Ikuti Jejak Para Nabi, Jalan-Jalan Penting Dilakukan Untuk Mendapat Hikmah
Gus Baha mengingatkan bahwa Rasulullah Muhammad SAW pernah melakukan perjalanan ke Syam, padahal Rasulullah berasal dari Makkah.
KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha, memberikan wawasan menarik mengenai arti perjalanan dalam kehidupan para nabi. Ia menyatakan bahwa perjalanan atau jalan-jalan tidak hanya merupakan aktivitas duniawi, melainkan juga merupakan bagian dari ibadah para nabi.
Dalam sebuah ceramah yang diambil dari kanal YouTube @hendriher5069, Gus Baha menjelaskan bahwa hampir semua nabi menjalani perjalanan dalam hidup mereka. Ia merujuk pada ungkapan "Fasiiru Fil Ardh" yang mendorong umat manusia untuk menjelajahi bumi.
"Setiap nabi pasti memiliki ibadah yang mencakup perjalanan," tuturnya.
Ia mengatakan perjalanan bukan sekadar untuk bersenang-senang, tetapi juga sebagai cara untuk memahami dunia dan memperoleh hikmah. Sebagai ilustrasi, Gus Baha mengingatkan bahwa Rasulullah Muhammad SAW pernah melakukan perjalanan ke Syam, meskipun beliau berasal dari Makkah.
Perjalanan Nabi Ibrahim AS
Hal ini menunjukkan bahwa para nabi juga terlibat dalam perjalanan jauh sebagai bagian dari ibadah dan proses belajar.
"Rasulullah Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam pernah melakukan perjalanan hingga ke Syam, meskipun beliau berasal dari Makkah," jelas Gus Baha menekankan betapa pentingnya perjalanan dalam memperluas pemahaman agama.
Selain Rasulullah, Nabi Ibrahim juga melakukan perjalanan antar negara.
"Nabi Ibrahim yang berasal dari Syam pernah melakukan perjalanan sampai ke Makkah," tambah Gus Baha.
Menurutnya kebijaksanaan sering kali diperoleh melalui perjalanan, yang memungkinkan orang untuk berinteraksi dengan berbagai karakter manusia dan memahami keragaman ciptaan Allah. Gus Baha juga menyebutkan bahwa dalam salah satu hadis, Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa salah satu kebaikan umatnya adalah Siyahah fil Ardh, yang bisa diartikan sebagai semacam pariwisata, tetapi dengan tujuan untuk belajar.
"Oleh karena itu, Nabi menyatakan bahwa salah satu kebaikan umatku adalah Siyahah fil Ardh, semacam pariwisata, yang seringkali berkelana, namun tentu saja untuk mengambil pelajaran," ungkap Gus Baha.
Ia menjelaskan bahwa agama tidak hanya mendukung ibadah di tempat-tempat tertentu, tetapi juga mendorong umat untuk belajar dari pengalaman di luar.
"Jadi, jika kamu sering bepergian, kamu akan lebih memahami berbagai macam orang," tegas Gus Baha.
Perjalanan Mengandung Nilai Spiritual
Menurut Gus Baha, perjalanan memiliki dimensi spiritual yang sangat berarti. Kegiatan ini bukan hanya sekadar untuk bersenang-senang, tetapi juga sebagai sarana untuk memperluas pemahaman tentang dunia. Dengan menyaksikan ciptaan Allah di berbagai lokasi, seorang Muslim dapat memperkuat imannya.
"Perjalanan adalah cara untuk mengembangkan kebijaksanaan dan kearifan," tambahnya.
Gus Baha berpendapat perjalanan menyimpan pelajaran berharga yang tidak bisa diperoleh hanya dengan tinggal di satu tempat. Para nabi melakukan perjalanan tidak hanya untuk berinteraksi dengan orang lain, tetapi juga untuk memperkaya pengalaman spiritual mereka.
"Oleh karena itu, nabi-nabi selalu diajarkan untuk menjelajahi bumi dan belajar dari pengalaman tersebut," ujarnya.
Dengan merujuk pada kehidupan para nabi, Gus Baha menekankan pentingnya umat Islam untuk mengambil inspirasi dari mereka. Dalam pandangan Gus Baha, perjalanan tidak hanya sekadar rekreasi, tetapi lebih kepada bagaimana seseorang dapat menggunakan perjalanan tersebut untuk mendekatkan diri kepada Allah.
"Perjalanan dapat menjadi bagian dari ibadah, asalkan niatnya tulus," katanya.
Gus Baha juga menekankan perjalanan memiliki signifikansi tidak hanya bagi para nabi, tetapi juga bagi umat Islam secara keseluruhan. Ia menyatakan bahwa perjalanan membuka wawasan terhadap berbagai budaya dan keragaman yang ada di dunia, yang semuanya merupakan ciptaan Allah.
"Melihat dunia dari perspektif yang berbeda akan membuat kita lebih bersyukur," ujarnya.
Tontonlah Video yang Direkomendasikan Ini:
Berikut adalah versi yang berbeda dari kalimat tersebut tanpa mengubah konteks: