu dilakoni dari rumah ke rumah itu sekarang telah menjadi sebuah pohon besar bercabang banyak.
Habib Mundzir berceramah di sepanjang pantai utara dan pantai selatan Jawa, terus meluas ke Bali, Nusa Tenggara Barat, Papua, bahkan Singapura, Johor dan Kuala Lumpur, Malaysia. Majelis Rasulullah juga mengisi acara bimbingan rohani di gedung-gedung perkantoran dan di stasiun-stasiun televisi. Sebuah kios yang menjual aneka aksesori Majelis Rasulullah juga didirikan persis di belakang Masjid Al-Munawar.
Bagi beberapa anak muda, selain untuk belajar agama, menghadiri pengajian habib juga untuk menenangkan diri. Ketika di tempat-tempat hiburan malam, mulai yang terang hingga remang-remang; seperti rumah karaoke, kedai kopi, hingga diskotek, banyak remaja berpesta, di majelis habib justru sebaliknya. ”Biarkan, saya memilih ikut pengajian saja,” tutur Alfian, 17 tahun. “Dengan mengikuti pengajian, hati tenang, terhibur, waktu di sekolah saya juga bisa berdakwah.”
Menurut Musni Umar, sosiolog dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, ketertarikan anak muda terhadap majelis-majelis pengajian habib kini telah menjadi sebuah tren gaya hidup bagi remaja. Alasannya, tak melulu anak-anak muda itu mencari hiburan dari hal-hal bersifat materi. Lebih dari itu, buktinya ada cara-cara lain bagi mereka melarikan diri dari rasa jenuh. Misalnya mengaji.
Pilihan itu mengabaikan status. Bukan berarti anak-anak yang mengaji itu tidak mampu duduk di kafe, atau sebaliknya. Majelis pengajian habib, ia melanjutkan, mungkin sudah menjangkiti semua kelas masyarakat. Apalagi hal-hal bersifat religius juga semakin digandrungi. Buktinya, meski biayanya mahal, banyak orang tua ingin menyekolahkan anaknya pada lembaga-lembaga pendidikan agama.